sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Koalisi sipil desak Jokowi evaluasi Kejagung usai vonis kasus Paniai

Koalisi menganggap vonis bebas tersebut adalah bukti negara tak berkutik terhadap para penjahat HAM di Indonesia.

Gempita Surya
Gempita Surya Jumat, 09 Des 2022 15:36 WIB
Koalisi sipil desak Jokowi evaluasi Kejagung usai vonis kasus Paniai

Terdakwa tunggal peristiwa Paniai 2014, Mayor Inf Purn. Isak Sattu, divonis bebas berdasarkan keputusan majelis hakim Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12). Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menganggap, vonis bebas tersebut adalah bukti negara tak berkutik terhadap para penjahat HAM di Indonesia. 

"Putusan bebas yang dibacakan oleh Majelis Hakim bertepatan dengan 8 tahun momen peringatan peristiwa ini adalah buah dari buruknya kinerja penegakan hukum untuk penuntasan pelanggaran HAM berat di Indonesia," tulis Koalisi dalam keterangan resmi, Jumat (9/12).

Koalisi menilai, peristiwa yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 ini secara jelas telah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan. Namun, negara tak kunjung mengungkap pelakunya.

Selain itu, belum ada satu pun pelaku yang dihukum dari peristiwa yang menewaskan empat orang dan menyebabkan sedikitnya 10 orang luka-luka ini. Sementara, Pengadilan HAM atas peristiwa Paniai memutus bebas terdakwa sebab dakwaan mengenai pertanggungjawaban komando tidak terbukti melekat dalam diri terdakwa.

Menurut Koalisi, kegagalan negara dalam penegakan hukum atas kasus ini sudah terlihat sejak awal, dengan proses yang dinilai banyak kejanggalan. Koalisi menilai, penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sejak awal berlangsung dengan begitu buruk.

"Hal yang paling patut untuk disorot ialah mengenai minimnya pelibatan dari penyintas dan keluarga korban meski sejak momen awal peristiwa, mereka secara proaktif memberikan keterangan dan bukti untuk mendukung proses hukum," ujar Koalisi.

Selain itu, tindak lanjut dari aparat penegak hukum yang berlarut-larut, menghasilkan ketidakadilan dan kekecewaan bagi para penyintas serta keluarga korban.

Koalisi juga menyoroti adanya ketimpangan dalam proses persidangan, di mana pengadilan ini didominasi oleh narasi aparat, keterangan dari sisi para terduga pelaku.

Sponsored

"Hingga Pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai di tingkat pertama berakhir, hanya ada dua penyintas yang keterangannya hadir di pengadilan, dan keduanya hanya berbentuk pembacaan," ujar mereka.

Di sisi lain, Koalisi turut menyoal kinerja Kejaksaan Agung yang pada akhirnya hanya menyeret satu orang terdakwa. Terlebih, terdakwa dikenakan pertanggungjawaban komando dalam Pasal 42 Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tanpa ada proses hukum bersamaan dengan para pelaku lapangan.

Sementara, melalui proses pemeriksaan saksi di persidangan, terungkap sejumlah dugaan kuat nama-nama eksekutor yang membunuh dan menganiaya para korban.

"Jika informasi berharga ini tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan, keberpihakan Kejaksaan Agung sangat patut kita permasalahkan," tutur Koalisi.

Koalisi menilai, pengadilan HAM atas Peristiwa Paniai ini terkesan tidak siap menyelenggarakan proses terhadap peristiwa hukum sepenting kejahatan kemanusiaan. Oleh karenanya, Koalisi memberikan sejumlah rekomendasi terhadap putusan persidangan atas peristiwa Paniai 2014, di antaranya meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung.

Kemudian, meminta Kejaksaan Agung menindaklanjuti fakta persidangan dan menggelar upaya hukum lanjutan. Tindak lanjut ini dilakukan baik terhadap terdakwa yang diputus bebas atau dengan menyeret para pelaku lain baik di tataran langsung atau komando ke pengadilan.

Selain itu, Koalisi juga meminta Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Kejaksaan Agung untuk melibatkan dan memulihkan para penyintas dan keluarga korban peristiwa Paniai.

Berita Lainnya
×
tekid