LP3ES: Pemerintah cenderung tutup telinga sikapi kritik
Kritik bukan dibungkam dengan kekerasan, tetapi dibiarkan.
Direktur CESDA Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Herlambang P Wiratman menilai pemerintah cenderung tutup telinga terhadap kritik warga sipil.
"Kecenderungannya adalah tutup telinga, bahwa pemerintahan tidak terima kritik bukan silenting, ditutupi, dapat kekerasan, atau dikriminalkan, tidak. Tetapi dibiarkan saja," ujarnya dalam webinar bertajuk "Kritik di Negara Demokrasi," disiarkan secara virtual, Senin (1/3).
Wiratman mencontohkan, ketika ada gejolak kritik dari warga sipil mulai dari penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), peringatan penanganan pandemi Covid-19 dari epidemiolog, hingga penolakan pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja, sikap pemerintah terkesan mengabaikan kritik publik.
"Jadi ada fenomena baru, kritik bukan dibungkam dengan kekerasan, ancamanan penjara, tetapi dibiarkan. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Bahkan bisa dibilang kombinasi antara pembungkaman dan pembiaran, yang kita tahu secara eksplisit pemerintah sekarang," tutur dia.
Menurutnya, sikap pemerintah tersebut tegak lurus dengan persoalan demokrasi dalam negeri, yakni dalam cengkraman oligarki.
"Jadi demokrasi yang saya maksud ialah, ketika kelembagaaan demokrasi yang dikendalikan oleh kuasa oligarki, yang dia memanfaatkan sistem politik kartel dalam representasi politik pemilu. Kemudian kritik bergeser kemana sekedar aksesoris," tuturnya.
Tak hanya itu, sikap pemerintah juga dinilainya terkesan sensitif dalam menanggapi kritik. Menurutnya, hal itu dilatari karena masih adanya karakter otoritarianisme Orde Baru.
"Sehingga model pembungkaman kritik dengan pemenjaraan atau bahkan dengan kekerasan sebagaimana kita tahu di beberapa kasus, mengkritisi tambang misalnya, dan korupsi adalah dua isu yang bahaya dalam kemukakan kritik," kata Wiratman.