sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ingatan memiliki keluarga dalam pesan ekspresif pemudik

Pesan yang ditempel pada kendaraan yang dipakai mudik merupakan ekspresi bentuk kekerabatan yang erat.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Selasa, 12 Jun 2018 17:10 WIB
Ingatan memiliki keluarga dalam pesan ekspresif pemudik

Perjalanan mudik ke kampung halaman tak hanya dihiasi kemacetan dan rasa suntuk di kendaraan. Beberapa tahun kebelakang ini, sering dijumpai pemudik sepeda motor menempelkan tulisan lucu dan penuh makna di belakang tas atau barang mereka.

Misalkan saja tulisan 'sepurone mak mung iso nggowo parcel, udu nggowo mantu', 'wong tuo ora butuh bendo. Tapi butuh anake teko. Muliho! Sugih kere tetep mulih', atau 'pingin ketemu bapak lan ibu karo bojo sing wis nunggu'.

“Pesan yang ditempel pada kendaraan yang dipakai mudik merupakan ekspresi bentuk kekerabatan yang erat, terutama dengan orang dan tempat yang berhubungan dengan kelahiran mereka,” ucap pakar Komunikasi Universitas Brawijaya, Abdul Wahid, saat dihubungi Alinea, Selasa (12/6).

Mudik, kata Wahid, adalah soal komunikasi yang menandakan bahwa masyarakat memiliki jaringan unik kekerabatan.

Soal jaringan unik kekerabatan ini, antropolog Clifford Geertz pernah mengatakan, manusia memiliki kehidupan sosial, membuat mereka tidak bisa keluar dari jaringan solidaritas sosial yang telah mereka bangun bersama. “Pekerja dengan kategori kelas bawah seperti kuli, buruh pabrik, pedagang keliling, dan pekerja kelas menengah dengan UMR seadanya, mereka semua terlibat  dalam riuh modernitas. Tetapi, relasi asal antara mereka dengan indigenous culture (kebiasaan asal) masih tak bisa dilepaskan,” ujar Wahid.

Geertz pernah mengurai momentum mudik dan lebaran ini dalam bukunya The Religion of Java. Ia mengatakan, Lebaran mengeluarkan semangat kebersamaan di antara masyarakat Indonesia, menyampingkan intoleransi dalam perbedaan, dan menunjukkan kesatuan masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Geertz melihat perayaan lebaran ini sebagai ritual yang nasionalis dan merupakan tanda kesatuan budaya.

Sementara itu, tulisan-tulisan yang dibawa selama mudik adalah soal pesan ekspresif dan lekat dengan ingatan sosial para pemudik. Ingatan tentang memiliki keluarga tersebut dibawa ke perantauan oleh pemudik dan menemukan bentuk ekspresifnya saat perjalanan balik ke kampung halaman. “Pesan tentang keluarga adalah pesan bahwa puncak kebahagiaan masyarakat kita adalah kepedulian pada keluarga,” terang Wahid.

Tulisan-tulisan yang dibawa pemudik merupakan perayaan bersama antar sesama pemudik. Jalanan yang sama-sama disusuri pemudik menuju kampung halaman, merupakan tempat bertemunya individu-individu anonim dan massif. “Anonimitas yang saling bertemu dengan pesan sama di jalan ini dapat menguatkan keberadaan mereka sebagai 'sang peraya' kemenangan puasa dan sukses bekerja sebagai perantau pada Hari Raya Idul Fitri nanti,” urai Wahid.

Sponsored

Sementara, Professor dan filsuf berkebangsaan Kanada, Marshall McLuhan, pernah melontarkan istilah medium is the message. Istilah tersebut melihat pesan disampaikan pemudik menjadi tidak lebih penting daripada media yang digunakan pemudik untuk menyampaikan pesannya. Kertas yang ditulisi pemudik untuk menyampaikan pesan ekspresif mereka, membantu membentuk gambaran visual tentang kampung halaman bagi orang-orang di belakang pemudik yang membaca pesan ekspresif tersebut.

Pesan ekspresif yang dibawa pemudik menguatkan keberadaan pemudik sebagai salah satu kelompok peraya kebahagiaan yang unik. Para pemudik, berada di luar komodifikasi kebahagiaan yang membosankan di bawah sistem kapital seperti media, hotel, tempat hiburan, dan seterusnya.

Wahid berharap pemerintah membuka mata dengan ritual mudik ini. Apalagi, pekerjaan dan materi bertalian erat saat pemudik tidak bisa membawa tabungan yang bisa disodorkan pada keluarga. “Seharusnya pemerintah melihatnya sebagai pesan untuk membuat kebijakan yang bisa lebih menyasar kesejahteraan lebih merata terutama pada pekerja kelas menengah bawah,” tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid