sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kicau warganet dan sorot media soal PSBB

Hingga hari ini, Kemenkes sudah mengizinkan beberapa daerah untuk menerapkan PSBB

Manda Firmansyah Fatah Hidayat Sidiq
Manda Firmansyah | Fatah Hidayat Sidiq Selasa, 21 Apr 2020 19:38 WIB
Kicau warganet dan sorot media soal PSBB

Pemerintah pusat memutuskan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagai strategi menanggulangi pandemi coronavirus anyar (Covid-19) di Tanah Air. Keputusan ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020.

Hingga Selasa (21/4), pukul 15.30 WIB, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyetujui beberapa daerah untuk melaksanakan opsi karantina kesehatan tersebut. DKI Jakarta; Kota/Kabupaten Bogor, Kota/Kabupaten Bekasi, Kota Depok, dan Bandung Raya, Jawa Barat (Jabar); Tangerang Raya, Banten; Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel); Sumatra Barat (Sumbar); Kota Tegal, Jawa Tengah (Jateng); Kota Pekanbaru, Riau; Kota Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara); Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel); serta Surabaya Raya, Jawa Timur (Jatim).

PSBB kali pertama diterapkan di Jakarta per 10 April. Sesuai Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 380 Tahun 2020, berlangsung hingga 23 April. Saat rapat bersama Tim Pengawas (Timwas) Penaggulangan Covid-19 DPR pada Kamis (16/4), Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, mengungkapkan keinginannya menambah durasi pelaksanaannya. “Ini harus diperpanjang.”

Lima hari berselang, giliran Jabar yang menerapkan PSBB di Bodebek. Diikuti Banten pada 18 April.

Seiring waktu, muncul berbagai masalah. Salah satu faktornya, regulasi yang saling bertentangan. Misalnya, terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 dan memperkenankan ojek berbasis aplikasi atau online (ojol) di daerah yang menerapkan PSBB. Ini berbeda dengan amanat Permenkes Nomor 9 Tahun 2020.

Kemudian, adanya izin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kepada perusahaan-perusahaan di luar pengecualian atau nonesensial untuk tetap beroperasi. Di Jakarta, tercatat ada sekitar 200-an korporasi. Sehingga, mobilitas orang masih tinggi.

Sejumlah pekerja berjalan usai bekerja dengan latar belakang gedung perkantoran di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis (16/4/2020). Foto Antara/Akbar Nugroho Gumay

Berikutnya, sikap Menteri Perhubungan Ad Interim, Luhut B. Pandjaitan, yang menolak permohonan berbagai kepala daerah tentang penghentian operasional kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta dan “kota satelit”.

Sponsored

Permohonan itu bukan tanpa argumen yang kuat. “Salah satu penyebab maraknya positif (Covid-19) itu karena KRL. Dari data yang ada, rata-rata dari penumpang kereta. Kasus positif pertama yang di Bojonggede itu dari kereta,” beber Bupati Bogor, Ade Yasin.

Distribusi bantuan sosial (bansos) kepada warga terdampak Covid-19 saat PSBB juga bermasalah. Nyaris di seluruh daerah. Di Kota Depok, misalnya, bantuan uang tunai Rp250.000 per keluarga berkurang. Diduga dipotong pengurus RT karena tidak seluruh masyarakat menerimanya.

Publik pun memiliki berbagai tanggapan atas PSBB dan dinamikanya, mengingat sebelumnya sempat muncul dorongan karantina wilayah (lockdown). Alinea.id menghimpun pendapat tersebut dan disampaikan melalui Twitter. Data dikumpulkan pada 10-20 April menggunakan piranti lunak kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Ekspos netizen terkait PSBB mencapai 140.233 twit. Sebanyak 66.181 di antaranya, masuk dalam 10 besar isu terkait. Penerapan di Jakarta (24.050 twit), pelaksanaan di Jabar (13.697 twit), bansos (11.354 twit), polemik operasional KRL (9.594 twit), penertiban dan pemeriksaan terhadap warga (2.876 twit), pelaksanaan PSBB di Tangerang Raya (2.660 twit), penertiban angkutan umum (671 twit), penertiban perusahaan (656 twit), ancaman pemutusan hubungan kerja atau PHK (476 twit), serta Kartu Prakerja (147 twit).

Dalam obrolan menyangkut penerapan PSBB di Jakarta, terselip pujian kepada Anies dan kritik kepada pemerintah pusat. “Nada minor” ini, khusus kepada Luhut, kembali mencuat dalam isu polemik operasional KRL karena kebijakannya kontraproduktif.

Sementara, hanya segelintir warganet yang mengaitkan PSBB dengan Program Kartu Prakerja. Perbincangan menyangkut Kartu Prakerja di Twitter dapat dilihat di sini.

Kendati menghardik pemerintah pusat, mayoritas netizen berharap (anticipation) PSBB dapat menekan penyebaran virus SARS-CoV-2 ini. Emosi serupa muncul dari kicauan tentang dorongan bansos segera didistribusikan secara adil dan merata.

Tingginya kritik terhadap pemerintah pusat tecermin dari besarnya kicauan bernada kemuakan (disgust). Disusul kepercayaan (trust), ditandai dengan cuitan berisi donasi bansos.

Tingginya harapan itu berkolerasi lurus dengan sentiment positif sebesar 44%. Sedangkan bersikap negatif 29% dan netral 27%.

Mayoritas netizen yang menyuarakan pendapatnya tentang PSBB adalah laki-laki (63%) dan sisanya perempuan. Paling banyak yang berparitispasi juga kelompok milenial, detailnya sebanyak 6% berusia di bawah 18 tahun, 37% berusia 18-25 tahun, 42% berusia 26-35 tahun, dan 15% berumur di atas 35 tahun.

Selain Twitter, Alinea.id juga menghimpun pemberitaan PSBB di portal media daring (online) arus utama (mainstream). Dalam rentang waktu sama, terdapat 42.858 artikel tentang PSBB. Sebanyak 40.102 berita di antaranya, memuat delapan isu tertinggi dan mencakup penetapan dan penerapan PSBB (15.546 artikel), program bansos (7.419 artikel), penertiban dan pemeriksaan terhadap warga (5.546 artikel), penertiban angkutan umum (3.359 artikel), penertiban perusahaan (3.019 artikel), polemik operasional KRL (2.498 artikel), ancaman PHK (1.698 artikel), serta Program Kartu Prakerja (1.017 artikel).

Pada pekan kedua PSBB di Jakarta, pemberitaan media massa cenderung berisi tentang ketakefektifan opsi karantina kesehatan tersebut karena masih banyak perusahaan nonesensial beroperasi dan KRL tetap melayani penumpang.

Kendati begitu, isu tertinggi di Twitter dan portal media sebangun. Pembahasan di dua platform serupa.

Di sisi lain, pemberitaan media membuat dua klaster pendukung dan penolak PSBB. Kubu pro diisi pemerintah, seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi); Anies Baswedan; Gubernur Jabar, Ridwan Kamil; Juru bicara untuk Percepatan Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto; dan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa. Sedangkan pihak kontra, diisi kalangan dewan dan pengamat. Mereka adalah Wakil Ketua DPRD Jakarta, Abdurrahman Suhaimi; pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah; Presiden Institut Otonomi Daerah, Djohermansyah Djohan; Anggota Komisi IX DPR, Saleh Daulay; serta Sekretaris Komisi D DPRD Jakarta, Syarif.

Setengah hati
Sementara, pakar epidemiologi dan biostatistik Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, menilai, pemerintah setengah hati dalam menerapkan PSBB. Pertimbangannya, kebijakan dilakukan parsial, tidak pernah dievaluasi dan dipantau.

“(PSBB) harus nasional. Itu tidak ada tawaran, (diterapkan) hari ini atau besok (Rabu, 22/4). Ini harusnya nasional, walaupun implementasinya berbeda-beda setiap wilayah,” katanya saat dihubungi Alinea.id, Selasa (21/4).

Dirinya berpendapat demikian, mengingat Indonesia berada pada tahap sumber penularannya sudah tidak bisa dideteksi (community transmission). Kedua, pandemi Covid-19 sudah ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020–sebelumnya menerapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keppres Nomor 11 Tahun 2020.

Tim pakar penyusun draf skenario pemodelan penyebaran Covid-19 di Indonesia ini juga mendorong pemberlakukan PSBB secara ketat. Misalnya, membatasi penumpang KRL, mencegah kerumunan di pasar, dan ojol hanya mengantarkan makanan atau barang.

“(Kenyataannya) kan, tarik-tarikan, apakah kita mau menyelamatkan manusia atau menyelamatkan ekonomi. Ekonomi kita batasi dululah. Kita tidak akan mati, kok, ekonominya karena virus, (tetapi) hanya terhenti sementara,” tutur dia.

Sayangnya pula, Pandu tak mengetahui rencana aksi pemerintah dalam mencengah Covid-19 dan target penyelesaiannya. Yang dilihatnya, seperti menuruti kehendak virus. “Harusnya, virus mengikuti kita,” tegasnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, berpendapat PSBB adalah kebijakan “bias kelas”. Pangkalnya, isolasi mandiri hanya mungkin dilakukan oleh kelompok elite karena rumahnya berukuran 10 meter persegi per orang, memiliki tabungan, dan tetap digaji. Segala “kemewahan” tersebut tak dimiliki penghuni “dasar piramida”.

“Untuk kamar mandi saja, kan, (warga di permukiman padat) di luar (rumah), enggak mungkin di dalam. Artinya, orang-orang di sana akan tetap bertemu dan menggunakan fasilitasnya secara bersama, Jadi, yang lain juga akan kena risiko (tertular),” bebernya kepada Alinea.id.

Warga melepaskan burung merpati tak jauh dari permukiman padat penduduk di bantaran Sungai Ciliwung, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta, Rabu (15/4/2020). Foto Antara/M. Risyal Hidayat

Dengan strategi seperti ini dan ketakadaan panduan Kemenkes terkait tindakan penanganan di rumah sakit rujukan Covid-19, puncak kurva penularan di Jabodetak bakal terjadi pada medio Mei 2020. “(Di) luar Jabodetabek, mungkin 2-3 minggu sesudahnya," ucap akademisi ilmu kesehatan masyarakat dan kedokteran komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Joko Mulyanto, kepada Alinea.id.

Dia berasumsi demikian, karena intervensi pemerintah lemah. Penangannya juga buruk, sehingga sukar mengetahui pasti angka reproduksi dasar (R0) Covid-19 di Tanah Air yang mendekati kondisi riil dengan memedomani data pemerintah.

Berita Lainnya
×
tekid