Kenapa sikap superior dibanding disabilitas seperti Risma merajalela?
Mensos Risma sempat memaksa anak tuli untuk berbicara saat peringatan Hari Disabilitas Internasional, awal Desember 2021.

Diskriminasi terhadap dan merasa lebih superior daripada penyandang disabilitas masih merajalela di Indonesia sampai kini. Laku Menteri Sosial, Tri Rismaharini, yang memaksa anak tuli berbicara adalah contohnya.
Aksi Risma itu terjadi saat peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021 di Gedung Kementerian Sosial (Kemensos), Jakarta, pada Rabu (1/12). Perbuatan tercela tersebut sempat viral di media sosial dan menuai kritik.
Pengamat pendidikan, Ina Liem, berpendapat, diskriminatif masih kerap terjadi salah satunya akibat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) belum memprioritaskan pembangunan sekolah inklusif yang ramah bagi penyandang disabilitas.
"Saya, sih, belum melihat," ucapnya kepada Alinea.id, Jumat (3/12). "Bukan berarti di dalam divisi Kemendikbudristek tidak ada yang membahas. Itu belum diprioritaskan."
Kemendikbudristek, menurutnya, saat ini lebih berfokus mendidik murid dan mahasiswa berpikir kritis.
Di sisi lain, Ina menerangkan, banyak kendala dalam membangun sekolah inklusif. Membutuhkan waktu dalam mencetak tenaga kependidikan yang ahli dan menyedot banyak alokasi beasiswa untuk mengirim mahasiswa dengan fokus mempelajari studi disabilitas, misalnya.
"Itu semua tidak bisa handle-nya. Tidak semua bisa mencari orangnya [tenaga pendidikan yang ahli menangani penyandang disabilitas]. Itu tantangan bagi pihak sekolah," katanya.
Pun tidak semua penyandang disabilitas dapat masuk sekolah umum yang inklusif. Hanya penyandang high functioning autism yang dapat mengenyam sekolah umum karena beberapa di antara mereka memiliki kemampuan tertentu yang lebih unggul daripada anak-anak lain, seperti mahir dalam matematika.
"Untuk low functioning autism, mereka berbicara saja enggak jelas. Jadi memang tidak memungkinkan untuk sekolah inklusif atau sekolah biasa. Jadi memang harus sekolah khusus. Tergantung tiap anak," tuturnya.
Meski demikian, Ina sepakat dengan prinsip sekolah inklusif guna membuka ruang lebih lebar bagi penyandang disabilitas. Dengan demikian, turut membentuk karakter anak dalam menerima perbedaan.
"Karena di tengah masyarakat ada anak yang berbeda, kan? Jadi enggak mudah mem-bully. Pendidikan karakter bisa diajarkan di situ," jelasnya.

Derita jelata, tercekik harga pangan yang naik
Senin, 21 Feb 2022 17:25 WIB
Menutup lubang “tikus-tikus” korupsi infrastruktur kepala daerah
Minggu, 13 Feb 2022 15:06 WIB
Segudang persoalan di balik "ugal-ugalan" RUU IKN
Minggu, 23 Jan 2022 17:07 WIB
Bailout SVB dan pendanaan startup yang kian selektif
Sabtu, 25 Mar 2023 16:05 WIB
Jerat narkotika di kalangan remaja
Jumat, 24 Mar 2023 06:10 WIB