sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Impunitas aparat dan nyanyi bisu Mama Papua

Polri membantah semua tuduhan ihwal pembunuhan atas sejumlah warga Papua, selama delapan tahun terakhir.

Purnama Ayu Rizky Ayu mumpuni Annisa Saumi
Purnama Ayu RizkyAyu mumpuni | Annisa Saumi Selasa, 03 Jul 2018 14:34 WIB
Impunitas aparat dan nyanyi bisu Mama Papua

Mama Douw tak pernah menyangka, jika hari itu 9 Desember 2014 merupakan pertemuan terakhirnya dengan putra semata wayang, Pius Youw (19). “Hati saya sedih, anak laki-laki satu-satunya ditembak mati seperti binatang,” tuturnya. Sebelumnya, Mama Douw bersama dengan sejumlah perempuan Enarotali berada di garda depan usai pecah insiden kekerasan pemuda di Pondok Natal. Ia menari waita menuju Lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai pagi harinya dan berupaya menghalau pemuda yang merangsek masuk ke markas Polsek dan Koramil setempat.

Nahas, beberapa waktu kemudian, tanpa kompromi aparat menembakkan peluru secara bertubi-tubi ke udara, termasuk ke arah perempuan dan para pemuda. Mama Douw selamat, namun timah panas menembus kulit putranya hingga tewas.

Sebagai wujud protes atas kematian Pius Youw, janda yang sehari-hari berkebun wortel dan menjualnya ke Pasar Enaro ini membiarkan jenazah putranya, persis di depan kantor Koramil. Ia bersama mama-mama yang anaknya turut menjadi korban penembakan, membangun tenda untuk menempatkan peti jenazah putra mereka, sembari berunjuk rasa menuntut pertanggungjawaban Pangdam Trikora dan Kapolda Papua.

Empat hari berselang, tak ada respons dari pihak militer Indonesia di Papua. Apa lacur, jenazah lima korban tewas yang umumnya merupakan pelajar SMA ini pun dikuburkan, karena kondisinya yang mulai membusuk. Mama Douw dan perempuan lainnya menggali liang lahat seadanya untuk mengebumikan putra-putra mereka.

Kasus kekerasan yang menimpa Mama Douw dan putranya tersebut memang memperlihatkan pola dan motif kekerasan yang berbeda. Jika dalam kasus-kasus sebelumnya, perempuan umumnya mengalami kekerasan seksual dan penyanderaan dalam rangka penundukan anggota keluarga yang dituduh terlibat gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Maka, kekerasan Paniai ini agak khusus lantaran korban penembakan yakni Pius Youw, Apinus Octovia Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degey, merupakan anak laki-laki tunggal dalam keluarga masing-masing.

Menurut Yones Douw, Koordinator Monitoring dan Investigasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia dari Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kingmi di Tanah Papua, sesuai pandangan budaya setempat, ketika anak laki-laki tunggal dalam keluarga mangkat, walhasil penerus marga/ fam sudah tidak ada lagi.

“Ini menjadi siksaan seumur hidup bagi mama-mama yang melahirkan mereka, sebab sesuai tradisi, mereka dianggap sebagai perempuan yang tak berguna lagi,” imbuhnya, dikutip Elsam.

Genealogi kekerasan perempuan Papua

Sponsored

Koordinator Divisi Perempuan Elsam Papua Zandra Mambrasar mengungkapkan akar dan genealogi kekerasan yang menimpa perempuan Papua. Menurutnya, kekerasan pada perempuan Papua baik yang motifnya berupa pembunuhan suami dan anak, maupun kekerasan serta pelecehan seksual sudah terjadi, bahkan sejak sebelum Pepera.

Anak-anak di Papua./Pinterest

Sejarah kelam di Papua sudah diawali sejak operasi militer 1952 di bawah komando Ali Kahar. Namun, saat itu operasi militer dilakukan untuk mengkonfrontasi Belanda yang masih bercokol di sana. Sejak itu, nama-nama seperti Beny Moerdani, Ali Murtopo, dan Sarwo Edhie Wibowo, bergantian memimpin operasi militer Papua. Puncaknya adalah ketika Ali Murtopo memimpin operasi militer antara 1961-1969 untuk mengawal proses integrasi Papua hingga pelaksanaan Pepera.

Sejak itulah terjadi kekerasan politik dan pelanggaran HAM di Papua. Pasalnya, menjelang Pepera kelompok militer Indonesia getol melakukan intimidasi dan memperlakukan orang Papua secara semena-mena. Tokoh-tokoh intelektual dan masyarakat yang tidak setuju dengan integrasi Papua ke Indonesia ditekan dengan intimidasi dan teror, diberi minuman keras, dan perlakuan semena-mena lainnya.

