sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

“Kami masih mengalami diskriminasi, dianggap penganut ajaran sesat”

Disegelnya tugu pusara sesepuh masyarakat Akur Sunda Wiwitan menambah deretan panjang kasus diskriminasi yang menimpa penghayat.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Kamis, 06 Agst 2020 19:25 WIB
“Kami masih mengalami diskriminasi, dianggap penganut ajaran sesat”

Kecewa, sedih, dan kesal kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuningan, Jawa Barat, masih dirasakan girang pangaping atau pendamping komunitas Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan, Okky Satrio Djati.

Pasalnya, masyarakat Akur tak kunjung mendapatkan izin pembangunan makam sesepuh mereka, Pangeran Djatikusumah dan istrinya Emalia Djatikusumah di Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Okky menilai, Pemkab Kuningan kerap menghalangi rencana membangun makam dengan berbagai dalih. Awalnya, Pemkab Kuningan beralasan masyarakat Akur tak punya surat izin mendirikan bangunan (IMB).

“Kami bingung, apa iya untuk membuat makam harus ada IMB?” ujar Okky saat dihubungi reporter Alinea.id, Minggu (2/8).

Tak ingin berpolemik, masyarakat Akur akhirnya mengalah, mengikuti prosedur yang diminta. Namun, ketika meminta syarat yang harus dipenuhi, pada 20 Juli 2020 Pemkab Kuningan malah memutus sepihak untuk menyegel tugu bakal pusara dengan dalih menjaga ketertiban umum.

“Tanggal 1 Juni kami memberi (persyaratan) kepada Dinas Pelayanan Investasi dan Perizinan Satu Pintu yang mengurus IMB. Tapi, surat belum dijawab, datang surat peringatan ketiga, (yang menyatakan) belum punya IMB, maka disegel,” tuturnya.

Kepercayaan dan tanah adat

Okky heran, mengapa masalah ketertiban umum menjadi alasan untuk menyegel bakal makan sesepuh mereka. Padahal, dalam pandangan Okky, hal itu merupakan tanggung jawab Pemkab Kuningan untuk mencegah terjadinya persekusi terhadap masyarakat Akur.

Sponsored

Ia menjelaskan, sebelum mengajukan IMB, pihak dari Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Bakor Pakem) sudah melakukan kajian terkait niat Akur untuk membangun makam. Namun, Bakor Pakem malah mendukung penyegelan.

Okky mengaku, mereka pun mendapat ancaman dari kelompok intoleran. “Kami diteror akan dikepung 5.000 orang dari ormas,” katanya.

Menurutnya, mereka dianggap kelompok ajaran sesat. Salah kaprah itu sering dijadikan dasar untuk melakukan persekusi.

Untuk menepis anggapan itu, Okky menuturkan, sejak 2015 masyarakat Akur sudah mengajukan permohonan pengakuan masyarakat adat kepada pemerintah, agar bisa dilindungi sebagai bagian dari cagar budaya. Sayangnya, permohonan itu tak mendapatkan respons positif.

"Padahal, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (permohonan) cukup dua atau tiga bulan," ujarnya.

Tugu bakal makam leluhur masyarakat Akur Sunda Wiwitan yang disegel Satpol PP Pemkab Kuningan, Jawa Barat, Senin (20/7/2020)./Foto dokumentasi Okky Satrio Djati.

Pemerintah, terutama Pemkab Kuningan, dinilai Okky tak akan mendukung mereka karena ada konflik agraria yang terjadi di tanah adat masyarakat Akur. Perkara polemik kepercayaan yang kerap berulang, kata Okky, kedok belaka untuk mengintimidasi kelompoknya.

“Ada niat ingin menyerobot tanah leluhur kami di balik persekusi dan diskriminasi yang kami alami,” kata dia.

Konflik agraria yang terjadi berawal dari adanya warga keturunan masyarakat Akur yang menuntut hak waris tanah di dalam kawasan adat.

“Namun, dia sudah bukan lagi anggota masyarakat Akur dan tidak mengakui hukum adat Akur,” ucap Okky.

