sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kartu Tani, pupuk bersubsidi, dan persoalan yang belum selesai

Kementan mewacanakan Kartu Tani diterapkan pada awal 2021. Namun, sejumlah persoalan belum tuntas di lapangan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 12 Des 2020 07:00 WIB
Kartu Tani, pupuk bersubsidi, dan persoalan yang belum selesai

Kementerian Pertanian (Kementan) di bawah Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengagendakan Kartu Tani berlaku efektif pada Januari 2021. Kartu ini sebenarnya sudah diluncurkan Mentan Andi Amran Sulaiman di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur pada 2017.

Menurut Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Sarwo Edhy, dalam diskusi daring “Pelaksanaan Kartu Tani” pada Selasa (8/9), tahun 2019 dilakukan uji coba di Sumenep, Ciamis, Lumajang, Lamongan, Kulon Progo, Tegal, dan Bogor.

Dalam rapat kerja DPR pada Januari 2020, Kementan direkomendasikan menerapkan Kartu Tani di Jawa, Madura, Sumbawa, dan Sumbawa Barat. Kemudian, dalam rapat kerja DPR pada Agustus 2020, ditetapkan penggunaan Kartu Tani secara bertahap di wilayah tadi.

Kartu Tani merupakan sarana akses layanan perbankan terintegrasi, sebagai simpanan, transaksi, penyaluran pinjaman, hingga kartu subsidi. Kartu ini bertujuan menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani. Kartu tersebut dikeluarkan perbankan untuk digunakan dalam transaksi penebusan pupuk bersubsidi melalui mesin electronic data capture (EDC) di pengecer resmi.

Implementasi Kartu Tani sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap petani sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Penggunaan Kartu Tani pun ditegaskan di dalam Pasal 17 ayat 2 Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2020.

Per 31 Agustus 2020, menurut Sarwo, Kartu Tani yang sudah tercetak sebanyak 9,3 juta. Dari jumlah tersebut, yang sudah terdistribusi sebanyak 6,2 juta dan yang sudah digunakan sebanyak 1,2 juta.

Direktur Pemasaran PT Pupuk Indonesia, Gusrizal menegaskan pihaknya siap memenuhi kebutuhan pupuk bagi petani yang ikut program Kartu Tani. “Kami selalu menyiapkan stok,” ujarnya saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (8/12).

Ia menyerahkan sepenuhnya kepada Kementan dan Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara)—yang terdiri dari Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), dan Bank Negara Indonesia (BNI)—terkait waktu realisasi Kartu Tani.

Sponsored

“Kami ikut keputusan,” katanya.

Kepala Komunikasi Korporat PT Pupuk Indonesia Wijaya Laksana pun mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan berbagai fasilitas penunjang penggunaan Kartu Tani untuk memudahkan petani yang ingin mengakses pupuk bersubsidi.

“Pupuk Indonesia sudah menjadikan kios-kios pupuk lengkap dan menyediakan database tersebut untuk keperluan sistem Kartu Tani,” katanya saat dihubungi, Selasa (8/12).

Berdasarkan data PT Pupuk Indonesia, dari delapan wilayah penerapan implementasi Kartu Tani per September 2020, yakni Jawa Barat, DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), dan Pinrang (Sulawesi Selatan), jumlah total kios pupuk lengkap sebanyak 15.040.

Terbanyak terdapat di Jawa Timur, yakni 6.652. Total kios pupuk lengkap yang sudah terpasang EDC dan sudah digunakan sebanyak 9.257. Sementara yang sudah terpasang, namun belum bisa digunakan sebanyak 1.721. Sedangkan total kios pupuk lengkap yang belum terpasang EDC sebanyak 5.049.

Wijaya menjamin, pihaknya bakal tetap memberikan pupuk bersubsidi untuk petani yang belum menerima Kartu Tani. Asalkan, mereka terdaftar di elektronik rencana definitif kebutuhan kelompok (e-RDKK).

Selama ini, pupuk bersubsidi disalurkan berdasarkan data e-RDKK, yang disusun kelompok tani. Menurut Kementan, jumlah petani berdasarkan e-RDKK ada 13,9 juta orang.

Meski begitu, ia mengakui bila memang masih banyak masalah dalam program Kartu Tani. Misalnya, banyak petani yang belum terdaftar di e-RDKK.

"Akhirnya banyak yang mengeluh tidak bisa beli pupuk. Sedangkan mekanisme pembelian pupuk bersubsidi ya harus demikian," ujarnya.

Problem di lapangan

Belum lagi program itu diterapkan serempak, beberapa persoalan masih terjadi di lapangan. Kuryadi, seorang petani asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat mengatakan, masih ada problem terkait data dan alat penunjang Kartu Tani di lapangan. Menurutnya, di Kabupaten Cirebon masih banyak kios pupuk yang belum dilengkapi EDC untuk Kartu Tani.

