Kalut Covid-19 di tangan Luhut
Keterlibatan Luhut potensial jadi bumerang. Jokowi terkesan masih ingin menyelamatkan perekonomian.
Dari kantornya di kawasan Thamrin, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bergegas menuju Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (30/3) siang itu. Bersama menteri koordinator lainnya, Luhut langsung menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hari itu, jumlah kasus positif Covid-19 kembali bertambah 129 kasus. Total sudah ada 1.414 kasus positif Covid-19. Pertemuan dadakan itu digelar Jokowi untuk mengevaluasi upaya-upaya pencegahan wabah Covid-19.
Dalam rapat itu, menurut juru bicara Menko Marves Jodi Mahardi, Luhut ditunjuk sebagai koordinator penanganan Covid-19. "Ya, pokoknya mengkoordinasi apa yang ditugaskan ke Pak Luhut. Tapi, bukan memegang kendali," ujarnya kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (2/4).
Tak lama setelah rapat itu, Luhut langsung mengeluarkan keputusan membatalkan kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenai penghentian operasional bus antar kota antar provinsi (AKAP) dan antar jemput antar provinsi (AJAP) serta bus pariwisata di Jakarta.
Keputusan itu diambil Luhut selaku pelaksana tugas Menteri Perhubungan (Menhub) menggantikan Budi Karya Sumadi yang tengah terbaring di rumah sakit lantaran positif Covid-19. Luhut berdalih belum ada kajian dampak ekonomi dari penghentian operasional bus-bus tersebut.
Dalam berbagai kesempatan, Anies ogah mengomentari pembatalan keputusan itu. Kritik pedas justru datang dari politikus Gerindra Fadli Zon. Mengomentari sebuah tautan berita di akun Twitternya, Fadli menyebut Luhut bertindak seperti 'the real president'.
Politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean pun ikut nimbrung.
???????????? jangan begitulah bang, masa pak @jokowi direndahkan begitu? Kasihan dong pak @prabowo yg skrg bawahan dan pembantunya pak Jokowi. Gmn lg hirarkinya ke pak Luhut kalau sprt yg abang bilang ini? 3 tingkat dong dibawah?
Urutannya : Real Pres->Pres->Menko->Menhan. Jgn ah bang — FERDINAND HUTAHAEAN (@FerdinandHaean2) March 31, 2020
Namun, Jodi membantah Luhut bertindak semaunya dalam membatalkan penghentian operasional bus umum dari dan ke Jakarta. Menurut dia, keputusan itu dikeluarkan Luhut karena "dipesan" Jokowi setelah menimbang dampak ekonomi bagi masyarakat kecil.
"Sebenarnya Pak Luhut bukan membatalkan atau berseberangan dengan Anies Baswedan. Tapi, memang itu arahan Presiden untuk dikaji dahulu secara komprehensif. Jadi, Pak Luhut meminta semua ditunda dulu sampai arahan jelas," ucap Jodi.
Menurut Jodi, tidak ada tumpang tindih kewenangan antara Luhut dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sebagai Menhub ad interim, kata Jodi, Luhut memang punya kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait penanggulangan pandemi Covid-19.
Apalagi, kebijakan Anies untuk menghentikan operasional bus umum untuk mencegah meluasnya wabah Covid-19 juga terkait dengan posisi Luhut. "Sebab, itu berkaitan dengan arus distribusi logistik," jelas Jodi.
Lebih jauh, Jodi mengungkapkan dominannya Luhut sebagai pemegang komando penanganan Covid-19 tidak dimaksudkan untuk mengerdilkan peran kementerian lain. Menurut dia, semua keputusan Luhut selalu melalui proses koordinasi dengan semua menko dan lembaga terkait.
"Ada forumnya kok rapat antarmenko itu. Jadi, semua menko terlibat. Ini bukan kerjaan satu atau dua pejabat. Semua ini keroyokan dan digarap oleh semua unsur kabinet," kata dia.
Sesuai isi Keppres Nomor 9 Tahun 2020, Luhut sebenarnya tak dapat "panggung" di Gugus Covid-19. Dalam Keppres itu, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ditetapkan sebagai Ketua Pengarah Gugus Covid-19 didampingi Menko Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) dan Menteri Kesehatan (Menkes) sebagai wakil.
Selain itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditunjuk sebagai Ketua Pelaksana Gugus Covid-19. Kementerian Marves hanya disebutkan sebagai anggota tim pelaksana Gugus Covid-19. Luhut bahkan tidak masuk dalam anggota tim pengarah sebagaimana menteri-menteri Jokowi lainnya.
Keterlibatan Luhut bisa jadi bumerang
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengakui Luhut memang kerap menjadi andalan Jokowi untuk menangani isu-isu krusial. Namun demikian, ia menilai tak sepatutnya komando penanganan Covid-19 "dialihkan" begitu saja kepada Luhut.
"Pak LBP (Luhut) punya energi besar. Tapi, tetap yang terbaik semua diaktivasi. Meskipun demikian, saya berpendapat, yang terpenting mission accomplished (misi dituntaskan)," ujar dia kepada Alinea.id di Jakarta Selasa (31/3).
Ia memandang peran Luhut yang terlalu dominan dalam penanganan wabah Covid-19 potensial memicu ketidaksinkronan kebijakan di internal kabinet. Apalagi, Luhut dan Menko Polhukam Mahfud MD sempat tak sepaham soal karantina wilayah.
