sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kekerasan di ranah publik didominasi kekerasan seksual

Pencabulan menjadi kasus kekerasan seksual yang paling banyak terjadi.

Gema Trisna Yudha
Gema Trisna Yudha Jumat, 08 Mar 2019 16:24 WIB
Kekerasan di ranah publik didominasi kekerasan seksual

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan kekerasan yang terjadi di ranah publik sepanjang 2018, didominasi oleh kekerasan seksual. Pencabulan terhadap perempuan menjadi yang paling banyak terjadi di kasus kekerasan seksual.

"Seperti pada 2017, kekerasan seksual tertinggi adalah pencabulan atau perbuatan cabul yang dilakukan pelaku terhadap perempuan," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di Jakarta, Jumat (8/3).

Selain itu, kekerasan terhadap perempuan berbasis siber juga banyak terjadi pada 2018. Bentuknya berupa intimidasi atau teror, yang mayoritasnya dilakukan oleh mantan pasangan, baik mantan suami atau mantan pacar. 

Adapun modus yang kerap dilakukan adalah dengan ancaman penyebaran foto atau video korban yang bermuatan seksual. Lazimnya, pelaku mengancam penyebaran konten seksual itu akan dilakukan di dunia maya, jika korban menolak berhubungan seksual dengan pelaku.

Sayangnya, sejauh ini layanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan berbasis siber, belum sepenuhnya terbangun. Korban pun tidak dapat mengakses layanan tersebut dengan mudah, baik melalui mekanisme pelaporan maupun pendampingan. 

Selama ini, kekerasan berbasis siber terhadap perempuan kerap ditangani dengan menggunakan UU Pornografi atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal, UU tersebut justru kerap kali mengkriminalisasi perempuan sebagai korban. 

"Perempuan korban mengalami ketidaksetaraan hak di depan hukum karena hukum yang ada lebih bisa menjerat korban dan memberikan impunitas kepada pelaku kekerasan," kata Yuni menerangkan.

Secara umum, kekerasan di ranah publik terjadi berbagai tempat. Bisa di tempat kerja, institusi pendidikan, transportasi umum, atau lingkungan tempat tinggal. Pelakunya juga tidak memiliki hubungan perkawinan, kekerabatan, maupun keintiman dengan korban.

Sponsored

Terkait dengan tingginya kasus pencabulan, Yuni mengatakan hal ini terjadi karena terbatasnya aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Akibatnya kasus-kasus perkosaan yang dilaporkan ke polisi yang tidak memenuhi unsur-unsur perkosaan sebagaimana dimaksud dalam KUHP, ditempatkan sebagai perbuatan cabul agar prosesnya dapat dilanjutkan," katanya.

Menurut Yuni, hal ini memberikan rasa ketidakadilan pada korbannya. Sebab perkosaan dengan pencabulan adalah dua hal yang berbeda. 

Untuk itu, perlu adanya payung hukum yang lebih komprehensif yang membedakan dua perbuatan jahat tersebut. Yuni pun menyarankan agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan.

"Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perbuatan cabul dikategorikan pelecehan seksual bila belum ada pemaksaan hubungan seksual. Bila sudah terjadi pemaksaan hubungan seksual, maka disebut perkosaan," katanya.

Memperingati Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia bertajuk "Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara".

Catatan tahunan itu merupakan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan, baik yang diselenggarakan pemerintah maupun organisasi masyarakat, serta pengaduan langsung ke Komnas Perempuan. 

Berita Lainnya
×
tekid