sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kontraproduktif, kebijakan pemerintah 'jinakkan' corona

Jokowi dan jajaran cenderung "tampak santai" sejak Covid-19 merebak.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Jumat, 20 Mar 2020 17:57 WIB
Kontraproduktif, kebijakan pemerintah 'jinakkan' corona

Kebijakan pemerintah dalam menangani coronavirus anyar (Covid-19) kontraproduktif. Lantaran membatasi interaksi sosial (social distancing). Namun, membiarkan warga negara asing (WNA) masuk Tanah Air.

"Kita imbau orang buat tinggal di rumah. Tapi, kita masukkan orang dari negara lain ke Indonesia. Kan, itu kontradiktif. Gimana kita percaya pemerintah bisa melindungi warganya?" ucap sosilog Universitas Nasional (Unas), Erna Ermawati Chotim, saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Jumat (20/3).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya, meminta masyarakat membatasi interaksi terhadap sesama. Juga sebaiknya berdiam diri di rumah. Guna meminimalisasi penyebaran SARS-CoV-2.

Di sisi lain, hingga kini pemerintah belum menutup akses masuk dan keluar Indonesia dari mancanegara. Kecuali WNA yang pernah berkunjung ke Vatikan, Spanyol, Prancis, Jerman, Swiss, dan Inggris dalam 14 hari terakhir.

Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, sempat meminta publik tak mempersoalkan kehadiran 49 WN China di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) via Thailand. Dalihnya, takada yang dilanggar.

Erna menerangkan, pandemi Covid-19 menjadi problem global. Menyebabkan situasi darurat. Dus, pemerintah semestinya mengambil langkah strategis.

"Prinsipnya, harus gerak cepat. Karena kalau situasi darurat enggak cepat, ya, impact-nya itu akan lebih besar," kata peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) ini.

Pandemi corona "menyerang" banyak sektor. Ekonomi, sosial, politik, dan kesehatan. "Dalam situasi darurat," tambahnya, "Itu seharusnya semua dimensi bisa diantisipasi."

Sponsored

Dicontohkannya dengan kebijakan Jerman dalam menangani virus asal Wuhan, China tersebut. "Negeri Panzer" sedari awal menganggap masalah ini serius. Sehingga, langkah pemerintahnya matang. 

Gayung bersambut, kata berjawab. Sikap negara direspons positif warganya. Pemerintah Jerman juga terbuka tentang fasilitasnya. Sehingga, terbangunnya kesadaran individu secara kolektif meminimalisasi penularan.

"Yang paling penting, fasilitas di Jerman itu sangat baik. Tapi, fasilitas itu enggak akan menopang, kalau jumlah korbannya yang harus ditangani itu banyak. Jadi, itu ada satu statement keyakinan, bahwa ini masalah serius," tuturnya.

Dengan begitu, tingkat fatalitas tergolong rendah. Jumlah yang tertular juga bisa ditekan. Mencapai 16.290 kasus hingga sore ini, pukul 17.50 WIB―sesuai data Johns Hopkins Whiting School of Engineering.

Tampak Santai
Sayangnya, langkah Indonesia justru berbeda 180 derajat. Sejak Covid-19 mewabah pada akhir 2019, Jokowi dan jajarannya, tampak santai.

"Buying time-nya lama banget. Sudah ada kasus di negara lain. Korban sudah banyak. Tapi, kita enggak bergerak cepat. Bukan hanya soal policy. Karena policy itu output. Tapi, proses sebelum policy diambil," urainya.

"Kita merasa, bahwa situasi itu mungkin orang lain yang akan hadapi. Kita tidak. Padahal, pada tahap awal, itu sudah perlihatkan, bahwa ini kasus global. Yang tidak hanya terjadi pada satu belahan area atau dunia," paparnya.

Masyarakat, imbuh Erna, pun tak membangun kesadaran (awareness) terhadap persoalan tersebut. "Ketiga, media itu terlalu berikan informasi yang tidak terkonfirmasi dengan baik," ujarnya.

Dia melanjutkan, hingga kini penanganan Covid-19 di Indonesia masih berpolemik. Belakangan tentang perlu tidaknya kuncitara atau karantina wilayah (lockdown).

"Termasuk social distancing. Itu satu kebijakan yang enggak mungkin efektif, kalau dari government terus society-nya enggak satu kata. Itu butuh kesiapan," tutup Erna.

Berita Lainnya
×
tekid