Konflik itu, kata Okky, sudah ada sejak 2007. Warga keturunan itu mengklaim berhak atas sebagian tanah adat. Padahal, tanah adat tak bisa dikuasai secara sepihak dan dilindungi hukum adat.

Okky curiga, ngototnya warga keturunan Akur itu disponsori pemerintah. Sebab, menurutnya, ada keterkaitan erat antara tuntutan dan upaya diskriminasi yang dilakukan pemerintah. Ia mengatakan, banyak aset adat yang juga berusaha diambil.

"Selain rumah yang ingin diserobot, ada pula hutan kecil yang berfungsi sebagai wilayah tadah hujan yang ingin diambil dan beberapa situs leluhur kami," ucapnya.

Pada 2007, masyarakat Akur ditawari tukar guling oleh Pemkab Kuningan untuk pindah dari Desa Cisantana. Namun, ujar Okky, mereka enggan pindah, dengan alasan tanah adat tak bisa dipindah seenaknya.

Sementara Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sjamsul Hadi menepis tudingan penyegelan bakal makam sesepuh masyarakat Akur adalah bentuk diskriminasi.

“Adanya gejolak membuat Pemkab Kuningan mengambil langkah supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi, itu bentuk antisipasi," ujar Sjamsul ketika dihubungi, Selasa (4/8).

Sjamsul mengatakan, pada 27 Juli 2020 pihaknya bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Staf Kepresidenan, dan Kejaksaan sudah melakukan mediasi antara Pemkab Kuningan dan masyarakat Akur. Hasilnya, masyarakat Akur tetap diizinkan membangun makam, tetapi harus menunggu justifikasi hukum terlebih dahulu.

"Karena ini justifikasi hukum belum jelas," kata dia.

"Keluarga Akur sudah siap koorperatif untuk memenuhi segala yang diperlukan pihak Pemkab Kuningan."

Sjamsul menilai, persoalan ini hanya masalah ketidakpahaman masyarakat perihal ajaran masyarakat Akur. Sehingga, memicu penolakan aktivitas mereka.

"Ada masyarakat yang melihat pembangunan itu untuk membuat tempat menyembah. Padahal, itu sebenarnya rasa syukur seorang anak pada orang tuanya. Menempatkan yang terbaik untuk orang tuanya setelah meninggal," ujarnya.

Ia meminta masyarakat tidak menghakimi cara berketuhanan masyarakat Akur. "Setiap kelompok masyarakat kan menjalankan hak-hak berkebudayaan secara baik, aman, serta memperoleh layanan hak kewarganegaraan," ucapnya.

Masih ada praktik diskriminasi

Okky mengeluh, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor perkara 97/PUU XIV/2016 yang mengamanatkan agar penghayat kepercayaan diperlakukan setara, tak ada efek apa pun di lapangan.

“Diskriminasi terhadap masyarakat Akur masih terus terjadi hingga saat ini,” katanya.

Menurutnya, putusan MK tersebut tak mengakomodir penghayat kepercayaan karena praktiknya, mereka harus terdaftar layaknya organisasi. Secara legal formal, mereka harus tercatat di surat keterangan terdaftar, di bawah Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian dalam Negeri (Kesbangpol Kemendagri).

"Kalau kami dicatatkan di bawah Kesbangpol, terus kami tercatat seperti ormas. Surat keterangan terdaftar itu bisa diperpanjang, bisa tidak. Jadi, bentuk organisasi tradisional yang sifatnya paguyuban itu enggak diakomodir di hukum kita," ujarnya.

Menurut Okky, mereka bukan tak pernah terdaftar sebagai organisasi. Hal itu, kata dia, pernah dilakukan pada 1970. Namun, pada 1983 mereka dibubarkan rezim Orde Baru karena dianggap sesat.

"Bahkan upacara adat kami selama 18 tahun itu dilarang,” kata dia.

