sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keterbatasan stok dan tersendat capaian vaksinasi Covid-19 di daerah

Sebanyak 28 provinsi belum mencapai target vaksinasi Covid-19 dosis kedua, sesuai rekomendasi WHO di atas 60%.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Kamis, 02 Des 2021 15:53 WIB
Keterbatasan stok dan tersendat capaian vaksinasi Covid-19 di daerah

Awal bulan lalu, Tarin Maulidia nyaris putus asa ketika mencari tempat vaksinasi dosis kedua jenis Sinovac di Kota Lhoksuemawe, Aceh. Pada 6 Oktober 2021, ia dijadwalkan mendapat suntikan vaksin Covid-19 di Polres Lhokseumawe.

“Tapi dapat informasi dari teman, stok vaksin di Polres Lhoksuemawe habis,” ujar perempuan berusia 17 tahun itu saat dihubungi Alinea.id, Minggu (28/11).

Dosis lengkap vaksin Covid-19 diperlukan siswi di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Lhoksuemawe ini sebagai syarat mengikuti pembelajaran tatap muka terbatas pada awal Desember 2021. Setelah mencari informasi ke sana-ke mari, Tarin akhirnya mendapat suntikan dosis kedua di klinik Kodim 0103/Aceh Utara.

Menurut Tarin, kondisi klinik tempatnya divaksinasi itu sangat sepi. Hanya ada tiga warga yang mengantre, ketika Tarin datang ke klinik itu. Tarin menerka, keinginan warga untuk divaksin menurun lantaran tak ada sosliasi yang masif dari pemerintah setempat. Apalagi, kata dia, sebagian besar warga Lhokseumawe masih skeptis terhadap keberadaan Covid-19.

Stok terbatas

Kesaksian sepinya minat warga untuk divaksin, seperti yang diungkapkan Tarin, berbanding lurus dengan tingkat vaksinasi di Lhokseumawe yang terbilang rendah. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Aceh per 18 September 2021, cakupan vaksin dosis pertama di Kota Petro Dollar itu baru mencapai 30,9%, sedangkan dosis kedua hanya 16,8%.

Tingkat vaksinasi di Provinsi Aceh pun sangat rendah. Merujuk data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) per 2 Desember 2021, vaksinasi dosis pertama di Aceh baru 38,98%, sedangkan dosis kedua hanya 21,08%. Hal ini menempatkan Aceh berada di posisi paling buncit kedua dalam laporan cakupan vaksinasi nasional Kemenkes, di atas Papua (26,02%) untuk dosis pertama dan Maluku (20,9%) untuk dosis kedua.

Presiden Joko Widodo saat meninjau vaksinasi Covid-19 di halaman RSUD Dr. H. Moch. Ansari Saleh, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (21/10/2021)./Foto BPMI Setpres/Muchlis Jr/Setkab.go.id

Sponsored

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Hanif mengaku, program vaksinasi Covid-19 terkendala distribusi dari Kemenkes. “Vaksinnya kurang. (Kemenkes mengirim) 10.000 dosis untuk satu hari. Masih sedikit sekali,” tutur Hanif saat dihubungi, Selasa (30/11).

Ia melanjutkan, kebutuhan vaksin untuk warga Aceh setidaknya mencapai 50.000 dosis per hari. Sementara warga yang skeptis terhadap Covid-19 dan jumlah vaksinator yang terbatas, menurut dia, bukan halangan berarti.

Data Kemenkes per 2 Desember 2021 mencatat, saat ini stok dosis vaksin di Aceh hanya 531.306. Estimasi sisa hari dari stok hanya 31. Sementara penerimaan sebesar 2.929.008 dan pemakaian sebesar 2.397.702.

Khusus di Kota Lhokseumawe, per 2 Desember 2021 stok dosis vaksin sebanyak 10.904. Estimasi sisa hari dari stok hanya 18. Penerimaan sebesar 117.213, sedangkan pemakaian sebesar 106.309.

Dengan kondisi ini, Hanif mengatakan terus berkoordinasi dengan Kemenkes, agar bisa memberi suplai vaksin lebih banyak. “Tetapi, tetap pengirimannya belum cukup,” katanya.

Selain Aceh, ada 16 provinsi penerima dosis pertama di bawah 60%--sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) tentang ambang batas vaksinasi warga. Provinsi itu, antara lain Papua masih 26,02%, Sulawesi Tenggara 40,72%, Maluku 40,76%, Papua Barat 43,01%, Sulawesi Tengah 44,58%, Maluku Utara 44,93%, Sulawesi Selatan 47,44%, Sulawesi Barat 47,71%, Riau 48,31%, Kalimantan Selatan 48,31%, Kalimantan Barat 51,53%, Nusa Tenggara Timur 53,82%, Sumatera Barat 54,11%, Sumatera Selatan 56,22%, Sumatera Utara 58,69%, dan Golontalo 59,91%.

Sedangkan selain Aceh, ada 28 provinsi penerima dosis kedua yang masih di bawah 60%, antara lain Maluku 20,9%, Maluku Utara 23,9%, Sulawesi Tenggara 24,13%, Sulawesi Tengah 25,65%, Sulawesi Barat 26,01%, Nusa Tenggara Timur 27,33%, Papua Barat 27,41%, Sumatera Barat 27,68%.

