sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tinggi kasus positif di Jakarta, tanda salah strategi tangani Covid-19?

Kasus positif Covid-19 di Jakarta semakin banyak setelah diberlakukan PSBB transisi.

Robertus Rony Setiawan Marselinus Gual
Robertus Rony Setiawan | Marselinus Gual Sabtu, 05 Sep 2020 08:45 WIB
Tinggi kasus positif di Jakarta, tanda salah strategi tangani Covid-19?

Agustinus Pat, seorang jurnalis di sebuah media di Jakarta, memillih berdiam di rumahnya, Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur selama masa pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Hal itu ia lakukan sejak pemerintah mengimbau untuk bekerja dari rumah pada Maret 2020 lalu.

"Mungkin karena saya orang yang agak takut berlebihan ya," kata Agustinus saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (3/9).

Selain memiliki ketakutan sendiri, ia dan istrinya mengaku punya alasan lain untuk seminimal mungkin tak meninggalkan rumah selama pandemi. Mereka ingin menjaga anaknya yang baru berusia setahun dan ibunya yang tergolong rentan terpapar SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Meski sedikit tertekan, ia mengaku pekerjaannya yang kerap dikejar waktu bisa mengusir rasa bosan selama berada di rumah saja.

"Saya cukup terbantu karena perkantoran dan tempat liputan lebih banyak melakukan kegiatan online,” ujarnya.

“Konferensi pers disiarkan melalui YouTube atau diskusi virtual, sehingga kita tetap bekerja dengan kondisi seperti ini."

 Petugas Palang Merah Indonesia (PMI) melakukan penyemprotan cairan disinfektan pada salah satu stan di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (17/3/2020). Foto Antara/M Risyal Hidayat.

Kekhawatiran dan meningkatnya kasus

Di samping bekerja, Agustinus bermain dengan anaknya, membersihkan rumah, dan menonton televisi untuk mengusir kebosanan. "Waktu saya banyak di depan laptop juga. Jadi situasinya bisa diatasi," kata Agustinus.

Sponsored

Rasa bosan dan waswas juga dialami salah seorang warga Kemayoran, Jakarta Pusat, Dandy Nugraha. Bagi Dandy, terlalu banyak beraktivitas di dalam rumah membuatnya sering mengalami demam dan pilek.

“Bulan Juni dan Juli kemarin misalnya. Gue kadang semalam menggigil, tapi besok paginya hilang. Flu-batuk juga,” katanya saat dihubungi, Jumat (4/9).

Sejak Agustus 2020, pria yang berprofesi sebagai desainer grafis ini mengatakan, aktivitas pekerjaannya berangsur normal kembali, setelah berbulan-bulan diimbau pemerintah untuk bekerja di rumah alias work from home (WFH).

Baik Agustinus dan Dandy hanya keluar rumah untuk hal-hal penting saja. Dandy misalnya, keluar rumah untuk keperluan bekerja, membeli kebutuhan harian, dan sesekali mengisi waktu luang.

Untuk menghindari potensi penularan virus kepada orang tua dan saudara di rumahnya, Dandy membiasakan diri langsung membersihkan badan sepulang dari bepergian.

“Biasanya di atas jam delapan malam baru pulang, pas bokap-nyokap sudah pada tidur. Gue langsung bersih-bersih, mandi. Setelah itu baru masuk kamar dan melakukan aktivitas lain,” katanya.

Sementara Agustinus dan istrinya pernah pergi ke rumah sakit untuk keperluan vaksin anaknya yang rutin setiap bulan. Saat di rumah sakit, kekhawatiran menyergapnya. Demi mengatasi kekhawatiran itu, ia menerapkan protokol kesehatan ketat, seperti memakai masker dan baju lengan panjang.

Di sisi lain, Dandy mengkhawatirkan rencana Pemprov DKI Jakarta menekan potensi penularan virus melalui kebijakan ganjil-genap bagi kendaraan roda dua. Hal itu diatur di dalam Pasal 7 dan 8 Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.

Dandy mengatakan, mengendarai sepeda motor sangat mendukung pekerjaannya. Beberapa pertemuan dengan klien yang tak jarang diadakan di luar kantor, menjadikan sepeda motor pilihan utama mendukung mobilitasnya. Ia merasa tidak nyaman menggunakan transportasi umum.

“Malah membahayakan kalau naik transportasi umum, rentan tertular karena banyak orang,” ucapnya.

Dandy pun menilai, sebaiknya pemerintah mematangkan rencana-rencana kebijakan sebelum diberlakukan bagi publik. Dandy juga tak terlalu ambil pusing dengan perilaku sebagian orang yang tak patuh menjalankan protokol kesehatan. Ia memilih lebih memperhatikan keselamatan diri sendiri daripada mengomentari perilaku orang lain.