Berdasarkan data sensus penduduk terkait wilayah dan agama yang dianut, yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010, ada 299.617 penganut penghayat kepercayaan dari total 237.641.326 orang yang didata. Penghayat kepercayaan ditandai dalam tabel “lainnya” di dalam data tersebut. Penganut penghayat kepercayaan terbanyak ada di Kalimantan Tengah, yakni 138.419 orang.

Sementara Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kemendikbud pada 2017 mencatat, ada 187 organisasi penghayat kepercayaan. Dari jumlah itu, sebanyak 12 juta orang penganut penghayat kepercayaan.

Menanggapi apa yang dialami masyarakat Akur, Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Nur Amalia mengatakan, praktik diskriminasi terhadap penghayat berbasis adat tak hanya dialami masyarakat Akur.

“Terjadi juga pada masyarakat Dayak penganut ajaran Kaharingan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, serta penganut Parmalim di Sumatera Utara," ujarnya saat dihubungi, Senin (3/8).

Kebanyakan, diskriminasi terlihat pada pelayanan administrasi kependudukan. Hal itu, kata dia, berimbas pada pelayanan publik terhadap para penganut penghayat. Amalia mencontohkan, penganut Kaharingan masih sulit mendapatkan pengakuan pernikahan oleh negara. Sebab, pernikahan adat masih belum diakomodir dan tercatat sah oleh negara.

"Putusan MK memang sudah memasukkan ke dalam KTP. Tapi kan, masalahnya ini tidak hanya terkait status ketika mereka menjalankan prosesi perkawinan adatnya. Nah, itu juga tidak diakui. Pencatatan sipilnya masih sulit untuk dilakukan," katanya.

Kondisi ini diperparah dengan jauhnya lokasi mereka untuk ke kota, serta tak ada sistem jemput bola dari pihak pelayanan kependudukan. Akibatnya, banyak anak yang lahir dari pernikahan itu tak mendapatkan akte kelahiran, sehingga sulit menempuh jalur pendidikan formal.

Simbol Lembaga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Masa Esa di Indonesia di kantor pusat mereka, Jalan Juanda, Jakarta Pusat, Senin (3/8/2020). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Selain itu, Amalia menyebut, diskriminasi terjadi juga saat akan menempuh pendidikan tinggi, mendaftar sebagai calon pegawai sipil (PNS), dan mengakses layanan KTP elektronik. Amalia mencermati, penganut Kaharingan pun mendapat tekanan dari mereka yang sudah beralih menganut Hindu Kaharingan.

"Di Palangka Raya dan di Kalimantan Selatan mereka mendapatkan penolakan dari Kaharingan yang bergabung dengan Hindu," ucapnya.

Akibat sulit mendapat pelayanan publik, akhirnya banyak yang beralih ke Hindu Kaharingan. Imbasnya, populasi penganut Kaharingan menurun cukup drastis.

"Data statistik di Kalimantan Tengah itu penduduk Kaharingan pada 2011 masih berjumlah 7.142 penganut. Tapi, pada 2018 menjadi 1.992 penganut," tuturnya.

Akan tetapi, Sjamsul mengklaim, sejak terbitnya putusan MK No. 97/PUU XIV/2016, laporan penganut penghayat yang terdiskriminasi sudah berkurang.

"Memang ada beberapa yang belum dari segi administrasi. Untuk yang Parmalim itu sudah terlayani," kata Syamsul.

Bahkan, Sjamsul menyebut, hak-hak penghayat sudah diakomodir negara sejak terbit Peraturan Bersama Menteri Dalam negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

"Dengan adanya peraturan itu sebenarnya sudah tidak ada masalah. Bahkan, berkaitan dengan layanan pendidikan sudah enggak ada masalah,” katanya.

“Hanya kejadian muncul lagi di Cigugur (masyarakat Akur). Dan kejadian ini bukan berkaitan dengan penghayat kepercayaan. Hanya salah pemahaman saja.”

Mengubah terminologi dan kebijakan

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Lembaga Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Maha Esa di Indonesia, Sri Eka Sapta Wijaya Galgendu mengatakan, urusan penghayat seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Agama (Kemenag), bukan Kemendikbud. Tujuannya, supaya penghayat diperlakukan setara dari kacamata religi.

