sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

KUHP belum punya terjemahan resmi, Pemerintah dan DPR digugat

Tak adanya terjemahan resmi KUHP membuat tak ada kepastian dalam penegakan hukum.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Jumat, 08 Jun 2018 14:26 WIB
KUHP belum punya terjemahan resmi, Pemerintah dan DPR digugat

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini belum diterjemahkan secara resmi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Pemerintah. Dengan demikian, 70 tahun sudah KUHP yang sah masih berbahasa Belanda.

Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, setiap undang-undang wajib menggunakan bahasa Indonesia.

Saat ini, terdapat banyak versi terjemahan KUHP. Namun ketiadaan terjemahan resmi membuat penegakan hukum di Indonesia menjadi tidak pasti.

Aktivis YLBHI, Muhammad Isnur memberikan contoh pada terjemahan pasal 55, yang diambil dari tiga buku KUHP dengan penerjemah berbeda. Pertama, buku karangan R. Soesilo, pasal 55 tersebut berarti dihukum sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana.

Kedua, berdasarkan karangan Moeljatno diterjemahkan dengan dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana. Sementara itu, dalam buku KUHP versi Ali Hamzah, pasal 55 diartikan dipidana sebagai pembuat delik.

"Pertanyaannya Anda akan menggunakan yang mana? Terutama dalam kasus orang yang membuat pidana, seorang kuasa hukum merujuk pada buku versi A, jaksa penuntut pada versi B, sedangkan hakim akan menggunakan versi C," kata Isnur di Pengadilan Tinggi Negeri Jakarta Pusat, Jumat, (8/6).

Selain itu, Isnur juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan terburu-buru ingin segera mensahkan RKUHP. Padahal dalam KUHP yang saat ini dibahas dan disusun oleh pemerintah dan DPR, masih merujuk pada KUHP yang tidak memiliki terjemahan secara resmi.

Terjemahan KUHP yang dipakai oleh perumus RKUHP, merupakan terjemahan bebas dari para akademisi. Hal ini berdampak pada rumusan-rumusan pasal RKUHP yang potensial menimbulkan tafsir sumir dan multitafsir karena tidak adanya keseragaman makna dalam KUHP yang beredar selama ini.

Sponsored

"Bahasanya saja beda, apalagi tafsirnya," tegas ketua YLBHI bidang advokat tersebut.

Dikhawatirkan, tambah dia, RKUHP yang tergesa-gesa tersebut, dapat dengan mudah memenjarakan sekian juta orang.

"Pertanyaannya, Anda memilih maslahat tidak memenjarakan dengan serampangan atau menunda? Karena ketika Anda memaksakan, besarnya potensi untuk mengkriminalkan begitu banyak orang, maka akan begitu besar mudharatnya," tutur Isnur.

Oleh karenanya, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), dan LBH Masyarakat, berpendapat hal tersebut merupakan sebuah bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah bersama DPR RI. Mereka pun mendaftarkan gugatan terhadap Presiden RI, Menteri Hukum dan HAM, dan DPR RI yang belum juga menerjemahkan KUHP secara resmi ke dalam Bahasa Indonesia.

Gugatan dilakukan karena sebelumnya mereka sudah dua kali mengirim somasi, namun diabaikan baik oleh Presiden RI, Menkumham RI, ataupun DPR RI. Somasi yang dilakukan yaitu pada 11 Maret dan 28 maret. 

Dia menegaskan, pemerintah seharusnya menyadari sudah semestinya pemerintah memiliki terjemahan secara resmi atau menetapkan mana yang resmi.

"Ya, mungkin mereka lelah dalam menerjemahkan, namun seharusnya dipilih salah satu, sehingga kita satu bahasa dalam KUHP," katanya. 

Berita Lainnya
×
tekid