sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Local lockdown bukti daerah bingung karena pusat cuma mengimbau

Pemerintah pusat pun tidak bisa menjatuhkan sanksi kepala daerah.

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Selasa, 31 Mar 2020 18:34 WIB
<i>Local lockdown</i> bukti daerah bingung karena pusat cuma mengimbau

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menyatakan, langkah sejumlah pemerintah daerah (pemda) memberlakukan karantina wilayah (local lockdown) bentuk kebingungan. Pangkalnya, tidak ada arahan jelas dari pusat sampai sekarang. 

"Menurut saya, daerah-daerah yang melakukan lockdown itu karena mereka bingung. Karena dari pemerintah pusat enggak ada arahan sebenarnya harus bagaimana," ujarnya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Selasa (31/3).

Hingga kini, terang dia, pusat sekadar mengeluarkan imbauan. Sifatnya pun meragukan karena landasan hukumnya lemah.

"Jadi, kalau itu (local lockdown) cermin dari kebingungan daerah-daerah. Karena enggak ada kebijakan yang utuh dari pusat," kata Bibip, nama sapanya.

Beberapa kepala daerah menetapkan karantina wilayah dalam menekan penyebaran coronavirus baru (Covid-19) di teritorialnya. Kebijakan diambil dengan menutup akses masuk-keluar.

Kebijakan tersebut, seperti dilakukan di Provinsi Papua dan Maluku. Juga Tolitoli, Sulawesi Tengah; Kota Bandung, Kota Bogor, dan Kota Tasikmalaya, Jawa Barat; Kota Banda Aceh, Aceh; Kota Tegal dan Kota Surakarta, Jawa Tengah; serta Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. 

Tidak Bisa Disanksi
Dirinya melanjutkan, sikap pemda tersebut bertujuan melindungi warganya. Pun tidak bisa dilarang. Pangkalnya, belum ada peraturannya dan belum pusat belum berbuat apa-apa.

"Kecuali kalau pemerintah pusat sudah mengeluarkan hukumnya, bahwa sekarang ini mulai lockdown dan yang lockdown harus lapor ke pemerintah pusat. Maka kalau ada yang melanggar, bisa kena sanksi," tuturnya.

Sponsored

Bibip menegaskan, pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak bisa menghukum kepala daerah karena memberlakukan local lockdown menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Alasannya, kondisi sekarang berbeda.

"Jadi, ada dua, nih. Kondisi ini, kan, tidak biasa. Sehingga, yang harus digunakan adalah Undang-Undang tentang Kekarantiaan Kesehatan dan dikombinasikan dengan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Acuannya itu," paparnya.

"Kalau Undang-Undang Pemda, itu ada ketentuan harus mengacu pada apa yang disuruh pemerintah pusat," ucap mantan Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ini.

Apalagi, tambah Bibip, UU Pemda hanya memuat kerangka besar. Belum nyata. "Semua bisa dibikin konkret, kalau sudah ada penetapan hukumnya dari pemerintah pusat," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid