sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keluarga korban gagal ginjal akut sesalkan keputusan penarikan obat sirop lambat 

Benang merah dari pasien-pasien gagal ginjal akut pada periode berbeda tersebut adalah kondisi demam dan penurunan produksi urine.

Gempita Surya
Gempita Surya Jumat, 18 Nov 2022 21:04 WIB
Keluarga korban gagal ginjal akut sesalkan keputusan penarikan obat sirop lambat 

Pihak keluarga korban menyayangkan lambatnya sikap pemerintah dalam menangani dan mengidentifikasi penyebab kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak usia 6 bulan-18 tahun. Per 15 November 2022, tercatat ada 324 kasus, di mana 199 di antaranya meninggal dunia.

Salah satu pasien meninggal dunia akibat gagal ginjal akut adalah anak Safitri (8). Buah hatinya meninggal dunia pada 15 Oktober lalu usai mengalami perburukan kondisi.

Safitri mengungkapkan, mulanya sang buah hati hanya mengalami demam dan sempat membaik sebelum suhu tubuhnya kembali tinggi. Dirinya lalu memeriksakan anaknya ke rumah sakit hingga akhirnya mengalami perburukan kondisi dengan gejala khas gagal ginjal akut.

"Kondisi memburuk dan tidak kencing sama sekali sampai dinyatakan penurunan fungsi ginjal. Ketika kita konfirmasi ke RSCM, di situ sudah dikatakan AKIUO (acute kidney injury unknown origin)," kata Safitri dalam keterangan pers di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada Jumat (18/11).

Disampaikan Safitri, sempat terjadi satu kali perubahan obat yang diresepkan. Mulanya, anaknya menerima obat tablet, lalu diubah menjadi cair. Kendati demikian, saat menjalani perawatan di RSCM, seluruh obat-obatan yang dikonsumsi sang anak telah diserahkan ke rumah sakit.

Safitri pun menyayangkan lambatnya keputusan pemerintah menarik obat sirop dari peredaran. Sebab, hal itu baru dilakukan setelah adanya temuan kasus serupa di Gambia. Sementara, pada saat itu, anak Safitri tengah menjalani perawatan di ruang PICU akibat gagal ginjal akut.

"Yang disayangkan itu Kemenkes (Kementerian Kesehatan) dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) terlalu lama pergerakannya. Padahal, apa, sih, yang tidak dilakukan orang tua ketika anaknya kenapa-kenapa? Tapi, karena kami tidak diinformasikan, tidak tahu, jadi kami hanya berharap mukjizat," ungkapnya.

Dirinya juga menyoroti perbedaan data yang diungkapkan Kemenkes terkait gagal ginjal akut. Disampaikan lonjakan kasus terjadi sekitar bulan Agustus hingga Oktober 2022, tetapi ada yang menyatakan kasus ini sudah terdeteksi sejak awal tahun.

Sponsored

Safitri menilai, benang merah dari pasien-pasien gagal ginjal akut pada periode berbeda tersebut adalah kondisi demam dan penurunan produksi urine.

"Kenapa Kemenkes-IDAI enggak rising awareness terkait penyakit yang mengarah ke penyakit tertentu, seperti kencing berkurang setelah demam? Karena itu, kan, akut, ya, perburukannya per hari," tutur Safitri.

Adanya konsumsi obat sirop parasetamol oleh pasien, yang kemudian terungkap masuk dalam daftar obat tercemar senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) di atas ambang batas, kian menguatkan pendapat Safitri tentang gagal ginjal akut merebak akibat kelalaian dan lambatnya mengidentifikasi kasus.

"Obat sediaan sirop yang kami konsumsi awalnya dinyatakan aman, tapi selang seminggu, itu dirilis baru menyusul yang tidak aman. Itu apa namanya kalau bukan gegabah? Apa namanya kalau bukan abai?" ucap dia.

Dia juga terkejut atas tersedianya obat penawar atau antidotum berupa fomepizole yang didatangkan dari luar negeri, 18 Oktober 2022. Sementara, anaknya telah meninggal dunia sebelum mendapatkan terapi obat penawar tersebut.

Safitri menambahkan, dirinya dan para orang tua pasien gagal ginjal akut kurang terinformasi terhadap kondisi anak-anak mereka. Terlebih, saat itu dikabarkan belum ada protokol penanganan sehingga hanya dilakukan support treatment untuk para pasien.

"Ketika anak saya berpulang tanggal 15 Oktober, itu ada kabar tanggal 18 [Oktober] mau datang antidotum dan kita kaget, kok, ada antidotumnya? Saya sayangkan kenapa tidak dari awal ada, data berbeda-beda, waktu berbeda-beda, kenapa harus menunggu lama?" paparnya.

Safitri pun meminta pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini segera bertanggung jawab. Selain itu, mendorong adanya penelitian lanjutan terkait gagal ginjal akut maupun cemaran senyawa kimia berbahaya dalam produk obat.

"Bukan tidak mungkin akan terjadi hal serupa jika tidak diperbaiki sistemnya, pengawasannya. Mungkin saja terjadi lagi kalau masih seperti ini, semuanya saling lempar," tukas Safitri.

Berita Lainnya
×
tekid