sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Cerita ibu melahirkan di tengah pandemi: Cemas dan waswas

Perjuangan ibu melahirkan di saat pandemi Covid-19 ternyata tidak main-main.

Eka Setiyaningsih
Eka Setiyaningsih Kamis, 31 Des 2020 22:04 WIB
Cerita ibu melahirkan di tengah pandemi: Cemas dan waswas

Perjuangan ibu melahirkan di saat pandemi coronavirus jenis baru atau Covid-19 ternyata tidak main-main. Hal ini dirasakan Rahma (25).

Kontrol kehamilan di salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 membuatnya waswas. Sempat tidak konsultasi selama satu bulan karena takut terjadi penularan Covid-19.

Tak ingin mengambil risiko, ia kemudian mencari rumah sakit dan klinik khusus ibu dan anak yang aman untuk bersalin. Namun ia dihadapkan dengan keadaan lain karena hasil kontrolnya kurang baik.

"Tensi tinggi, padahal saya enggak ada riwayat darah tinggi," ujar Rahma saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (22/12).

Pada trimester dua, tepatnya Juni, Rahma pun harus dirawat di salah satu rumah sakit swasta dekat rumahnya, Pamulang, Tangerang Selatan. Ia mengaku cukup waswas karena harus rawat inap selama satu minggu.

"Seminggu di-observasi sama dokter penyakit dalam, ternyata ada tanda-tanda preeklampsia. Saya dan suami langsung sedih," ujarnya.

Preeklampsia adalah komplikasi pada kehamilan usia 20 minggu yang ditandai dengan tingginya tekanan darah, meski ibu tidak memiliki riwayat hipertensi. Kondisi ini diikuti munculnya tanda kerusakan organ, seperti kerusakan pada ginjal yang disebabkan karena proteinuria atau kadar protein tinggi pada urine, serta pembengkakan pada bagian tangan dan kaki.

Untuk itu, saat usia kanduangan Rahma delapan bulan, ia dan suami pun harus mendapatkan kabar buruk lain. Bayi yang ada di dalam kandungannya harus segera dikeluarkan melalui operasi atau persalinan caesar.

Sponsored

"Dokter bilang tindakan itu harus segera dilakukan untuk menyelamatkan bayi saya dan diri saya sendiri," kata Rahma.

Untuk itu, Rahma dan suami dirujuk ke rumah sakit yang memiliki ruang NICU atau neonatal intensive care unit. Ruang NICU adalah ruang perawatan intensif di rumah sakit yang disediakan khusus untuk bayi baru lahir yang mengalami gangguan kesehatan.

Sempat mendapat penolakan di beberapa rumah sakit, akhirnya ia mendapat perawatan di  RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) yang memiliki fasilitas NICU.

Setelah melakukan proses administrasi, perawatan awal, dan infus, Rahma harus melakukan tes rapid. Rahma pun terkejut karena hasil tes tersebut reaktif.

"Sepertinya saya reaktif karena lagi kurang enak badan, diare. Tapi saya yakin kalau saya ini sehat, enggak positif," ujarnya.

Lantaran hasil tes rapidnya reaktif, Rahma harus melakukan tes swab. Sebelum melakukan tes swab, dia mengatakan bahwa suaminya dipanggil terlebih dahulu oleh dokter untuk melakukan penandatanganan dokumen perjanjian Covid-19.

"Saya enggak tahu perjanjiannya seperti apa, tapi saya lihat suami menangis," ucap Rahma.

Belum juga hasil tes swab keluar, Rahma harus melakukan tindakan operasi dengan segera karena kondisi jantung bayi yang lemah. Namun, lagi-lagi Rahma harus mendapat tindakan khusus dari pihak rumah sakit karena dirinya reaktif.

"Dari IGD ke ruang operasi, saya dibawa dengan tempat tidur yang seperti keranda jenazah. Bedanya, tempat tidur ini plastik bening penutupnya. Mau enggak mau, saya enggak bisa menolak," kata Rahma.

Sesampainya di ruang operasi, Rahma langsung  ditangani oleh dokter yang mengenakan alat pelindung diri (APD). Persalinan secara caesar pun berjalan lancar. Sayang seribu sayang, Rahma tidak bisa langsung melihat dan menggendong bayinya.

"Setelah melahirkan, anakku langsung dibawa ke ruang NICU dan saya dibawa ke ruang isolasi lagi. Saya masuk dalam kategori pasien dalam pengawasan (PDP) atau suspek. Sedih banget," katanya.

Rahma menceritakan dirinya harus makan, minum, dan ke toilet sendiri setelah operasi tersebut. Setelah satu malam berada di ruang isolasi suspek, ia dipindahkan ke ruang isolasi orang dalam pengawasan (ODP) atau kontak erat.

"Jadi dokter bilang hasil swabnya sudah keluar, saya dinyatakan negatif. Saya dipindahin deh dari ruang isolasi itu ke ruang rawat inap setelah melahirkan," jelasnya.

Meski telah berpindah ke ruang rawat inap, ia belum bisa bertemu dengan buah hatinya. Rahma berusaha untuk cepat pulih agar bisa kembali ke rumah dan segera bertemu dengan anaknya di ruang NICU. 

"Alhamdulillah setelah lima hari saya bisa ketemu anak saya. Saya mungkin enggak bisa sekuat ini kalau enggak ada orang-orang di sekeliling saya yang menyayangi dan memberikan dukungan, terutama suami," kata Rahma.

Berbeda dengan Rahma, calon ibu yang satu ini lebih memilih rumah bidan untuk melakukan persalinannya. Saat mengetahui kalau positif hamil pada Januari 2020, ia segera melakukan konsultasi ke bidan dekat rumahnya di Bogor, Jawa Barat. 

"Konsultasi, ditanya-tanya sama bidan. Tapi enggak USG seperti di rumah sakit," kata Putri.

Putri mengaku khawatir jika melakukan konsultasi di rumah sakit mengingat kondisi pandemi Covid-19 yang belum mereda.

"Lebih berani ke bidan karena persentase bakal tertularnya lebih kecil dibandingkan jika ke rumah sakit. Di rumah sakit pasti lebih banyak orang dan pasien, kalau di bidan kan hanya sedikit," ujarnya.

Namun, lanjut Putri, meski persalinannya dilakukan di rumah bidan, protokol kesehatan terus diterapkan dengan ketat seperti menjaga jarak, mencuci tangan, dan memakai masker. "Kecuali pas lagi melahirkan ya," katanya sembari ketawa.

"Alhamdulillah persalinan lancar tanpa harus melakukan tes rapid atau swab," jelasnya.

Berita Lainnya
×
tekid