sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kepercayaan buruh-mahasiswa terhadap Khofifah di 'titik nadir'

Karenanya, aksi menolak RUU Cipker, pekan depan, akan berpusat di Bundaran Waru, Sidoarjo.

Adi Suprayitno
Adi Suprayitno Jumat, 06 Mar 2020 10:49 WIB
Kepercayaan buruh-mahasiswa terhadap Khofifah di 'titik nadir'

Sebanyak 3.000 orang se-Jawa Timur (Jatim) akan melakukan unjuk rasa di di Bundaran Waru, Kabupaten Sidoarjo, pada 11 Maret 2020. Demonstrasi ini dilakukan karena menolak Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (RUU Cipker).

Bukan tanpa sebab menjadikan Bundaran Waru sebagai lokasi aksi. Kepercayaan terhadap pemerintah daerah di "titik nadir", alasannya. Baik kepada gubernur maupun DPRD Jatim.

"Kami tidak mau mendatangi pemerintah atau DPRD pada aksi tersebut. Kami sudah tidak ada bahasa percaya kepada mereka," ujar Kepala Bidang Buruh dan Miskin Kota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Habibus, di kantornya, Jumat (6/3).

Dia menerangkan, sikap pemerintah provinsi (pemprov) maupun DPRD selama ini tak tegas. Setiap menerima perwakilan massa penolak RUU Cipker, hanya dijanjikan "meneruskan tuntutan ke pemerintah pusat."

Demonstran, terangnya, hanya butuh pernyataan tegas Gubernur, Khofifah Indar Parawansa dan anggota dewan. "Bahwa Jatim menolak," ucapnya.

Habibus melanjutkan, akan ada mimbar bebas saat aksi di Bundaran Waru. Para orator bakal memberikan pengertian kepada khalayak. Jika beleid sapu jagat (omnibus law) itu berbahaya dan lemah perlindungan hukum. 

Aksi tersebut, rencananya diikuti sejumlah elemen. Dari kalangan buruh, mahasiswa, dan aktivis. 

Perwakilan buruh, Ahmad Yusuf Mudidi, menambahkan, RUU Cipker merugikan pekerja. Lantaran memungkinkan hilangnya upah minimum kabupaten/kota (UMK). Menyusul masuknya draf aturan upah per jam.

Sponsored

Dalam RUU Cipker, pengusaha diperkenankan menentukan besaran upah buruh. Jika terealisasi, posisi pekerja menjadi lemah.

Poin krusial lainnya, pesangon. Nantinya diatur paling banyak enam bulan. Dus, kian mudah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Outsourching (alih daya) juga tidak lagi dibatasi dan tenaga kerja asing (TKA) yang tak hanya menyasar jenis pekerjaan tertentu," katanya. 

Rusak Lingkungan
Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jatim menilai, RUU Cipker turut berpotensi merusak lingkungan. Pangkalnya, izin analisis dampak lingkungan (amdal) tak lagi menjadi prasyarat berusaha.

Pun menghapus hak publik menggugat izin amdal di pengadilan. Padahal, berfungsi sebagai kontrol masyarakat. "Nantinya, akan banyak izin (berusaha) muncul. Tanpa pertimbangan masyarakat," ujar Direktur Eksekutif WALHI Jatim, Rere Christanto.

Tak sekadar itu. Investor juga diperkenankan mengajukan perubahan maupun menyusun rencana tata ruang wilayah (RTRW). Selama daerah belum memilikinya.

"Akhirnya, nanti cepat-cepatan. Antara pemerintah daerah dengan investor," ucap dia.

Kemudian, hilangnya prasyarat 30 persen kawasan hutan di setiap provinsi. Dus, kawasan hutan berpotensi dibuka demi investasi.

"Percuma kesejahteraan ekonomi bertambah, tetapi kalau airnya tidak bisa diminum. Karena tercemar," tuturnya.

Otonomi pemerintah daerah mengatur wilayahnya pun terancam. Lantaran memungkinkan peralihan kewenangan regulasi ke pusat. Melalui peraturan pemerintah (PP).

"Harusnya pemda. Karena pemda lebih tahu. Tentu kalau ditarik ke pusat, tidak akan tahu karakter daerah. Kemungkinan terjadi kongkalikong semakin besar. Kalau begitu otonomi daerah semakin hilang," tutup Rere.

Berita Lainnya
×
tekid