Lalu, Bengkulu 29, 48%, Kalimantan Selatan 31,11%, Sulawesi Selatan 31,17%, Riau 31,68%, Sumatera Selatan 32,86%, Kalimantan Barat 33,92%, Gorontalo 34,58%, Lampung 34,63%, Nusa Tenggara Barat 38,82%, Kalimantan Tengah 39,09%, Sulawesi Utara 40,55%, Sumatera Utara 40,88%, Jambi 46,02%, Jawa Barat 46,32%, Banten 47,03%, Jawa Timur 47,96%, Jawa Tengah 49,12%, Kalimantan Utara 49,83%, Kalimatan Timur 51,91%, dan Bangka Belitung 52,16%.

Demi capaian vaksin

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, meninjau pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di ruang tunggu Pelabuhan Waisai-Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (27/10/2021)./Foto kemenparekraf.go.id

Menanggapi masalah itu, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Panyakit Menular sekaligus juru bicara vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, terdapat mekanisme yang harus dilakukan sebelum pihaknya menyalurkan vaksin ke daerah.

Salah satu yang dipertimbangkan, yakni melihat fasilitas rantai dingin (cold chain) di daerah untuk disesuaikan dengan jenis vaksin. Di samping itu, Kemenkes juga melihat laju vaksinasi dan sisa stok vaksin.

“Karena kita enggak mau nanti stok vaksinnya banyak, terus akhirnya expired. Terus sudah mepet (masa kedaluwarsanya), mereka mengembalikan vaksin. Kan banyak daerah seperti itu,” ujar Nadia, Selasa (30/11).

Nadia mengingatkan, dinas kesehatan setempat tak ragu mengajukan permintaan ke Kemenkes, jika stok vaksinnya terbatas. “Tetapi, kita pastikan dulu, stok dia benar seperti itu enggak. Kita bisa hitung, laju penyuntikan dia berapa, kemudian berapa stok vaksin yang ada,” tutur Nadia.

Nadia juga meminta pemerintah daerah tak pilih-pilih jenis vaksin tertentu. Hal itu merupakan salah satu faktor yang memperlambat laju vaksinasi. Sebagian besar pemerintah daerah, ungkap Nadia, menginginkan vaksin Sinovac asal China. Padahal, katanya, vaksin Sinovac jumlahnya semakin menipis. Kemenkes sendiri memprioritaskan vaksin Sinovac untuk daerah yang melakukan penyuntikan dosis kedua.

“Kabupaten/kota kita harap bisa melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin non-Sinovac,” ujarnya.

Selain berkomunikasi dengan pemerintah pusat, Nadia berharap pemerintah daerah memperhatikan stok vaksin yang tercatat, sebelum meminta penyaluran. Sebab, sering kali stok tersebut tak tercatat.

“Mereka katakan sudah habis vaksinnya, tetapi di catatan masih banyak. Jadi harus sinkron antara kejadian lapangan dengan catatan yang dilaporkan,” ucap Nadia.

Anggota Komisi IX DPR, Darul Siska meminta Kemenkes dapat memastikan ketersediaan vaksin di daerah. Baginya, jumlah vaksin yang diminta pemerintah daerah harus dapat terpenuhi, agar warga tak merasa kesulitan mengakses vaksin.

“Jadi, umpamanya mereka minta 5.000 dosis, ya kirim,” ujar dia, Selasa (30/11).

Ketersediaan vaksin di daerah, ujar Darul, sangat penting. Apalagi saat ini ada varian virus Corona B.1.1.529 atau Omicron, yang diduga lebih menular dari varian Delta. Politikus Partai Golkar itu mengatakan, Komisi IX DPR akan memberi peringatan kepada Kemenkes supaya bisa mendistribusikan vaksin untuk memenuhi kebutuhan di daerah.

“Dan kita minta (pemerintah) daerah mengantisipasi kelangkaan vaksin di daerahnya,” tutur Darul.

Ia berpendapat, ketersediaan vaksin sangat ditentukan oleh kepekaan pemerintah daerah. Sementara kecepatan vaksinasi nasional, dipengaruhi kinerja Kemenkes menyuplai vaksin ke daerah.

“Oleh karena itu, kita minta koordinasi yang baik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat,” tuturnya.

Infografik situasi vaksinasi Covid-19 di daerah. Alinea.id/Aisya Kurnia.

Sementara itu, epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman mengingatkan pemerintah fokus mengejar capaian vaksinasi. Jika tidak, ia khawatir Indonesia kelimpungan menghadapi gelombang ketiga pandemi, ditambah menyebarnya varian Omicron.

Menurut WHO, hingga kini varian Omicron yang diduga berasal dari Afrika Selatan itu sudah menyebar di 23 negara. Dicky menyebut, munculnya varian baru ini mesti menjadi pembelajaran Pemerintah Indonesia.

“Ini bisa terjadi di Indonesia,” kata Dicky saat dihubungi, Senin (29/11).

“Artinya, bukan masalah satu varian mudah bersikulasi di Indonesia dan menyebabkan keburukan situasi pandemi, tetapi juga menyebabkan lahirnya satu varian yang merugikan kita. Ini yang berbahaya.”

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid