sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Makam Bung Karno dan kuasa Orde Baru

49 tahun lalu, Sukarno wafat. Ia dimakamkan di Blitar atas perintah penguasa Orde Baru, Soeharto.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Jumat, 21 Jun 2019 10:00 WIB
Makam Bung Karno dan kuasa Orde Baru

Blitar, kota kecil seluas 32,58 kilometer persegi di Jawa Timur sangat identik dengan sosok proklamator kemerdekaan sekaligus presiden pertama Indonesia, Sukarno. Di kota ini, terdapat rumah orang tua Sukarno. Rumah ini kemudian dikenal oleh para pelancong sebagai Istana Gebang.

Menurut Sukarno dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966) yang ditulis Cindy Adams, ayahnya Raden Soekemi Sosrodihardjo yang berprofesi sebagai guru dipindah tugaskan ke Blitar pada 1917. Saat itu, Sukarno tengah menempuh pendidikan di Hogere Burger School (HBS) Surabaya, dan tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Selain itu, ada perpustakaan dan Museum Bung Karno. Sukarno pun dimakamkan di kota terkecil nomor tujuh di Indonesia ini. Makam tersebut berada satu kompleks dengan perpustakaan dan museum di daerah Bendogerit, Sananwetan, Kota Blitar.

Mengapa Blitar?

Pemakaman Sukarno yang bersebelahan dengan makam ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai di Blitar, Jawa Timur, nyaris setiap hari dipenuhi peziarah dari berbagai kota. Mereka merapal doa, yang lainnya menabur bunga. Tanah di makam itu seolah-olah seperti masih baru. Dipenuhi bunga dan basah. Bung Karno memang selalu punya cerita. Termasuk terkait makamnya.

Majalah Varia edisi 8 Juli 1970 menyebut, Bung Karno meninggal dalam status tahanan dan diasingkan selama beberapa tahun. Ia dilarang melakukan kegiatan politik berdasarkan keputusan Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967.

“Bung Karno dituduh terlibat dalam kudeta yang dilancarkan PKI dengan G30S-nya di tahun 1965, dan sempat beberapa kali menjalani pemeriksaan sebelum sakit parah,” tulis majalah Varia edisi 8 Juli 1970.

Padahal, hingga wafat, Sukarno tak terbukti melakukan kudeta dan terlibat G30S. Tidak terbuktinya keterlibatan Sukarno pun diakui Soeharto di dalam buku otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).

Dipilihnya Blitar sebagai tempat peristirahatan Bung Karno, menurut Asvi Warman Adam dalam buku Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? (2010), berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1970 tanggal 21 Juni 1970.

Upacara pemakaman Bung Karno. /Varia, 20 Juli 1970.

Soeharto menjelaskan keputusannya memakamkan proklamator kemerdekaan Indonesia itu dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH.

Tampaknya, presiden yang baru berkuasa dua tahun tersebut sedikit ketar-ketir juga menentukan di mana Putra Sang Fajar dimakamkan. Usai mendengar kabar Sukarno wafat pada 21 Juni 1970, ia mengumpulkan para pemimpin partai.

Asvi Warman Adam dalam buku Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? memandang, dengan dikumpulkannya para pemimpin partai itu menandakan urusan pemakaman Bung Karno merupakan masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakanan tersebut, tulis Asvi, tak ditentukan keluarga, tetapi melalui pertimbangan elite politik.

“Kemudian timbul masalah, di mana pemakaman itu harus dilakukan? Kami ingat akan wasiatnya. Kami ingat permintaan almarhum semasa hidupnya, jenazahnya hendaknya dimakamkan di suatu tempat di mana rakyat dapat datang seperti dipesankan kepada Dewi (Ratna Sari Dewi). Pesannya kepada Hartini pun begitu,” kata Soeharto dalam buku otobiografinya.

Lantas, menurut Soeharto, keluarga yang lain memiliki pandangan berbeda. “Andaikata kita serahkan kepada keluarga besar yang ditinggalkannya, maka saya melihatnya bakal repot,” ujar Soeharto.

