sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

ICW pesimistis terhadap masa depan pemberantasan korupsi

Menurut ICW, mayoritas publik pesimis akan nasib KPK ke depan.

Achmad Al Fiqri Marselinus Gual
Achmad Al Fiqri | Marselinus Gual Jumat, 20 Des 2019 15:21 WIB
ICW pesimistis terhadap masa depan pemberantasan korupsi

Lima pimpinan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilantik di Istana Negara. Kelima pimpinan KPK tersebut adalah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango.

Pengangkatan kelimanya berdasarkan Keputusan Presiden No. 112/P tahun 2019 tanggal 21 Oktober 2019 dan No. 129/P tahun 2019 tanggal 2 Desember 2019 tentang pengangkatan Komisioner KPK 2019-2023.

Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan pelantikan itu bukan suatu hal yang menggembirakan. Menurut ICW, mayoritas publik pesimis akan nasib KPK ke depan.

"Bagaimana tidak, lima pimpinan KPK baru tersebut memiliki banyak persoalan masa lalu dan konsep dari dewan pengawas diprediksi menganggu independensi KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Alinea.id, Jumat.

ICW memiliki catatan kritis untuk pimpinan KPK. Pertama, sejak awal proses pemilihan pimpinan KPK menimbulkan kontroversial di tengah publik. Mulai dari pembentukan panitia seleksi (pansel) yang kuat diduga dekat dengan salah satu institusi penegak hukum, tidak mengakomodir suara publik, sampai mengabaikan aspek integritas pada saat penjaringan pimpinan KPK.

Kedua, pimpinan KPK yang dilantik diduga tidak memiliki integritas dan diyakini membawa KPK ke arah yang buruk.

"Hal ini terkonfirmasi ketika salah satu di antara pimpinan KPK tersebut diduga pernah melanggar kode etik. Selain itu juga tidak patuh dalam melaporkan LHKPN," ujarnya.

Catatan yang sama juga untuk Dewan Pengawas KPK. Kata Kurnia, Presiden Jokowi sepertinya tidak memahami bagaimana cara memperkuat KPK dan memang berniat menghancurkan lembaga antikorupsi itu.

Sponsored

"Jadi, ICW menolak keseluruhan konsep dari dewan pengawas sebagaimana tertera dalam UU KPK baru," kata dia.

Ada tiga alasan penolakan tersebut. Pertama, secara teoritik KPK masuk dalam rumpun lembaga negara independen yang tidak mengenal konsep lembaga dewan pengawas. Sebab, yang terpenting dalam lembaga negara independen adalah membangun sistem pengawasan.

Hal itu sudah dilakukan KPK dengan adanya deputi pengawas internal dan pengaduan masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik pada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang.

"UU KPK yang lama sudah menegaskan KPK diawasi beberapa lembaga, misalnya BPK, DPR, dan Presiden. Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan negara?" tanya dia.

Kedua, ICW menilai kewenangan dewan pengawas sangat berlebihan. Terlihat dari tindakan pro justicia yang dilakukan KPK harus meminta izin dari dewan pengawas. Sementara di saat yang sama, kewenangan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut justru dicabut.

Ketiga, kehadiran dewan pengawas dikhawatirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, dewan pengawas dalam UU KPK baru dipilih oleh Presiden.

Untuk itu ICW menuntut agar Presiden Joko Widodo segera menunaikan janji yang pernah diucapkan terkait penyelematan KPK, melalui instrumen peraturan pemerintah pengganti undang-undang

"Adapun perppu yang diharapkan publik mengakomodir harapan, yakni membatalkan pengesahan UU KPK baru dan mengembalikan UU KPK seperti sedia kala," pungkasnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid