sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

KSPI menjawab 12 hoaks permasalahan Omnibus Law UU Cipta Kerja

KSPI akan menggugat Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Cipker) melalui jalur hukum.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Jumat, 09 Okt 2020 15:34 WIB
 KSPI menjawab 12 hoaks permasalahan Omnibus Law UU Cipta Kerja

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah mengadakan mogok nasional selama tiga hari bersama 32 federasi. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, akan menggugat Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Cipker) melalui jalur hukum untuk membatalkannya.

“Untuk langkah selanjutnya, yang akan diambil para serikat buruh akan diumumkan secara resmi dalam konferensi pers di Senin (12/10) jam 11.00 WIB di Jakarta,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (19/10).

KSPI juga akan melakukan kampanye nasional maupun internasional terkait alasan buruh menolak Omnibus Law UU Cipker ini. Untuk itu, KSPI menjawab 12 hoaks permasalahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang tidak sesuai faktanya.

Pertama, uang pesangon benar-benar dikurangi, dari 32 kali menjadi 25 kali (19 kali dibayar pengusaha, enam kali ditanggung Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan).

“Ketentuan mengenai BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar pesangon sebesar enam bulan upah tidak masuk akal. Dari mana sumber dananya? Pengurangan terhadap nilai pesangon, jelas-jelas merugikan kaum buruh,” ujar Said Iqbal.

Selain itu, karena dalam Omnibus Law buruh kontrak dan outsourcing tanpa batasan jenis industri dan bisa “seumur hidup”, maka besar kemungkinan tidak ada pengangkatan karyawan tetap. Ketika tidak pengangkatan, dengan sendiri pesangon akan hilang (tidak lagi didapatkan buruh).

Kedua, upah minimum sektoral (UMSP dan UMSK) memang dihapus. Sementara itu, UMK ditetapkan bersyarat dengan ketentuan yang diatur kemudian. “Hal ini hanya menjadi alibi untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini berlaku, karena kewenangan untuk itu ada di Pemerintah. Padahal, dalam UU 13 Tahun 2003, UMK langsung ditentukan tanpa syarat,” tutur Said Iqbal.

Di sisi lain, Omnibus Law UU Cipker ini mewajibkan untuk menentapkan upah minimum provinsi (UMP).

Sponsored

Ketiga, Omnibus Law UU Cipker tentang perubahan terhadap Pasal 88B UU No.13/2013 memungkinkan penetapan pembayaran upah satuan waktu. Keempat, UU ini mengubah aturan UU No.13/2003 terkait pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama dua bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama enam tahun. Cuti panjang bukan lagi kewajiban yang diberikan. Sehingga, berpotensi hilang. Di sisi lain, upah atas cuti hak dipotong. Maka, buruh akan cenderung memaksakan untuk mengambil cuti.

Kelima, Omnibus Law UU Cipker menghapus Pasal 65 dan 66 UU No.13/2003 tentang batasan terhadap outsourcing. Jadi, outsourcing bisa bebas di semua jenis pekerjaan. “Di sini akan terjadi pebudakan modern,” ujar Said Iqbal.

Keenam, UU ini mengubah Pasal 59 UU 13/2003, maka tidak lagi diatur tentang berapa lama kontrak (PKWT) harus diberlakukan. Sehingga, bisa saja terjadi PKWT seumur hidup, karena pengusaha bisa mengontrak buruh berulang-ulang tanpa ada pengangkatan menjadi karyawan tetap.

Ketujuh, Omnibus Law UU Cipker menghapus Pasal 155 UU 13 Tahun 2003. “Jika tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa PHK tanpa izin dari lembaga penyelesaian hubungan industrial adalah batal demi hukum dan tidak ada kewajiban untuk membayar upah hak lain selama proses perselisihan berlangsung, PHK akan semakin mudah,” ucapnya.

Selain itu, Pasal 154A UU ini menyatakan, pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan, perusahaan melakukan efisiensi dan pekerja/buruh mangkir. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberi putusan bahwa, PHK karena efisiensi hanya bisa dilakukan ketika perusahaan tutup permanen.

Kedelapan, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang, karena outsourcing dan karyawan kontrak bebas. Mudah direkrut dan dipecat, maka sulit untuk bekerja sampai masa pensiun. Sehingga, tidak mendapatkan jaminan pensiun.

Kesembilan, UU ini mengatur hubungan kerja yang sangat fleksibel. Maka, akan banyak buruh yang berstatus sebagai tenaga kerja harian. Jumlah pekerja informal di industri padat karya, seperti pabrik boneka, sepatu, hingga baju, akan meningkat.

“Pengusaha bisa saja memberikan order ke masyarakat atau buruh yang bekerja dari rumah (home industry). Dengan sistem seperti ini, tidak ada lagi perlindungan untuk buruh. Upah hanya dibayarkan seenaknya dan tidak ada jamian kesehatan dan jaminan pensiun,” ujar Said Iqbal.

Kesepuluh, Omnibus Law UU Cipker menghilangkan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk memiliki izin dalam Pasal 42 Ayat (1) UU 13 tahun 2003. “Jelas hal ini akan mempermudah TKA masuk. Apalagi praktiknya, saat ini saja TKA unskill sudah banyak yang masuk,” tutur Said Iqbal.

Kesebelas, terkait benarkah buruh dilarang protes, ancamannya PHK? Justru yang dikhawatirkan dari UU ini adalah potensi memperbanyak buruh outsourcing dan kontrak. “Karyawan kontrak itu, kalau tidak turut (banyak protes), pasti tidak akan diperpanjang kontraknya,” ucapnya.

Keduabelas, terkait benarkah libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti?. “Faktanya, Ini bisa saja terjadi, sebagai dampak dari penerapan jam kerja yang fleksibel dan upah per jam sebagaimana lihat tanggapan kami di atas. Sehingga hari libur, buruh bisa saja diwajibkan tetap bekerja,” ujar Said Iqbal.

Berita Lainnya
×
tekid