Identitas dan hak-hak warga penghayat kepercayaan
Saat ini, menurut Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, ada 105 warga penganut kepercayaan yang terdata.
Hak-hak warga penghayat
Endang Retno Lastani berkisah, saat ini hampir semua hak-hak warga penganut kepercayaan terpenuhi. Misalnya dalam urusan menikahkan warga. Endang mengatakan, bila warga penghayat kepercayaan menikah, maka disaksikan pemuka penghayat kepercayaan. “Seperti penghulu kalau di Islam,” kata Endang.
Pemuka penghayat kepercayaan yang ditugaskan menikahkan warga merupakan orang yang ditunjuk masing-masing kepercayan, dan kata Endang, secara hukum terdaftar. Pemuka penghayat kepercayaan ini yang akan menandatangani surat nikah penghayat, kemudian dibawa ke pencatatan sipil untuk mendapatkan akte nikah.
Selain itu, untuk memperoleh pendidikan kepercayaan di sekolah, seperti pendidikan agama, juga sudah mulai bisa diterapkan.
“Kami mulai membuat kurikulum sendiri untuk ‘pendidikan kepercayaan’ dan melatih gurunya sendiri, karena belum ada gurunya. Saat ini sudah bekerja sama dengan beberapa sekolah,” katanya.
Lebih lanjut, Endang mengatakan, di sejumlah sekolah yang menerima guru honorer sudah mau bekerja sama, mempersilakan mengajar murid penganut kepercayaan. Murid-murid ini, kata dia, akan diajar seorang guru pendidikan kepercayaan yang telah bersertifikasi dan melewati uji kompetensi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kalau muridnya berjumlah 5% ke atas biasanya sekolah mengizinkan belajarnya di komunitas masing-masing atau di sanggar penghayat kepercayaan,” tuturnya.
Pengakuan dari institusi negara pun sudah mulai terakomodir. Misalnya, kata Endang, untuk pemangku jabatan yang butuh sumpah. Endang mencontohnya, seorang penghayat kepercayaan Parmalim di Jakarta dalam institusi kepolisian, yang disumpah sesuai dengan cara kepercayaannya.
“Jadi, sama seperti agama lainnya, ada teksnya sendiri. Di daerah kemarin saya lihat juga ada. Di Mamasa, Sulawesi Barat, ada sepuluh pejabat di pemerintahan daerah yang juga sudah disumpah dengan cara yang sama,” ujarnya.
Namun, dalam urusan pemakaman, masih sering terjadi penolakan yang dialami warga penghayat kepercayaan. Ia mengatakan, ada warga penghayat yang dimakamkan di pemakaman muslim, ada juga yang dikremasi. Tergantung kesepakatan pihak keluarga.
“Selama komunikasinya baik dengan warga sebenarnya semuanya bisa dibicarakan. Ada contoh kasus yang dimakamkan di makam muslim, setelah disalatkan terlebih dahulu. Asal keluarganya tidak keberatan,” katanya.
Menurut Endang, untuk kasus warga penghayat yang dimakamkan dengan cara disalatkan terlebih dahulu, pertimbangannya karena pemakaman umum yang dikelola pemerintah daerah terlalu jauh.
“Tapi kami bersepakat dengan warga bahwa para penghayat kepercayaan boleh menghadiri dan mendoakan prosesi pemakaman itu,” tuturnya.
Untuk masalah ini, penolakan pemakaman, Endang mengaku sedang menindaklanjutinya dengan jajaran terkait. Ia berharap, pemerintah bisa menyediakan lahan pemakaman khusus bagi warga penghayat kepercayaan.
Memelihara diskriminasi
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito mengatakan, amar putusan MK merupakan sebuah bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi penghayat kepercayaan, yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, serta dijamin dalam konstitusi.
“Mereka (warga penghayat kepercayaan) mestinya tidak lagi takut dalam mengekspresikan kebebasan dalam menganut kepercayaan yang mereka yakini,” tuturnya ketika dihubungi, Kamis (28/2).
Selanjutnya, Arie memandang, hal ini juga harus dihormati semua pihak, dan negara memiliki kewajiban melindungi hak-hak warga penghayat.
Dihubungi secara terpisah, menyoal pencantuman kepercayaan di KTP el, antropolog sekaligus peneliti Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat (PUSAKA) R Yando Zakaria mengatakan, kelompok para penghayat kepercayaan sebenarnya punya aspirasi yang tidak tunggal.
Menurutnya, ada tiga bentuk aspirasi. Pertama, ada yang tidak mempermasalahkan pencantuman itu atau mengasosiasikan diri dengan agama resmi yang ada. Kedua, ada yang puas dengan diakuinya kepercayaan sebagai identitas yang tercantum di KTP el, meski secara otomatis berbeda dengan agama. Seperti yang kini diterapkan. Ketiga, ada yang menginginkan kesetaraan antara agama dan kepercayaan.
Selain tiga aspirasi tersebut, kata Yando, ada pula yang menolak agama tradisi atau lokal dikategorikan sebagai kepercayaan, dan menuntut kolom agama di KTP el bisa diisi dengan nama agama tradisi atau lokal.
“Keputusan saat ini, yang membedakan agama dan kepercayaan pada kolom KTP el, bukan tidak mungkin memelihara diskriminasi yang ada,” katanya saat dihubungi, Kamis (28/2).
Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah saat ini tidak akan memuaskan semua pihak. Dan pada titik tertentu, menurutnya, masih mempertahankan politik diskriminatif yang ada.
“Ya, yang menggunakan KTP el dengan kolom kepercayaan tetap saja dianggap tidak beragama. Padahal, agama itu apapun wujudnya, fundamental sekali bagi seseorang atau kelompok. Coba saja di balik, enam agama resmi sekarang itu dikategorikan sebagai kepercayaan, mau enggak?” kata dia.