sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Lepas kendali peredaran racun dan obat berbahaya di toko online

Penjualan obat berbahaya—termasuk obat bius, penenang, dan racun—di toko online jadi sorotan usai kasus pembunuhan yang dilakukan Dhio.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 10 Des 2022 06:35 WIB
Lepas kendali peredaran racun dan obat berbahaya di toko <i>online</i>

Siang itu, saat matahari tepat di atas kepala, seorang lelaki tanpa alas kaki berjalan terhuyung di parkiran depan ritel pakan kucing di bilangan Poris, Tangerang, Banten. Seorang tukang parkir mendekatinya, ketika pria itu nyaris tertabrak mobil dari belakang.

Sejurus kemudian, tubuh kerempengnya roboh. Orang-orang yang menyaksikannya lantas mendekat, mengira lelaki itu menderita penyakit kambuhan. Tak lama, kawannya datang. Ia menerangkan, sang kawan habis mengonsumsi obat bius hirup karena stres tak kunjung dapat pekerjaan.

Nganggur udah mau setahun. Semalam minum obat kebanyakan,” ujar Tomi, kawan pria itu kepada Alinea.id, Kamis (1/12).

Pria mabuk itu bernama Agung. Menurut Tomi, kawannya itu sempat cekcok dengan orangtuanya lantaran lama menganggur. Padahal, sudah setahun Agung lulus kuliah.

Bertebaran di toko online

Setelah sadar, Agung bercerita, ia nekat mengonsumsi obat bius sebab sudah tak kuat menahan beban pikiran karena kerap dipandang sebelah mata akibat menganggur. Pemuda 24 tahun itu mengaku, sebelum ambruk, ia nekat menelan 10 pil penenang dan obat bius hirup yang dibelinya dari sebuah toko online. Agung bilang, sudah dua kali membeli obat bius di toko online.

Leman—nama samaran—juga pernah nekat menelan obat penenang karena merasa depresi kehilangan pekerjaan awal 2021. Apalagi, saat itu ia hendak menikah. Pria 26 tahun itu mengaku, membeli obat penenang, seperti merek Dumolid di toko online. Bukan hal sulit baginya untuk mendapatkan pil penenang itu di toko online.

“Saya sebenarnya tahu, enggak boleh diminum tanpa resep (dokter). Tapi saya butuh, ketimbang uring-uringan,” ujar mantan pekerja pembuat batako dan asbes di sebuah pabrik di Semanan, Kalideres, Jakarta Barat itu, Minggu (4/12).

Sponsored

Ilustrasi membeli barang di toko online./Foto Pixabay

Penjualan obat-obatan berbahaya—termasuk obat bius, penenang, dan racun—di toko online menjadi sorotan usai kasus pembunuhan yang dilakukan anak durhaka Dhio Daffa di Magelang, Jawa Tengah pada Senin (28/11).

Ketika itu, Dhio menghabisi nyawa ibu, ayah, dan kakaknya menggunakan racun sianida yang dibelinya dari toko online. Dalam jumpa pers di Polresta Magelang, Selasa (6/12), Dhio mengaku membeli dua jenis racun, yakni arsenik dan sianida, sebanyak empat kali di sebuah toko daring.

Pelaku “sate beracun” NA di Yogyakarta, yang kasusnya mengemuka pada April 2021 juga mengaku membeli racun sianida yang dicampur ke dalam bumbu sate lewat toko online. Nahasnya, seorang anak pengemudi ojek online menjadi korban karena salah sasaran.

Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (Kemendag) Veri Anggrijono mengatakan, pasca-kejadian pembunuhan satu keluarga di Magelang, pihaknya menyadari ada persoalan serius pada praktik jual-beli daring yang harus segera dibereskan.

“Kami minta mereka (perusahaan toko online) jangan diam saja. Kami minta mereka melakukan pengawasan,” ujarnya saat dihubungi, Senin (5/12).

“Sebab, mereka tahu semua merchant (pedagang) yang berdagang di tempat mereka.”

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pakar farmakologi Zullies Ikawati menuturkan, obat-obatan yang memerlukan resep dokter tidak bisa dijual sembarangan di toko online. Sebab, bila salah dosis, bisa berakibat fatal.

"BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sudah sering melakukan cyberpatrol dan sudah cukup banyak yang di-take down,” kata Zullies, Rabu (7/12).

“Di sisi lain, Kemenkes (Kementerian Kesehatan) sudah mengatur platform khusus untuk penjualan obat, yaitu PSEF (Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi), dan sudah cukup banyak platform yang disetujui untuk ini.”

Namun, menurut Zullies, untuk racun agak sulit menertibkannya lantaran berkelindan dengan obat kimia yang bisa dibeli secara daring dan toko kimia luring. "Karena bahan-bahan tersebut mungkin digunakan juga untuk kebutuhan yang lain," tutur Zullies.

Dihubungi terpisah, Direktur Kebijakan Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI)—organisasi nonprofit yang bertujuan memajukan pembangunan sektor kesehatan lewat riset, advokasi, dan intervensi partisipatif—Olivia Herlinda memandang, masih adanya obat penenang yang beredar di toko daring adalah tanda perusahaan perdagangan elektronik belum sadar bahaya obat-obatan dengan resep dokter.

“Tentu saja ini sangat berbahaya. Bila orang awam memiliki akses ke obat-obatan berbahaya, tanpa resep dan supervisi, akan rentan penyalahgunaan,” ujarnya, Rabu (7/12).

Alinea.id sudah berupaya mengonfirmasi mengenai peran marketplace dalam mengatasi peredaran obat berbahaya ke Ketua Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) Bima Laga. Akan tetapi, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Pengawasan dan sanksi

Ilustrasi obat./Foto Pixabay

Zullies mengatakan, untuk mencegah peredaran obat dengan resep dokter dan racun di toko online, perlu peran aktif perusahaan marketplace. BPOM ataupun Kemendag, katanya, tak akan mampu menangani seluruh peredaran zat berbahaya di dunia maya, tanpa ada kesadaran serius dari perusahaan untuk menyeleksi seluruh produk obat-obatan yang hendak dijual secara akurat.

“Posisi BPOM hanya bisa memberikan rekomendasi kepada instansi terkait lainnya,” katanya.

“Semisal untuk marketplace, maka urusannya dengan Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), kalau untuk perdagangan bahan-bahan kimia, dengan Kementerian Perdagangan.”

Jika marketplace lepas tangan terhadap peredaran obat-obatan berbahaya dan racun, ia menegaskan, otoritas kesehatan atau perdagangan perlu bertindak serius terhadap mereka. “Karena hal itu menyangkut keselamatan jiwa,” ujar dia.

“Kalau ada marketplace yang masih jualan obat bius, itu harus dibina dan ditindak, tentu penjualnya (juga).”

Sedangkan Olivia menanggap, peredaran obat yang harus dengan resep dokter di toko online merupakan tanda pengawasan BPOM masih sangat lemah. “Juga penegakan peraturan Kemenkes masih lemah,” ucap Olivia.

Di sisi lain, Veri menjelaskan, pihaknya sudah secara berkala melakukan pengawasan dan menutup akun di marketplace yang kedapatan menjual obat berbahaya, obat yang harus dengan resep dokter, serta racun.

"Kami melakukan take down terhadap produk merchant tersebut," kata Veri.

Pihaknya juga berkoordinasi dengan BPOM untuk menyisir obat berbahaya dan racun yang diperjualbelikan secara online. Alasannya, BPOM lebih memahami setiap risiko kandungan bahaya obat dan zat kimia yang dijual bebas di toko online. Lebih dari itu, Kemendag dan BPOM, ujar Veri, sudah menyusun rencana untuk memantau peredaran obat berbahaya dan zat kimia mematikan.

“Jadi nanti setelah dipantau BPOM, merchant dan badan usahanya kami selidiki. Kalau kedapatan menjual bahan berbahaya, bakal kami take down akunnya dan kami bekukan badan usahanya,” ucap dia.

Veri mengatakan, Kemendag tak segan mencabut izin usaha marketplace, jika membiarkan obat berbahaya dan racun tetap beredar di lapaknya. “Shopee dan Lazada sudah kami tegur karena hal ini. Mereka kecolongan karena ada obat berbahaya dijual di tempat mereka,” tutur Veri.

Infografik toko online. Alinea.id/Firgie Saputra

Apabila berulang kali mengabaikan saran Kemendag, Veri menekankan, bakal menyeret ke ranah hukum marketplace yang bandel. Veri pun meminta masyarakat menjadi konsumen cerdas, yang tidak sembarangan membeli obat yang tak jelas asal-usul penjualnya dan hanya tergiur harga murah.

"Kami mohon, masyarakat kalau butuh obat yang memang perlu resep dokter, ya cari di tempat yang sesuai. Rumah sakit atau ke dokter misalnya," kata Veri.

Sementara Olivia melihat, sejauh ini penanganan peredaran obat berbahaya di marketplace hanya sebatas penutupan akun penjualnya. Namun, nihil sanksi serius, sehingga wajar penjualnya terus muncul.

"Seharusnya bukan hanya di-take down, tapi penjual juga harusnya mendapat sanksi,” katanya.

“Namun, tampaknya sistem, sumber daya, dan regulasi belum mendukung untuk bisa melakukan kontrol dan pengendalian lebih kuat.”

Berita Lainnya
×
tekid