"Lebih baik dibuat Dirjen Bimas (Direktorat Jenderal Bina Masyarakat) Penghayat Kepercayaan, agar hubungannya ditempatkan sebagai keyakinan, bukan sekadar nilai budaya,” kata dia saat ditemui di kantornya, Jalan Ir.H. Juanda, Jakarta Pusat, Senin (3/8).

“Jadi, tidak terus menerus dianggap sesat dan lain sebagainya."

Pendapat Eka senada dengan antropolog kepercayaan lokal dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Ira Indrawardana. Ira mengatakan, penghayat masuk ke dalam Kemenag agar tak melulu menjadi perdebatan sebagai ajaran menyimpang oleh agama lain.

"Tapi masalahnya, kelompok mayoritas dan elite ini enggak mau mengakomodir ke agama. Padahal, mestinya diurus oleh setingkat Dirjen di Kementerian Agama, layaknya agama lain," ujarnya saat dihubungi, Senin (3/8).

Kentalnya ego soal konsep beragama di Indonesia, disebut Ira, merupakan akar perlakuan diskriminatif terhadap penganut penghayat. Konsep agama di Indonesia, kata Ira, seolah-olah hanya bisa dipakai enam agama—Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu. Sementara konsep religi penghayat kepercayaan dianggap bukan bagian dari konsep agama.

"Sejak dahulu, istilah agama sudah dijadikan bagian dari bahasanya orang Indonesia untuk mengkonsepsikan sistem tentang kepercayaan," ujarnya.

Orang-orang dengan pakaian adat mengikuti upacara adat di Gunung Tangkuban Perahu, Bandung, Jawa Barat (24/6/2012) ./Foto Dani Daniar/Shutterstock.

Ia menilai, pemerintah hanya mau menerjemahkan istilah agama dari terminologi kepercayaan yang datang dari luar Indonesia. Akibatnya, konsep berketuhanan ditafsirkan secara egois oleh masing-masing agama yang “dilindungi” negara.

"Konsep berketuhanan yang maha esa itu diterjemahkan harus beragama dari terminologi mereka. Sehingga mengerucut pada kelompok yang mayoritas," ucap dia.

Lebih lanjut, Ira melihat, keberadaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud hanya mengebiri penghayat kepercayaan. Alasannya, sejak lama lembaga itu bertugas mengawasi para penganut penghayat agar tak berkembang.

"Direktorat yang pernah saya gugat itu adalah untuk membina penghayat agar tidak membentuk agama baru. Padahal, ajaran kepercayaan itu bukan agama baru. Tapi agama lama dari ajaran leluhur," ucapnya.

Celakanya, Ira menyebut, upaya diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan berbasis adat juga dilakukan penghayat kepercayaan berbasis organisasi, yang selalu mendesak penghayat kepercayaan berbasis adat untuk berorganisasi, layaknya ormas.

"Jadi organisasi agar bisa dengan mudah diawasi oleh pemerintah," katanya.

Ira mengatakan, bakal gawat kalau penghayat kepercayaan berbasis adat digiring menjadi ormas. Sebab, bisa dengan mudah dibubarkan dan tak dipandang sebagai ajaran adat. Penghayat kepercayaan berbasis organisasi, sebut Ira, juga kerap berlindung dengan agama lain untuk cari aman dari diskriminasi.

Untuk memutus diskriminasi, Ira pun mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat secepatnya disahkan. Ira juga mengomentari perihal putusan MK No. 97/PUU XIV/2016. Menurut dia, setelah putusan itu, seharusnya penganut penghayat bisa dicatat sesuai nama agamanya di KTP.

“Semisal, di kolom agama tertulis Sunda Wiwitan atau agama Kaharingan, tidak hanya dinamakan penghayat kepercayaan,” ujarnya.

"Mestinya tidak ada lagi dikotomi antara agama dan kepercayaan. Sebab, yang dimaksud kepercayaan di putusan itu ya agama juga."

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid