sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Komnas HAM minta pembahasan RUU Cipta Kerja disetop

Sikap tersebut dilatarbelakangi 10 pertimbangan.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 14 Agst 2020 14:49 WIB
Komnas HAM minta pembahasan RUU Cipta Kerja disetop

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan DPR tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Pangkalnya, materi bersinggungan langsung dan berpotensi mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

"Komnas HAM RI merekomendasikan agar Presiden RI dan DPR RI mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja (omnibus law) dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Komisioner Komnas HAM. Sandrayati Moniaga, dalam keterangan tertulis, Jumat (14/8).

Berdasarkan kajian Komnas HAM, terdapat 10 alasan RUU Ciptaker layak disetop. Pertama, prosedur perencanaan dan pembentukannya tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang diatur Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kedua, terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Dicontohkannya dalam draf Pasal 170 ayat (1) dan (2) RUU, di mana peraturan pemerintah (PP) dapat mengubah peraturan setingkat UU jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Ciptaker.

Ketiga, RUU Ciptaker akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan eksekutif. Sehingga, berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang (abuse of power). "Tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel," tegasnya.

Selanjutnya, akan ada UU superior serta menimbulkan kekacauan tatanan dan ketakpastian hukum saat RUU Ciptaker disahkan. Kelima, kemunduran atas kewajiban negara dalam memenuhi hak pekerjaan dan penghidupan yang layak serta mengakibatkan pelanggaran kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.

Itu tecermin dari politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau kontrak. Kemudian, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) kian mudah; penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait dengan upah, cuti dan istirahat; serta kemunduran dalam perlindungan hak berserikat dan berorganisasi.

Berikutnya, pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Ini seperti adanya ketentuan mengubah izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan; berkurangnya kewajiban melakukan amdal bagi kegiatan usaha; pendelegasian uji kelayakan lingkungan kepada swasta; lenyapnya Komisi Penilai Amdal; perubahan konsep pertanggungjawaban mutlak, sehingga mengurangi tanggung jawab korporasi dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup; serta berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu.

Sponsored

Ketujuh, relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga pengawas kebijakan terkait. "(Ini) membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup," jelas Sandrayati.

Kedelapan, kemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Di sisi lain, adanya kemudahan atas prosedur penitipan uang ganti kerugian ke Pengadilan Negeri. Sehingga, berpotensi memicu meluasnya penggusuran paksa atas nama pembangunan.

Kesembilan, kemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan, ketimpangan akses, dan kepemilikan sumber daya alam (SDA), khususnya tanah masyarakat dengan perusahaan (korporasi). Itu terlihat dari penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20% dari luasan izin hak guna usaha (HGU); pembentukan bank tanah yang mengubah lahan menjadi sekadar kepentingan komoditas ekonomi; serta luasnya pengelolaan tanah tidak dibatasi dan jangka waktu haknya hingga 90 tahun.

Terakhir, politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif. Pasalnya, lebih menjamin kepentingan pelaku usaha. Imbasnya, mencederai hak atas persamaan di depan hukum.

"Ini terkait dengan perubahan ketentuan penghukuman dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi administrasi denda untuk pelanggaran awal, di mana sanksi pidana penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi denda tidak dibayarkan," paparnya.

Ironisnya, hal itu akan diberlakukan atas hukum lingkungan, penataan ruang, bangunan gedung, pangan, serta monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Berita Lainnya
×
tekid