"Program ini bagus untuk mencegah terjadinya penyelewengan pupuk. Tapi infrastrukturnya di Cirebon belum memadai," ujarnya saat dihubungi, Selasa (8/12).

Selain itu, Kuryadi menuturkan, data petani di Cirebon seringkali berubah akibat aktivitas jual beli lahan pertanian. “Akhirnya data enggak sinkron,” katanya.

Kondisi serupa dialami Suratno, petani asal Sragen, Jawa Tengah. Ia mengatakan, data e-RDKK kerap tak sesuai dengan data yang ada di bank, sebagai pihak pencetak Kartu Tani.

“Belum lagi di Sragen ada banyak macam petani. Ada petani pemilik, ada petani buruh, ada petani sewa,” kata pria berusia 52 tahun itu saat dihubungi, Selasa (8/12).

 Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (baju hitam) saat meninjau lokasi pertanian, beberapa waktu lalu. Foto Humas Kementan.
“Pertanyaannya, itu jatuh ke siapa Kartu Tani pemilik atau penyewa lahan?”

Kuryadi ragu Kartu Tani siap digunakan awal 2021. Sebab, sepanjang pengetahuannya, pencetakan Kartu Tani yang dikerjakan bank masih belum selesai.

“Ada yang dikembalikan sekian ribu karena beda penggarap. Selain itu, ada kartu yang rusak,” kata dia.

Ia juga menilai, di Cirebon masih banyak petani yang belum mendapat Kartu Tani meski tercatat di e-RDKK. Mereka terancam tak mendapat pupuk bersubsidi.

Sementara menurut Suratno, dari 108.455 petani di Sragen, yang menerima Kartu Tani ada 99.457 petani. “Masih ada sekitar 8.998 petani yang belum menerima Kartu Tani,” katanya.

Menurut data Deputi bidang koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian koordinator bidang Perekonomian, target penyaluran Kartu Tani di Pulau Jawa dan Madura pada 2020 sebesar 65% dari alokasi volume pupuk di wilayah tersebut. Namun, penyaluran pupuk menggunakan Kartu Tani hingga 31 Juli 2020 masih sangat rendah, yakni 2,76%.

Persoalan krusial lainnya terkait ketersediaan pupuk. Menurut Kuryadi, seringkali pupuk yang datang tak mencukupi kebutuhan petani.

“Di Cirebon sering minus. Semisal jumlah yang ditetapkan kabupaten itu 21.000 ton, ternyata pemakaian sampai 24.000 ton,” ujar Kuryadi.

“Jadi, tidak sesuai dengan permohonan yang diajukan dengan kenyataan di lapangan.”

Ilustrasi petani menggarap sawah./Foto Unsplash.

Ia menduga, masih ada pihak yang memainkan pupuk bersubsidi. Imbasnya, kebutuhan untuk petani tak terpenuhi. Ia memandang, transparansi kuota pupuk bersubsidi penting dibuka agar jatah setiap daerah menjadi terang.

Suratno pun menegaskan, masalah ketersediaan pupuk mesti dipastikan, sebelum Kartu Tani diterapkan. Di Sragen, kata dia, kuota pupuk sering tak sebanding dengan kebutuhan petani. Padahal, ketentuan kuota pupuk sudah diatur di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/Permentan/OT.40/4/2007 tentang Rekomendasi Pemupukan N, P, dan K pada Padi Sawah Spesifik Lokasi.

"Sejauh ini baru 51% yang tercukupi dari kebetuhan petani. Itu dipenuhi dulu masalah krusialnya," katanya.

Ia mengatakan, kebutuhan pupuk urea di Permentan 40/2007 250 kilogram per hektare. Namun, di Sragen hanya tercukupi 171 kilogram per hektare.

Tak bisa dimungkiri, selama ini terjadi dugaan penyelewengan pupuk bersubsidi. Hal ini memicu protes petani di beberapa daerah.

Misalnya, pada November lalu, para petani melakukan aksi pengadangan terhadap truk pengangkut pupuk bersubsidi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kasus ini terjadi sebanyak lima kali di Kecamatan Singgahan, Merakurak, Tambakboyo, Semanding, dan Montong. Aksi itu dilakukan lantaran pendistribusian pupuk dianggap kurang transparan dan sulit didapat.

Lalu, pada 12 November 2020 puluhan warga yang tergabung dalam Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) menggelar aksi unjuk rasa di Kantor DPRD dan Kejaksaan Negeri Jombang, Jawa Timur. Mereka menuntut kasus dugaan penyelewengan pupuk bersubsidi di Jombang.