Sementara itu, menurut Zandra, pelaksanaan Pepera sendiri sangat kontradiktif dengan semangat demokrasi. “Bayangkan saja, dalam Pepera, satu orang tidak sama dengan satu suara. Namun itu dilakukan dengan cara perwakilan, sebanyak 2025 orang mewakili 800.000 orang Papua saat itu,” ungkapnya.

Menurut Naj Taylor sebagaimana dikutip oleh aktivis Papua Zely Ariane, Pepera sendiri adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial budaya masyarakat asli Papua. Tak kurang dari 100.000 manusia Papua asli tewas dibunuh dalam berbagai operasi pembersihan gerakan Papua Merdeka di berbagai wilayah Papua sejak Orde Baru berkuasa.

Selain operasi penumpasan pimpinan Ali Murtopo, ada pula operasi militer lainnya seperti Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1982), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi Sapu Bersih (1985), Daerah Operasi Militer (1989-1998), dan pembatasan kunjungan internasional sejak 2003.

“Pembersihan” warga Papua pada akhirnya melahirkan ekses-ekses yang tak berkesudahan hingga saat ini. “Para perempuan penyintas kekerasan di Papua hidup dalam trauma yang berkepanjangan, gangguan kesehatan reproduksi yang terganggu, sumber penghasilan ekonomi raib karena kesehatan fisik yang menurun, menjadi tuna wisma, dan mengalami diskriminasi seumur hidup akibat pelabelan simpatisan OPM,” jelas Zandra.

Kasus-kasus kekerasan, seperti peristiwa penembakan di Paniai sendiri bukan merupakan hal yang asing di Papua. Selama dua dekade sejak Reformasi 1998 di Indonesia, Amnesty International kerap menerima laporan dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) oleh pasukan keamanan di Papua dan Papua Barat.

Dalam laporan bertajuk "Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua", Amnesty International mencatat, ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan di Papua. Itu terjadi dalam kurun Januari 2010 sampai Februari 2018, dan memakan 95 korban jiwa. Dalam 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan 11 kasus lainnya dilakukan kedua aparat keamanan bersama-sama. Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), lembaga di bawah pemerintah daerah yang ditugaskan untuk menegakkan peraturan daerah. Sebagian besar korban, 85 dari mereka, merupakan warga etnis Papua.

Jauh sebelum itu, dari kurun 1963 hingga 2009, sebanyak 138 kasus kekerasan terhadap perempuan Papua juga terjadi. Dalam laporan bertajuk ‘Stop Sudah!” yang berisi kesaksian 138 penyintas perempuan Papua, 14 kasus di antaranya melibatkan aparat TNI/ Polri. Korban kekerasan terus muncul bahkan setelah Otsus Papua dipancangkan.

Menurut Markus Haluk (2013), dalam kurun 2008 hingga 2012 ada sebanyak 366 kasus pelanggaran hak sipil dan politik terhadap rakyat Papua. Pelanggaran itu meliputi penyiksaan berat, penangkapan sewenang-wenang, penembakan dan pembunuhan, pemerkosaan perempuan, pembakaran, penggerebekan asrama mahasiswa dan penghancuran harta warga, pengekangan demonstrasi damai, penolakan surat pemberitahuan demo damai, penahanan warga sipil dengan tuduhan makar, pembatasan akses anggota parlemen, kongres dan diplomat asing, pembatasan dan ancaman terhadap jurnalis internasional, media nasional dan lokal, serta ancaman pembela HAM.

Sementara berdasarkan temuan ELSAM terbaru, sepanjang 2014 ada 102 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk di antaranya kekerasan terhadap perempuan, yang terjadi di Papua. Sebagian besar kasus kekerasan yang terjadi di 19 kabupaten/ kota di Papua ini melibatkan aparat keamanan dan anggota aparat keamanan, anggota TNI, dan kelompok sipil bersenjata Terakhir, terjadi peristiwa penembakan oleh aparat keamanan di Paniai yang menewaskan lima orang korban, di antaranya Pius Youw, putra Mama Douw di atas.

Polri bantah semua tuduhan

Di sisi lain, Polri membantah pernyataan Amnesty Internasional yang menuding polisi dan militer terlibat dalam pembunuhan ratusan orang Papua selama 2010-2018. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol M. Iqbal menuturkan, tindakan Polri selalu dilandasi hukum.

“Kami punya kewenangan diskresi kepolisian untuk melindungi nyawa orang lain dan nyawa sendiri,” paparnya, Selasa (2/7).

Aparat polisi di Papua./ Time

Menurutnya, segala tindakan terstruktur yang telah dilakukan, terkait hak dan tugas Polri bertugas melindungi masyarakat dari segala ancaman. Iqbal menambahkan, tak ada unsur politik dalam setiap tindakan yang dilakukan Polri.