Soeharto berkilah, dipilihnya Blitar sebagai tempat peristirahatan terakhir Bung Karno karena ia sangat mencintai dan menghormati ibunya. Bila Sukarno ingin pergi jauh, kata Soeharto, ia selalu minta doa restu dan sungkem kepada ibunya.

“Melihat kebiasaan Bung Karno, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau Bung Karno dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar. Inilah alasan saya dan keputusan saya berkenaan dengan pemakaman proklamator kita itu,” ucap Soeharto.

Soeharto mengakui, dari pihak keluarga ada yang protes. Namun, ia tak menghiraukan.

“Kalau saya turuti keinginan mereka, saya pikir, takkan ada penyelesaian. Maka saya ambil oper seperti demikian. Soal nanti, terserah. Yang jelas kemudian segalanya berjalan dengan baik,” tutur Soeharto.

Pemugaran makam

Delapan tahun setelah Sukarno dimakamkan, pemerintah Orde Baru merenovasi pusaranya. Tepatnya pada 24 Januari 1978, Menteri Penerangan Ali Murtopo menyatakan rencana renovasi tersebut sebagai keputusan Soeharto.

Majalah Sonata edisi medio Juli 1978 di dalam artikel “Pemugaran Makam Bung Karno” melaporkan, peresmian pemugaran dilakukan pada 21 Juni 1978. Peletakan batu pertama dilakukan Wakil Gubernur Jawa Timur Yatim M Soegijono, anggota Musyawarah Pimpinan Desa Tingkat I Jawa Timur, dan keluarganya di Blitar.

Sonata menulis cukup tendensius, menyerang istri-istri Bung Karno yang tak hadir. “Kecuali Isnaeni yang Ketua DPR/MPR dari PDI itu, tak seorangpun ikut hadir dalam acara itu. Demikian pula tak tampak seorangpun bekas istri-istri resmi beliau maupun putra-putranya hadir,” tulis majalah Sonata edisi medio Juli 1978.

Sonata menulis suasana di lokasi dekat pemugaran makam Bung Karno. Menurut majalah ini, lorong sepanjang 500 meter di kiri dan kanan Jalan Sultan Agung, dipadati massa. Mereka datang ke Blitar sejak hari-hari sebelumnya dari berbagai kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali.

“Sepanjang jalan berderet-deret orang menjual buku-buku tentang Bung Karno, kaus-kaus bergambar Bung Karno, foto-foto dalam bentuk besar, dan lain-lain,” tulis majalah Sonata.

Digelar pula beragam acara di rumah Soekarmini Wardoyo—kakak Bung Karno, ahli waris Istana Gebang—yang letaknya tak jauh dari lokasi pemakaman, seperti pemutaran film dokumenter tentang Bung Karno, gamelan, dan tari-tarian.

Peletakan batu pertama saat pemugaran makam Bung Karno di Blitar. /Sonata, medio Juli 1978.

Sebelumnya, makam Bung Karno satu kompleks dengan Taman Makam Pahlawan Karang Mulyo. Namun, beberapa waktu kemudian, makam-makam di sana dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Raden Wijaya.

Makam Sukarno yang sudah direnovasi lantas diresmikan Soeharto pada 21 Juni 1979—tepat pada peringatan sembilan tahun meninggalnya Sukarno.

Makam yang diresmikan berupa sebuah cungkup atap limasan bersusun tiga yang ditopang empat kolom yang menaungi pusara berlapis marmer, persis seperti yang bisa dilihat sekarang.

Momentum pemugaran makam Bung Karno ternyata membangkitkan romantisme kepada Sang Putra Fajar di masyarakat.

“Berbagai publikasi mengenai Sukarno muncul dan kembali menempatkannya sebagai figur yang dikultuskan banyak orang,” tulis Setiadi Sopandi dalam buku Friedrich Silaban (2017).

Setiadi menulis, beberapa publikasi akhirnya dilarang pemerintah Orde Baru. Akan tetapi, citra Sukarno sebagai proklamator, presiden, pemimpin, pahlawan, dan patron seni dan budaya tak terbendung.

Setiadi menyebut, setelah itu muncul berbagai acara, mulai dari pementasan, pameran, dan peringatan terkait Sukarno. Pada 1 Juni 1978 kembali dirayakan sebagai hari lahir Pancasila, hari di mana Bung Karno menggagas dasar negara.

Pada 20 Agustus 1979, dihelat pameran seni koleksi Sukarno di Taman Islam Marzuki. “Di luar dugaan, pameran itu mendatangkan 146.713 orang dalam penyelenggaraan selama dua pekan,” tulis Setiadi.

Menafikan Bogor

Zaenuddin HM di dalam bukunya Kisah-Kisah Edan Seputar Djakarta Tempo Doeloe (2015) menyinggung wacana pemindahan makam Bung Karno dari Blitar ke area Monumen Nasional (Monas). Rencana itu dimunculkan oleh salah seorang anak Bung Karno, Sukmawati.

“Sudah sewajarnya Monumen Nasional untuk tempat peristirahatan terakhir bagi seorang tokoh pemersatu bangsa dari ribuan pulau di kawasan Asia Tenggara ini,” kata Sukmawati kepada Warsito Wahono, orang dekat keluarga Bung Karno, seperti dikutip dari buku karya Zaenuddin HM.

Namun, informasi itu menguap. Tak jelas lagi kabarnya. Satu kota lagi yang paling santer disinggung menjadi lokasi pemakaman Bung Karno ialah Bogor.

Pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sempat beredar wacana memindahkan pemakaman Bung Karno ke Bogor. Hal itu ditandai dengan penyerahan sertifikat istana kepada keluarga mantan presiden pertama Indonesia Sukarno oleh Gus Dur, usai peringatan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2000.

Wacana memakamkan jenazah Bung Karno di Bogor memang terdengar ketika ia wafat. Meski tak menyebut detail lokasinya, Sukarno pernah menyebut di mana ia akan dimakamkan saat wawancara dengan wartawan asal Amerika Serikat Cindy Adams pada 1966.

“Di bawah pohon besar. Di bawah batu besar. Di bawah batu nisan. Di batu nisan, mereka tidak boleh menulis ‘di sini terbaring yang terhormat yang teragung Presiden Sukarno’. Bukan itu. Cukup ditulis ‘di sini terbaring Bung Karno, bagian dari rakyat Indonesia’,” kata Bung Karno.

Makam Bung Karno di Blitar dipenuhi para peziarah. Alinea.id/Fandy Hutari.

Masagung—pendiri Toko Buku Gunung Agung yang sangat dekat dengan Bung Karno—dalam buku Wasiat Bung Karno (1998) mengungkap, sebetulnya Sukarno sudah menulis wasiat kepada Hartini pada 16 September 1964 dan 24 Mei 1965, serta Ratna Sari Dewi pada 20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962.

Di dalam salah satu wasiatnya, dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor. Selain Kebun Raya Bogor, Istana Batutulis juga sempat jadi perbincangan sebagai lokasi pemakaman Bung Karno.

Menurut FX Puniman di dalam tulisannya “Mengingat Bung Karno di Batutulis” di buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010), Bung Karno pun pernah berwasiat agar dimakamkan di rumah peristirahatannya di Istana Batutulis atau Hing Puri Bima Sakti.

Istana Batutulis selesai dibangun pada 1963. Lahan itu dibeli dari seorang Belanda. Istana Batutulis dipayungi pepohonan yang rimbun.

Selain tempat peristirahatan Bung Karno sewaktu masih menjadi presiden, Istana Batutulis juga tempat pengasingannya sebagai tahanan rumah pada 1968.

“Selama setahun di sini, kesehatannya menurun. Bung Karno kemudian diizinkan pindah ke Wisma Yaso di Jakarta hingga wafat pada 21 Juni 1970,” tulis Puniman.

Faktanya, penguasa Orde Baru tak memakamkan Sukarno di Bogor. Mereka takut pemakaman Bung Karno menjadi lokasi ziarah yang populer bagi rakyat, dan dekat dengan pusat pemerintahan, Jakarta.

Hingga kini, Bung Karno tetap beristirahat dengan tenang di Blitar. Di sebelah ibunya yang ia cintai.

Berita Lainnya
×
tekid