Sebenarnya, dari tahun ke tahun, lima jenis pupuk subsidi pemerintah, yakni urea, SP36, ZA, NPK, dan organik, mengalami kecenderungan pertambahan volume produksi. Misalnya pupuk urea. Menurut data Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan, pada 2013 jumlah produksi pupuk urea sebesar 3,8 juta ton. Jumlah tersebut meningkat pada 2017, menjadi 4,1 juta ton.

Sementara produksi pupuk NPK pada 2013 sebesar 2,2 juta ton, meningkat pada 2017 menjadi 2,6 juta ton. Akan tetapi, pupuk organik memperlihatkan kecenderungan produksi yang menurun.

Pada 2013 jumlahnya sebesar 785.815 ton, pada 2017 menjadi 687.323 ton. Kondisi serupa terjadi pada produksi pupuk ZA. Pada 2013, produksinya mencapai 1,07 juta ton, menjadi 960.450 ton pada 2017.

Sementara itu, menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementan, anggaran subsidi pupuk pada 2015 sebesar 26,90 triliun. Anggaran itu mengalami kenaikan pada 2016, menjadi 28,80 triliun. Pada 2017 anggaran subsidi pupuk turun menjadi 28,50 triliun, tetapi naik kembali pada 2018 menjadi 28,00 triliun.

Deputi bidang koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian menyebut, yang berhak menerima pupuk bersubsidi, antara lain luasan per anggota kelompok tani maksimal dua hekratre per musim tanam. Peruntukan tersebut termasuk pada pemanfaatan lahan Perhutani dan kehutanan lainnya untuk komoditas tanaman pangan dan hortikultura.

Selesaikan dahulu masalahnya

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir membenarkan jika masih banyak persoalan yang harus diselesaikan sebelum menerapkan program Kartu Tani. Salah satunya alat penunjang Kartu Tani, yakni EDC, yang belum banyak tersedia, terutama di daerah yang punya jaringan internet terbatas.

“Daerah-daerah yang susah sinyal mestinya diselesaikan. Kartu harus digesek, sementara sinyal enggak ada. Ini kan jadi problem,” ujar dia saat dihubungi, Selasa (8/12).

Di samping itu, Winarno menilai Kementan dan Himbara harus memastikan keakuratan data penerima Kartu Tani. Alasannya, ia melihat sejauh ini penerima Kartu Tani masih sumir, antara pemilik lahan, buruh tani, dan penggarap.

“Yang terpenting, data paling akurat itu kejelasan kepemilikan lahan satu hektare itu milik siapa. Nah, yang garap itu petani penggarap atau petani pemilik?” tuturnya.

Model baru mengakses pupuk bersubsidi dengan Kartu Tani yang terhubung sistem ATM, menurut Winarno, merupakan masalah lainnya. Ia menilai, banyak petani tak terbiasa menggunakan ATM.

"Untuk mengingat PIN aja lupa," ujarnya.

Untuk mencegah ketidaksesuaian data di lapangan, ia menyarankan Kementan dan Himbara terus melakukan pengecekan terhadap e-RDKK. Tak kalah penting, kata Winarno, melakukan penyesuaian antara data petani dengan luas lahan yang ada di lapangan, agar tak salah dalam memberikan jatah dan dosis pupuk subsidi ke petani.

“Fakta di lapangan itu kadang berbeda. Litbang Kementan harus menjelaskan berapa dosis yang disetujui,” kata dia.

Infografik Kartu Tani. Alinea.id/Oky Diaz.

“Data harus dibenahi mengenai kesesuaian antara kebutuhan lahan dengan kuota pupuk.”

Jika dipaksa diterapkan pada awal 2021, Winarno melihat Kartu Tani belum bisa bekerja optimal karena belum banyak petani yang menerimanya. Winarno mengatakan, Kartu Tani harus benar-benar seminimal mungkin berdampak negatif terhadap petani.

“Kalau sudah jalan, Kartu Tani enak. Bukan hanya pupuk subsidinya, ada bantuan tunai nonpangan, kata dia.

“Jadi, pemerintah enggak capek. Lihat datanya, ‘oh ini yang 0,5 hektare yang perlu dibantu’. Ya sudah, tinggal disalurkan ke kartunya.”

Meski demikian, Winarno menyebut, program Kartu Tani tetap harus diawasi penerapannya. Sebab, meski kecil kemungkinan terjadi penyelewengan, distribusi pupuk tetap harus diawasi secara transparan.

"Karena biar bagaimanapun ini pupuk subsidi. Tetap harus diawasi," ujar Winarno.

Berita Lainnya
×
tekid