Karena itu, Mardani meminta agar Jokowi berhati-hati dalam membagi peran dan tanggung jawab bagi para menteri. Bukan tidak mungkin Jokowi bakal jadi sasaran tembak saat penanganan Covid-19 bertambah amburadul ketika Luhut dilibatkan.
"Semua menteri tetap saja penanggung jawabnya adalah Presiden. Jika ada ketidakharmonisan bukan salah menteri, tapi Presiden. Itu karena semua di bawah kewenangan Presiden," ujar Mardani.
Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (Cespels) Ubedilah Badrun menilai kehadiran Luhut di panggung Covid-19 tak lepas dari sosoknya yang dianggap mampu merepresentasikan bebagai kalangan dan kepentingan.
"Posisi LBP di Indonesia dalam perspektif politik berada pada posisi representasi dari dua oligarki besar, yakni oligarki ekonomi dan oligarki politik. Sebagian besar takluk pada LBP (atau) setidaknya pintu aksesnya melalui LBP. Termasuk kekuatan LBP lainya adalah jejaring lobi-lobi internasionalnya," kata dia kepada Alinea.id, Rabu (1/4).
Selain faktor kapabalitas, menurut Ubedilah, Jokowi juga punya utang jasa kepada Luhut. Sejak era Pilpres 2014, Luhut berperan besar dalam mengantarkan Jokowi sebagai tampuk kekuasaan, baik itu lewat dukungan finansial maupun pemikiran.
"Muncul satu perspektif publik bahwa bagi Jokowi, LBP itu manusia suci. Posisi yang begitu powerful pada LBP itulah yang menyebabkan peran LBP sangat signifikan dalam berbagai hal, termasuk dalam hal penanganan Covid-19," ujar dia.
Ubedilah pun setuju Jokowi perlu berhati-hati dalam membagi peran. Ia juga menyinggung kebijakan Luhut membatalkan penghentian operasional bus umum. Meskipun tak secara gamblang diurai, keputusan Anies itu bisa dikata merupakan bagian dari upaya karantina wilayah.
"Menkopolhukam menunjukan surat dari Gubernur DKI untuk karantina wilayah dan akan dibuat PP Karantina Wilayah. Besoknya, Menko Marves membatalkan usul Anies untuk menghentikan operasi bus AKAP. Sampai saat ini, PP Karantina Wilayah tak kunjung usai," imbuhnya.
Jokowi masih mau selamatkan ekonomi
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Zaki Mubarak memandang keterlibatan Luhut dalam penanganan Covid-19 merupakan pertanda Jokowi mulai ragu dengan kinerja para pembantunya dalam menangani Covid-19.
"Dia (Luhut) dianggap mampu menyelesaikan banyak urusan dan kebijakan nasional yang macet, bertele-tele, atau dirasakan lamban pada sejumlah kementerian. Dalam hubungan dengan BNPB dan yang lainnya, saya melihatnya pada perspektif itu," jelas Zaki.
Selain itu, menurut Zaki, keterlibatan Luhut juga mengindikasikan bahwa Jokowi masih berharap pemerintah bisa menyelamatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi bakal terpukul parah akibat pandemi Covid-19.
"Bila perspektifnya lebih ekonomi, memang dia (Luhut) harus (melihat) implikasi kebijakan (penanganan Covid-19) tersebut bagi investasi di Indonesia. Pertimbangan ekonomi itu pulalah yang saya kira lebih dominan dalam soal (penghentian) operasional bus AKAP," jelas Zaki.
Pendapat senada diutarakan pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Menurut Trubus, Luhut bakal cenderung menimbang aspek ekonomi ketimbang aspek kesehatan. Keputusan-keputusan yang diambil pun potensial kontradiktif dengan situasi darurat kesehatan yang tengah membekap Indonesia.
"Posisinya kini makin tidak jelas keputusan yang diambil. Ini mungkin karena kewenangan Pak Luhut yang terlalu besar itu. Banyak kewenangan yang enggak sinkron. Entah ada apa? Mungkin ada persaingan atau tekanan-tekanan dari pihak lain," ucap Trubus kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (30/3) lalu.
Lebih jauh, Trubus memandang keterlibatan Luhut bakal membuat penanganan Covid-19 oleh pemerintah pusat kian semrawut. Pasalnya, Jokowi sudah kadung membentuk Gugus Tugas Covid-19 via Keppres.
"Gugus Tugas itu sebenarnya kan gugus kendali. Bila seperti ini, makin enggak jelas. Akhirnya, bisa jadi terjadi tumpang tindih di tingkat pemerintah pusat. Alhasil, penanganan tidak fokus. Birokrasinya tambah rumit. Arah pemerintah enggak jelas dan masyarakat juga bingung," kata dia.
Karena itu, Trubus menilai wajar jika ada kepala daerah yang mengambil inisiatif melakukan karantina seperti yang saat ini terjadi di berbagai daerah. "Memang betul karantina wilayah itu harus ada kajian terlebih dahulu. Tapi, di pusatnya tidak keruan kinerjanya," kata dia.
Kepada Alinea.id, anggota Komisi IX DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Ashabul Kahfi berharap pemerintah pusat tak larut dalam perdebatan soal kewenangan. Ia mengatakan sudah saatnya semua pemangku kepentingan bersinergi mencegah meluasnya pandemi.
"Kami berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga dapat bersinergi dalam mengambil langkah yang sesuai dengan koridor perundang-undangan. Tidak terkesan jalan sendiri-sendiri," ucap Ashabul.