ICJR temukan persoalan pada pelaksanaan hukuman mati
ICJR menemukan beberapa kasus hukuman mati dijatuhkan pada orang yang tidak berhak untuk dihukum mati
Pemerintah Indonesia masih menilai hukuman mati masih masih efektif dengan menanggulangi kejahatan. Kendati begitu, pelaksanaan hukuman ini, masih menuai pro kontra.
Anggota Tim Peneliti ICJR Eka Ari Pramuditya menyatakan, beberapa lembaga masih memandang hukuman mati di Indonesia menimbulkan polemik. "Selain itu penerapan hukuman mati apakah sudah fair trial?," ujar Eka di Hotel Sari Pacific, Jakarta pada Rabu (16/1).
ICJR pada Juni 2018 sampai Januari 2019, meneliti 100 kasus dari 306 putusan hukuman mati. ICJR menemukan adanya pengabaian dalam penerapan fair trial pada kasus hukuman mati.
Dalam penelitiannya ICJR menyoroti hak untuk tidak disiksa dan mendapat perlakuan manusiawi saat dilakukan penyidikan. Hukum di Indonesia sudah mengatur mengenai ini, khususnya dalam KUHP yang menyebutkan cara penyidik mendapat keterangan dari terdakwa.
"Dari 12 terdakwa dalam 11 perkara menyatakan klaim penyiksaan atau tindakan penekanan lainnya. Kemudian sebanyak 11 saksi menyatakan adanya penganiayaan," kata Eka.
Selain itu, ICJR menemukan beberapa kasus hukuman mati dijatuhkan pada orang yang tidak berhak untuk dihukum mati, seperti ibu hamil, orang dengan gangguan jiwa, dan juga anak-anak.
Sebenarnya hukum pidana di Indonesia sudah mengatur orang-orang bagi gangguan jiwa untuk dilakukan penyidikan. Namun dalam penelitiannya, ICJR masih menemukan terdakwa hukuman mati dengan klasifikasi tidak pantas untuk di hukum.
Misalkan saja Rodrigo Muxfelt Gularte. Terpidana asal Brazil ini, dijatuhkan hukuman mati karena perdagangan narkoba pada 2005. Rodrigo dieksekusi pada 29 April 2015, padahal ia di diagnosa memiliki gangguan mental, seperti skizofrenia paranoid.
Sementara itu, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam menegaskan, Komnas HAM menolak tegas pelaksanaan hukuman mati.
Komnas HAM menilai keadilan itu harus memiliki sisi kemanusiaan dan tidak merampas nyawa seseorang. Komnas HAM sendiri akan memberikan catatan pada RUU KUHP.
"Kalau putusan meleset, tidak ada review terhadap korban yang sudah dieksekusi," ujarnya.
Menanggapi, penerapan frial trial, Anam mengungkapkan penerapan itu mustahil untuk ditegakkan. Sebab ada dugaan koruptif yang dilakukan.
Hal senada juga terlontar dari Ahli Hukum Acara Pidana Andi Hamzah. Dia menyatakan kasus hukuman mati harus dibatasi. Andi memandang tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan hukuman mati.
"Pidana mati harus dibatasi, kalau perlu ditunda. Hanya tindak pidana kejahatan luar biasa ditambah teroris yang harus di hukum mati," pungkas Andi.