sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jatam: Omnibus Law bakal merusak lingkungan

Deregulasi tentang bisnis pertambangan di Omnibus Law dinilai bakal merusak lingkungan.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Minggu, 19 Jan 2020 23:15 WIB
Jatam: Omnibus Law bakal merusak lingkungan

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan pemerintah menghapuskan ketentuan pembatasan masa izin tambang dan luasan konsesi wilayah tambang untuk usaha pertambangan yang memiliki tempat pemurnian atau smelter dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menjelaskan sebelumnya, dalam UU 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral dan Batubara disebutkan masa izin tambang berlaku selama 20 tahun hingga 30 tahun. Kemudian, di Omnibus Law, dihapus menjadi tanpa batas waktu.

Sementara, luasan konsesi yang tadinya dibatasi sebesar 15.000 hektare dalam UU 4/2009, dihilangkan pada Omnibus Law.

"Ini menunjukan watak energi kita menggunakan energi kotor. Jadi bagi perusahaan tambang tertentu tidak ada batasnya. Pengusiran dan penggusuran akan terjadi untuk orang di kampung," ujarnya.

Johansyah menyebut hal ini akan berbahaya bagi lingkungan hidup, bahkan dapat memunculkan bencana lingkungan hidup.

"Omnibus Law adalah rencana sah pemerintah untuk melakukan pengusiran, peracunan terhadap alam dan lingkungan, serta menciptakan pengungsi sosial ekologis," katanya.

Apa yang ia maksud dengan pengungsi sosial ekologis adalah terciptanya pengungsi baru yang disebabkan oleh bencana lingkungan hidup atau kerusakan lingkungan akibat praktik buruk pertambangan.

Sementara itu, untuk tahun 2019 saja, sebanyak 6 juta penduduk Indonesia telah menjadi pengungsi baru akibat dari kerusakan alam yang disebabkan perusahaan tambang.

Sponsored

Jika batasan-batasan yang disebutkan di atas kemudian dihilangkan, lanjutnya, akan menambah pengungsi sosial ekologis baru di Indonesia di tahun ini dan tahun-tahun mendatang.

"Ke depan akan ada orang-orang yang diusir dari kampungnya karena tambang sudah tidak lagi mengenal batas waktu dan wilayah," ucapnya.

Selain itu, tidak ada lagi pidana bagi perusahaan pertambangan yang terindikasi menyebabkan kerusakan lingkungan. Sanksinya kemudian hanya berupa sanksi administrasi.

"Yang parah juga, hilangnya pidana lingkungan hidup. Jadi kalau ada persoalan pelanggaran korporasi terhadap lingkungan, itu tetap dilakukan proses hukum, tapi hanya sanksi administrasi," jelasnya. 

Johansyah pun menuturkan ketentuan terkait kewajiban setiap provinsi memiliki kawasan hutan sebanyak 30% juga dihilangkan. 

Selain itu, izin pinjam pakai kawasan hutan dipermudah untuk menarik masuknya perusahaan tambang. Padahal, dalam UU 41/1999 pemanfaatannya dibatasi.

"Kemudian izin pinjam kawasan hutan dipermudah untuk kepentingan penguasa. Izin pakai kawasan perhutanan itu diubah untuk dapat menarik izin tambang panas bumi atau geothermal," tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid