sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jokowi sesumbar UU Cipta Kerja perbaiki hidup pekerja

Masyarakat yang menolak dipersilakan menggugat ke MK.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 09 Okt 2020 19:53 WIB
Jokowi sesumbar UU Cipta Kerja perbaiki hidup pekerja

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) membutuhkan banyak peraturan turunan. Karenanya, pemerintah mengklaim akan menampung berbagai masukan dalam pelaksanaannya.

"Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah atau PP dan peraturan presiden atau perpres. Jadi, setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan," ujarnya dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Kota Bogor, Jawa Barat (Jabar), Jumat (9/10).

Dirinya sesumbar, beleid sapu jagat (omnibus law) ini mampu memperbaiki kehidupan pekerja mengingat sekitar 2,9 juta anak muda baru masuk pasar kerja setiap tahunnya. Sehingga, kebutuhan atas lapangan pekerjaan baru sangat mendesak, apalagi sekira 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi coronavirus baru (Covid-19).

Sebanyak 87% dari total pekerja di Indonesia, sambung Jokowi, merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA) ke bawah. Lalu, sebesar 39% lulusan sekolah dasar (SD). Maka, perlu mendorong penciptaan lapangan pekerjaan baru, khususnya di sektor padat karya.

"Jadi, UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," kilah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.

Selain itu, Jokowi berdalih, UU Ciptaker bisa memudahkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk membuka usaha baru tanpa terbentur regulasi yang tumpang tindih.

"Prosedur yang rumit pangkas. Perizinan usaha untuk UMK tidak diperlukan, hanya pendaftaran saja. Sangat simpel," ucapnya.

Dirinya pun mempersilakan warga negara yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sponsored

“Kalau masih ada, jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK. Sistem ketatanegaraan kita memang seperti itu,” tutup Jokowi.

Pengesahan UU Ciptaker oleh DPR pada Senin (5/10) memicu gelombang protes di berbagai daerah. Dari organisasi masyarakat lintas agama, serikat buruh, hingga kalangan akademisi menyatakan menolaknya.

Berdasarkan kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat beberapa alasan RUU Ciptaker layak disetop. Pertama, prosedur perencanaan dan pembentukannya tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang diatur Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Ketiga, akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan eksekutif, sehingga berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Keempat, akan ada UU superior serta menimbulkan kekacauan tatanan dan ketakpastian hukum saat UU Ciptaker disahkan. Lalu, kemunduran atas kewajiban negara dalam memenuhi hak pekerjaan dan penghidupan yang layak serta mengakibatkan pelanggaran kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.

Keenam, pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena pembatasan hak berpartisipasi dan atas informasi. Ketujuh, relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga pengawas kebijakan terkait.

Kedelapan, kemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Selanjutnya, kemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan, ketimpangan akses, dan kepemilikan sumber daya alam (SDA). Terakhir, politik penghukuman dalam UU Ciptaker bernuansa diskriminatif.

Berita Lainnya
×
tekid