sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Komnas HAM: Ketimpangan pemenuhan hak kesehatan sangat berbahaya

Peningkatan kasus positif menjadi sangat berbahaya, mengingat fasilitas kesehatan hingga tenaga medis di daerah jauh lebih rendah.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 12 Okt 2020 11:06 WIB
Komnas HAM: Ketimpangan pemenuhan hak kesehatan sangat berbahaya

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, masih ada ketimpangan pemenuhan hak atas kesehatan di Indonesia. Hingga saat ini, jumlah kasus positif Covid-19 di berbagai daerah masih terus meningkat. Peningkatan kasus positif menjadi sangat berbahaya, mengingat fasilitas kesehatan hingga tenaga medis di daerah jauh lebih rendah dibandingkan DKI Jakarta.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, ketimpangan pemenuhan hak atas kesehatan dapat ditilik dari data Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Hanya ada sekitar 6.000 dokter penanggung jawab pasien (DPJP) di Indonesia. Di sisi lain, jumlah tenaga medis dalam penanganan Covid-19 terbatas. Bahkan, mayoritas atau 98,9% tenaga medis berada di Pulau Jawa.

“Belum meratanya distribusi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menghambat aksesibilitas bagi masyarakat. Khususnya, di daerah tertinggal. (Padahal), fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat diakses oleh setiap orang dalam yurisdiksi negara,” ujar Sandrayati dalam keterangan pers virtual, Senin (12/10).

Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengumumkan, total ada 132 dokter wafat akibat Covid-19 hingga Jumat (9/10). Data itu dikumpulkan dari 18 IDI wilayah dan 61 IDI cabang. Para dokter yang meninggal mencakup 69 dokter umum (empat di antaranya guru besar), 62 dokter spesialis (lima guru besar), dan dua dokter residen. Selain itu, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) juga mengumumkan, total ada 97 perawat wafat akibat Covid-19 hingga Minggu (11/10).

Menurut Sandrayati, persoalan kebutuhan tenaga medis untuk penanganan Covid-19 semestinya harus tetap mempertimbangkan perspektif HAM. Misalnya, tenaga medis harus bekerja tidak lebih dari delapan jam atau double shift karena akan semakin rentan terpapar Covid-19. Proteksi maksimal terhadap tenaga medis, kata dia, dibutuhkan sebagai aset utama penanganan Covid-19 di Indonesia.

Sayangnya, pemenuhan perlindungan kesehatan terhadap tenaga medis juga masih bermasalah. Dalam kurun waktu Maret hingga Juni, Pemerintah dinilai masih lambat dalam mendistribusikan alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Sistem pendistribusian APD kepada tenaga medis perlu perbaikan. Terlebih, untuk sistem pendistribusian APD di daerah-daerah, karena prosesnya sangat lama dan terlalu banyak jenjang.

“Perlu perbaikan agar bisa jadi proporsional dan merata. Ini seharusnya APD-nya juga yang berkualitas,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Umum IDI Daeng M Faqih membenarkan, keterbatasan jumlah tenaga medis di Indonesia. DPJP untuk penanganan Covid-19 memang tidak banyak. Misalnya, spesialis paru di Indonesia tidak sampai 2.000 dokter. Kemudian, dokter spesialis penyakit dalam yang masuk dalam konsultan paru pun tidak banyak.

Sponsored

“Kalau total 6.000 mungkin lebih sedikit, tetapi memang enggak banyak. Makanya, kemudian kita di internal, untuk memenuhi penanganan itu sudah meminta seluruh dokter untuk melatih dirinya. Supaya kalau dalam kondisi skenario terburuk, seluruh dokter bisa menangani Covid-19 dengan mahir,” ujar Daeng.

Berita Lainnya
×
tekid