sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keluyuran saat pandemi Covid-19 terancam dipidana

Aturannya tertuang dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Jumat, 27 Mar 2020 16:31 WIB
<i>Keluyuran</i> saat pandemi Covid-19 terancam dipidana

Pemerintah diminta bersikap tegas dalam menertibkan masyarakat yang enggan berdiam diri di rumah saat pandemi coronavirus anyar (Covid-19). Ketentuan tertuang dalam Pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Di dalamnya, terang pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, memuat ancaman pidana kepada setiap orang yang enggan mematuhi penyelenggaraan karantina kesehatan.

"Situasi dan keadaan sekarang ini, sudah sesuai dengan situasi yang diatur dalam Undang-Undang Karantina kesehatan. Bahkan, beberapa daerah sudah menerapkannya," ucapnya kepada Alinea.id di Jakarta, Jumat (27/3).

Pasal 93 berbunyi, "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaiama dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."

Beberapa daerah yang menerapkannya, terang Fickar, seperti di Ibu Kota. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberlakukan Pasal 59 ayat (3) tentang pembatasan sosial skala besar. Mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja serta pembatasan kegiataan keagaman maupun di fasilitas umum.

"Demikian juga karantina daerah. Tegal, misalnya. Sudah menerapkan karantina kesehatan daerah atau lockdown. Yaitu, karantina wilayah yang tindakannya pembatasan penduduk dalam suatu wilayah. Termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa," tuturnya.

"Jadi, sudah sesuai jika pemerintah menerapkan Undang-Undang Karantina Kesehatan. Karenanya, sanksinya pun sudah bisa diterapkan," kata mantan pembela umum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini.

Dirinya pun mengapresiasi langkah kepolisian yang berupaya membubarkan keramaian. Menggunakan Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Sponsored

Isi pasal itu, "Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000."

Fickar menguraikan, terdapat dua kepentingan bertemu dalam konteks pembatasan sosial (social distancing). Kepentingan umum yang merupakan kepentingan bersama. Yakni, keselamatan kesehatan bersama meminimalisasi terjadinya penularan wabah corona.

Di sisi lain, ada kepentingan orang perorang. Yaitu, kebutuhan mendapatkan penghasilan harian. Terutama mereka yang tidak bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan karyawan swasta. Macam pekerja mandiri, wiraswasta, pedagang kaki lima (PKL), ataupun penyedia jasa angkut dan jasa serabutan lainnya di jalan.

"Mereka inilah sebenarnya juga korban paling menderita. Meskipun tidak terserang wabah," ujar.

Mesti bijaksana
Kepentingan memaksa membubarkan kerumunan, menurutnya, adalah keniscayaan. Lantaran dilakukan untuk meminimalisasi penyebarluasan virus SARS-CoV-2.

Kendati begitu, polisi diminta bijaksana dalam menerapkan Pasal 218 KUHP. Alasannya, dorongan bekerja dari rumah bersifat imbauan hingga kini.

"Penerapannya harus lebih hati-hati. Jangan sampai tindakan represif kepolisian justru menjadi tidak produktif. Karena itu, menyuruh bubar paksa dengan baik menjadi pilihan yang pas, tetapi sebesar mungkin dihindari proses formal penegakan hukumnya," urainya.

Meski mengakui kebebasan berkumpul merupakan hak asasi manusia (HAM) dalam sistem demokrat. Juga dengan berserikat dan mengeluarkan pikiran. Namun, bagi Fickar, bisa dinegasikan demi HAM yang lain.

"Yaitu, HAM masyarakat atas kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan bermasyarakat. Atau hak atas lingkungan yang bersih dan sehat," paparnya.

Dalam konteks itu, lanjut dia, maka yang terjadi bukan perlawanan masyarakat terhadap pejabat. Namun, lebih merupakan pembubaran.

Berlaku utuh
Di sisi lain, Fickar mendorong pemerintah memberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan secara utuh. Alasannya, imbauan bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah bagian dari unsur pengertian karantina.

Pemerintah juga seharusnya merespons kebutuhan masyarakat yang tak berpenghasilan dengan memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat. Bisa melalui RT/RW masing-masing.

"Inilah program yang paling tepat dan relevan serta langsung membantu kesulitan masyarakat, ketimbang proyek proyek kartu-kartuan, infrastruktur, omnibus law, atau pindah ibu kota. Tidak ada manfaatnya sekarang bagi masyarakat," tuturnya.

"Keselamatan rakyat," Fickar mengingatkan," Adalah konstitusi tertinggi sebuah negara (salus populi suprema lex esto)."

Berita Lainnya
×
tekid