sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

ICW desak proses seleksi Deputi Penindakan KPK dibuka ke publik

Firli cs dinilai telah menyalahi asas keterbukaan dan akuntabilitas.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Senin, 30 Mar 2020 08:40 WIB
ICW desak proses seleksi Deputi Penindakan KPK dibuka ke publik

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai ada tujuan terselubung dari para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pelaksanaan proses seleksi jabatan Deputi Penindakan. Pasalnya, proses seleksi itu terkesan tertutup dari publikasi media.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai, lembaga antirasuah dipimpin Firli Bahuri telah gagal menerapkan prinsip transparansi dan tata kelola badan publik yang akuntabel, melalui proses seleksi pejabat publik di KPK.

Kecurigaan itu muncul lantaran KPK hanya membocorkan latar belakang profesi para pendaftar jabatan tersebut kepada publik.

Para pendaftar Deputi Penindakan itu yakni, tujuh diantaranya berasal dari kepolisian dan empat dari kejaksaan.

"Metode yang tertutup seperti ini akan semakin menambah kecurigaan akan adanya agenda terselubung untuk menempatkan pejabat tertentu di KPK yang sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, baik itu karena faktor jejaring individu, jaringan kelompok politik maupun arahan dari pihak tertentu yang tengah berkuasa," kata Kurnia dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Senin (30/3).

Dia mengingatkan, pelaksanaan tugas di KPK harus berlandaskan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Selain itu, KPK juga harus melaksanakan kinerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik.

"Tidak ada alasan pengecualian pada pasal 17 yang mendasari bahwa, proses seleksi Deputi Penindakan tersebut merupakan informasi yang dikecualikan atau tertutup," katanya.

Sponsored

Kurnia menganggap Firli cs telah menyalahi asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam regulasi KPK dan abai akan prinsip keterbukaan dalam regulasi keterbukaan informasi publik.  Menurutnya, proses seleksi jabatan internal saat ini amat jauh berbeda dengan era kepepimpinan Agus Rahardjo.

"Jika dibandingkan dengan seleksi sebelumnya pada tahun 2018, yang mana Firli terpilih menjadi Deputi Penindakan, informasi mengenai tahapan dan calon disampaikan oleh KPK. Bahkan KPK meminta bantuan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam konteks menggali rekam jejak setiap calon. Namun pada saat proses seleksi saat ini, PPATK tidak dilibatkan sama sekali," ucapnya.

Kurnia menilai, posisi Deputi Internal KPK mempunyai peran sentar dalam proses penanganan perkara korupsi. Dia meyakini, tingkat kepercayaan publik akan jauh merosot bila posisi tersebut diisi oleh orang yang tidak memiliki integritas dan kapasitas memadai.

"Poin penting lainnya adalah masa depan independensi kelembagaan KPK. Karena jika melihat data calon Deputi Penindakan KPK, mayoritas mereka berasal dari institusi penegak hukum. Jika pejabat penindakan KPK diisi oleh aparat penegak hukum saja, maka potensi konflik kepentingan akan terjadi, terutama ketika KPK mengusut perkara korupsi di institusi penegak hukum tersebut," papar dia.

Kendati proses seleksi dianggap tertutup, ICW mendesak KPK untuk membuka informasi terkait proses dan daftar nama kandidat yang mengikuti seleksi jabatan Deputi Penindakan.

Bahkan, mereka menuntut proses seleksi itu melibatkan institusi lain seperti PPATK. "KPK harus buka informasi perihal seleksi Deputi Penindakan. KPK juga harus melibatkan lembaga lain yang kompeten, terutama PPATK untuk menggali informasi mengenai transaksi keuangan dan menguji integritas dari setiap calon yang mendaftar," pungkas Kurnia.

Berita Lainnya
×
tekid