Tak hanya masyarakat asli Papua yang menjadi korban, imbuhnya, anggota Polri pun kerap jadi korban pembunuhan oleh kelompok bersenjata di Papua. Hal itu menurutnya, menjadi penanda Polri telah berupaya menegakkan hukum di Papua, alih-alih melanggar HAM.

“Banyak lagi petugas di lapangan dan tidak mungkin putra daerah membantai saudaranya kecuali ada kasus yang mengancam nyawa,” tutur Iqbal.

Terkait investigasi, Iqbal menjelaskan setiap kasus selalu melalui proses tertentu hingga identifikasi jasad. Hal ini diamini Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Setyo Wasisto, yang menyatakan segala sesuatu sudah berdasarkan SOP Polri.

Janji Jokowi dan solusi mandiri

Beberapa hari selang penembakan di Papua, Presiden Jokowi turut merayakan natal di Papua. Dalam lawatannya, ia berjanji akan menuntaskan kasus penembakan yang menewaskan empat warga sipil tersebut. Ini selaras dengan kampanye yang kerap ia dengungkan sebelum terpilih sebagai RI-1. Berbeda dengan lawan politiknya, Prabowo Subianto yang selalu dibayang-bayangi pelanggaran HAM.

Jokowi bersama dengan Wiranto dan Jusuf Kalla./ Antarafoto

Merespons ini, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, menilai Jokowi tak konsisten dengan janji yang ia ucapkan. Jika mulanya ia punya komitmen kuat pada Papua, yang ditandai dengan pembebasan lima tahanan politik di Papua kala itu, kini sikap itu berbalik. Komitmennya, sambung Usman, dipertanyakan.

Apalagi saat Jokowi sengaja menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menggantikan Luhut Binsar Panjaitan Desember 2016 lalu. 

“Pada tahun ketiga masa jabatannya, tidak ada satupun perhatian yang diberikan Jokowi pada Hak Asasi Manusia,” ungkap Usman.

Jokowi sendiri, kata Usman, mengakui tidak ada satu pun kasus HAM yang diselesaikan oleh pemerintah dan tidak ada satu pun tersangka yang dibawa ke pengadilan sipil. Padahal Jokowi telah menginstruksikan Jaksa Agung untuk menanganinya, namun Jaksa Agung tidak menindaklanjuti. 

Usman menyebut hanya ada enam kasus yang dibawa ke mekanisme disiplin internal militer. Oleh karenanya, Usman menilai pemerintahan Jokowi telah gagal dalam mengatasi masalah HAM berdasarkan laporan-laporam yang dikumpulkan Amnesty International. 

Ia bahkan menyebut prioritas Jokowi di tanah Papua telah bergeser ke untuk mempercepat pembangunan yang menurutnya hanya untuk pencitraan saja. 

Untuk itu, Amnesty International merekomendasikan pada pihak berwenang agar semua pembunuhan di luar hukum yang dilakukan apparat keamanan diselidiki secara cepat, tidak memihak, dan efektif. Penyidikan dan penuntutan tak boleh terbatas hanya pada pelaku langsung, tetapi juga melihat keterlibatan atasan.

Sementara menurut Yones Douw, ada pelbagai dukungan yang bisa diberikan pada warga khususnya para perempuan Papua. Selain mendorong advokasi, upaya perlindungan dan ganti rugi bagi korban dan saksi melalui LPSK Jakarta, pengobatan medis lanjutan, yang terpenting adalah menarik mundur pasukan militer dan kepolisian yang berlebihan di Papua.

Sementara menurut Ati Nurbaiti, redaktur The Jakarta Post, media juga berperan penting dalam mengawal penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.

“Selama ini kecenderungan pemberitaan selalu menghasilkan bias tersendiri. Misalnya ketika memberitakan kasus bentrok aparat militer dan warga demonstran, jurnalis kerap mengaitkan dengan label OPM dan ras. Korban pun diposisikan debagai pihak yang bersalah karena tidak memiliki ideologi yang sejalan dengan pemerintah,” keluhnya.

Belum lagi masalah minimnya pengetahuan jurnalis terhadap sejarah konflik dan kekerasan di Papua, baik yang sifatnya vertikal hingga horizontal. Yuliana Lantipo, jurnalis perempuan membenarkan, minimnya pengetahuan para jurnalis Jakarta yang bertugas di Papua. “Ada wartawan yang bahkan tidak tahu sama sekali akar masalah konflik di Papua. Apa-apa dikaitkan dengan gerakan separatis, kan miris,” ungkapnya.

Persoalan lainnya, kebanyakan dari mereka masih mereduksi kasus pelanggaran HAM dan konflik di Papua sebagai konflik lokal semata. Padahal semestinya jurnalis bisa lebih independen dalam menuliskan berita, sebagaimana saat meliput kasus pelanggaran HAM di pulau Jawa, Sumatera, dan lainnya.

Berita Lainnya
×
tekid