“Kalau gue nemuin orang enggak pakai masker, ya selama mereka enggak kontak fisik sama gue, ya enggak masalah,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, Pemprov DKI Jakarta pertama kali menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada 10-23 April 2020. Saat itu, orang-orang diimbau untuk belajar, bekerja, dan beribadah di rumah.

Setelah tiga kali PSBB, pada awal Juni 2020, Pemprov DKI Jakarta memberlakukan PSBB transisi menuju new normal. Ketika itu, pelonggaran aktivitas sosial dan ekonomi dilakukan. Hingga Jumat (4/9), PSBB transisi sudah dilakukan sebanyak enam kali.

PSBB transisi keenam diterapkan dari 28 Agustus 2020 hingga 10 September 2020. Jika tak terjadi penularan signifikan, Pemprov DKI Jakarta akan memperpanjang PSBB transisi secara otomatis dari 11- 24 September 2020. Celakanya, kasus positif Covid-19 di Jakarta kian hari malah kian bertambah banyak.

Pada 3 September 2020, kasus harian positif Covid-19 di Ibu Kota mencatatnya rekor tertinggi selama pandemi mengancam, yakni sebanyak 1.406 orang terpapar. Hingga Jumat (4/9) jumlah akumulatif positif Covid-19 di Jakarta mencapai 44. 280 orang.

Juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengaku khawatir dengan meningkatnya kasus positif Covid-19 beberapa minggu terakhir, terutama di Jakarta.

“Kita semua belum berhasil menekan dan mencegah penularan secara konsisten secara nasional. Ini tugas kita semua, bukan hanya pemerintah, tapi seluruh warga Indonesia,” kata Wiku dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (3/9).

Atas kondisi ini, Wiku mengingatkan Pemprov DKI Jakarta agar memberlakukan protokol kesehatan dengan lebih ketat kepada warganya.

“Yang tidak perlu keluar rumah agar tetap di dalam rumah supaya tidak timbul penularan yang ditandai dengan peningkatan jumlah kasus,” tuturnya.

Warga berjalan menggunakan masker di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Foto Antara/Aprillio Akbar.

Perlu strategi baru

Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (P2P Kemenkes) Achmad Yurianto menjelaskan, Kemenkes sudah menetapkan strategi pengendalian, seperti pengujian, pelacakan, isolasi, dan perawatan.

Sebagai langkah awal pencegahan dan deteksi dini Covid-19, Yurianto mengakui kualitas penyediaan prasarana pengujian, seperti polymerase chain reaction (PCR), belum maksimal untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Salah satu kendala utama, kata dia, minimnya jumlah tenaga medis di bidang analis laboratorium kesehatan.

“Selama ini kita menganggap analis laboratorium kesehatan tidak lebih menarik dibandingkan dengan layanan kesehatan, perawat, dan sebagainya, sehingga jumlahnya sedikit sekali,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (3/9).

Senada dengan Wiku, Yurianto mengatakan diperlukan sikap warga untuk bersama-sama berupaya mencegah penularan Covid-19. Ia menilai, jatuhnya korban jiwa dari petugas kesehatan juga tak lepas dari penularan dari lingkungan sosial sekitar tempat tinggal, bukan hanya saat menjalankan tugas medis.

“Di dalam kebencanaan ini tidak ada lagi yang menjadi pengamat. Semuanya terlibat karena semua menjadi korban atau berpotensi menjadi korban,” katanya.

Dihubungi terpisah, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengatakan, pemerintah perlu mengganti strategi dalam menangani kasus penularan Covid-19, termasuk di Jakarta.

"Dari dulu saya minta diubah. Negara yang merespons langsung, tidak perlu pakai komisi-komisi. Jadi supaya respons lebih cepat," kata Pandu saat dihubungi, Jumat (4/9).

Menurut Pandu, kenaikan kasus positif yang signifikan, terutama di Jakarta, terjadi karena adanya pelonggaran selama memasuki PSBB transisi. Ia mengingatkan, Covid-19 merupakan penyakit yang bertransmisi secara acak di masyarakat.

Infografis PSBB dan PSBB transisi di Jakarta. Alinea.id/Oky Diaz.

"Sudah pasti naik kalau dilonggar terus. Kan itu konsekuensi peningkatan aktivitas sosial. Peningkatan (kasus) itu harus diantisipasi," katanya.

Pandu mengingatkan, kesehatan publik menjadi indikator penting terkait kecepatan respons suatu negara menghadapi pandemi. Ia menjelaskan, kesehatan publik itu bisa dicapai dengan langkah pengawasan dengan menggunakan pengujian, penelusuran, dan isolasi.

"Karena pelonggaran itu makanya harus diganti dengan 3M (mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak) dan surveillance yang ketat," tutur Pandu.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid