sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

LP3ES anggap Jokowi terlibat 'pengebirian' KPK

Keinginan "mematikan" KPK telah ada sejak lama karena dianggap menjegal praktik korup.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Sabtu, 22 Agst 2020 14:41 WIB
LP3ES anggap Jokowi terlibat 'pengebirian' KPK

Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Didik J. Rachbini, mengungkapkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang ingin "dimatikan" sejak lama.

Saat berdiri pascareformasi, terangnya, lembaga antirasuah tersebut dinilai menghambat praktik korup para pejabat yang sejak Orde Baru (Orba) menikmati kebebasan "menyunat" berbagai proyek yang akan dan sedang berjalan.

"Sejak zaman Orde Baru, proyek Rp1 miliar itu 30%-40% masuk ke kantong pribadi dalam eksekutif dan itu dari yang kecil-kecil sampai yang gede, di tingkatan menteri, tidak hilang (kebiasaan itu)," katanya dalam webinar, Sabtu (22/8).

Karenanya, kehadiran KPK dianggap mengganggu. Sehingga, sejumlah pihak ingin menghentikan wewenang yang dimiliki lembaga itu. Serangan dari berbagai kalangan pun dilancarkan, dari politikus hingga aparat hukum.

"Kebiasan (korup) tak hilang sampai masa reformasi. Ketika KPK mengganggu, maka akan 'dibunuh'. Proses pembunuhan KPK sebelumnya selalu gagal, karena Gus Dur (Abdurrahman Wahid, red), Megawati, dan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) itu tak mau karena tidak populer. Tapi sekarang, 'pembunuhan' itu berhasil pada zaman Jokowi (Joko Widodo)," paparnya.

Didik melihat, "pembunuhan" KPK sebagai sebuah lembaga disetujui Presiden Jokowi. Tanpa adanya campur tangan presiden, mustahil lembaga antirasuah dapat dikebiri.

"Karena Jokowi mendukung, dia bagian dari proses pembunuhan KPK ini. Tanpa izin presiden, KPK tak akan berubah seperti sekarang. Jadi dengan hanya izin presiden, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 itu lolos dan prosesnya itu antara legislatif dan eksekutif berjalan dengan waktu sangat cepat. Semua orang tak tahu, sehingga terjadi seperti sekarang," urainya.

Berdasarkan penelitian LP3ES saat proses perubahan UU KPK dilakukan, lembaga Kepolisian melakukan pengoordinasian terhadap para pendengung (buzzer) untuk melawan wacana demonstran yang menolak perubahan regulasi itu.

Sponsored

Temuan ini kemudian dikonfirmasi riset Indonesia Corruption Watch (ICW), di mana pemerintah menggunakan jasa pendengung sejak 2014-2020 dengan anggaran Rp1,24 triliun. Tujuannya, menggalang opini publik terkait kebijakan eksekutif.

"Pada waktu proses perubahan amandemen undang-undang itu, buzzer pemerintah, terutama datang dari kantor polisi, yakni ada buzzer yang kontra dengan demo mahasiswa itu datang dari kantor polisi. Itu (hasil) riset LP3ES dan sekarang terbukti dengan temuan ICW menyatakan, bahwa ada Rp1,2 triliun untuk dipakai buzzer," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid