sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kemenkes bantah komersialisasi rapid test

Penetapan tarif tertinggi rapid test untuk menjawab keluhan masyarakat.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 13 Jul 2020 13:38 WIB
Kemenkes bantah komersialisasi rapid test

Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Tri Hesty Widyastoeti membantah penetapan batas tarif tertinggi rapid test antibodi melalui Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/I/2875/2020, merupakan bentuk komersialisasi.

“Ini membantu masyarakat supaya tidak bingung kalau ke tempat pelayanan kesehatan. Oh pasti harganya sekian. Itu yang menjadi alasannya. Kita menciptakan kewajaran harga-harga itu. Sehingga, tidak ada komersialisasi intinya,” ucap Hesty dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Senin (13/7).

Ia mengklaim, penetapan tarif tertinggi rapid test antibodi bermanfaat karena menjawab keluhan masyarakat. Bahkan, penetapan tarif tertinggi Rp150.000 disebut berlandaskan pertimbangan pertengahan rerata tarif termahal dan termurah yang telah beredar. 

Penetapan tarif tertinggi juga dinilai berdasarkan perhitungan wajar jasa pelayanan kesehatan, mulai dari alat perlindungan diri (APD), hingga rumah sakit.

“Kami kenapa menetapkan harga ini, karena ada berbagai variasi (harga rapid test) di luar. Ada yang di bawah Rp100.000, tetapi ada juga yang di atas Rp200.000,” tutur Hesty.

“Lha, masyarakat dibikin bingung. Mau pilih mana. Kualitasnya seperti apa, secara spesifik kita tidak mengetahui harganya seperti apa. Nah, ini juga permintaan dari masyarakat sendiri, yang banyak memprotes mengapa ini tidak ditetapkan harganya,” imbuhnya.

Menurut Hesty, pertimbangan penetapan tarif tertinggi juga karena kajian referensi dan banyaknya merek rapid test antibodi. Ia pun mengingatkan, penetapan tarif tertinggi berlaku pada semua pelayanan kesehatan, dari klinik hingga rumah sakit. 

Namun, rapid test antibodi untuk pemeriksaan Covid-19 mandiri atas permintaan yang bersangkutan. “Intinya, bukan screening untuk bantuan pemerintah,” katanya.

Sponsored

Sebelumnya, Ahli Epidemiologi dan Biostatistik Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menuntut pemerintah menghentikan komersialisasi rapid test antibodi. Pasalnya, rapid test antibodi menjadi persyaratan penyerta bagi warga yang melakukan perjalanan dalam negeri.

Di sisi lain, rapid test telah terbukti cenderung kurang akurat karena mendeteksi antibodi, bukan virus.

“Dihapuskan (saja) untuk berbagai persyaratan itu karena tidak ada gunanya. Disangkanya orang itu kalau sudah tes Covid-19 tuh aman. Padahal, enggak ada jaminan aman,” ujar Pandu Riono, saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (10/7).

Berita Lainnya
×
tekid