sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menakar efektivitas PSBB Jakarta jilid II

Jakarta kembali memberlakukan PSBB. Sempat menuai polemik saat dilontarkan. Bagaimana efektivitasnya menekan laju penularan Covid-19?

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Kamis, 17 Sep 2020 14:32 WIB
Menakar efektivitas PSBB Jakarta jilid II

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menerapkan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama dua pekan per 14 September 2020. Sebelumnya dilakukan selama 105 hari, 10 April-4 Juni.

Tahap pertama ditekankan pada upaya minimalisasi penyebaran coronavirus baru (Covid-19), kali ini dengan dalih mencegah rumah sakit (RS) rujukan kolaps. Meski demikian, pengetatan aktivitas yang terjadi kini lebih longgar.

Sekarang ojek daring (online) diperkenankan mengangkut penumpang dengan penerapan protokol kesehatan; sektor nonesensial di luar zona merah (risiko tinggi) diperbolehkan beroperasi dengan pembatasan 25% pegawai dari kapasitas yang diizinkan bekerja di kantor; kegiatan keagamaan ataupun tempat ibadah di luar zona merah diizinkan dengan limit 50% dari kapasitas; mal diperkenankan buka dengan batasan pengunjung 50% dari kapasitas; serta bebas keluar-masuk Ibu Kota tanpa harus dilengkapi dokumen tertentu.

Di sisi lain, pemprov memperketat strategi menekan penyebaran Covid-19 dengan memperluas jangkauan pelacakan kontak (contact tracing); menyediakan fasilitas swakarantina; pengenaan sanksi progresif terhadap pelanggar protokol; dan menutup gedung perkantoran yang terdapat kasus terkonfirmasi selama 3x24 jam. Ketentuan PSBB kali ini dan penegakan protokol kesehatan diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 88 Tahun 2020 dan Pergub Nomor 79 Tahun 2020.

Menurut inisiator sehatdirumah.com, Jonathan Raditya, efektivitas PSBB II Jakarta menekan laju penularan Covid-19 kecil karena penyebaran dan peningkatan kasus sudah terjadi mayoritas pada 26 Agustus-3 September. Kini hanya tersisa efek dominonya.

Sedangkan pembatasan sosial, sambungnya, "Hanya efektif pada tingkat penularan yang masih terkendali dengan penetrasi yang rendah di tingkat masyarakat."

Dirinya lantas memaparkan kecepatan pertumbuhan kasus harian Covid-19 tanggal 16 Agustus-12 September. Pada 16 Agustus, kecepatan pertumbuhan sebesar 1,79% dan menjadi 2,08% pada 21 Agustus.

Sempat melambat di kisaran 1,82%-1,89% pada 22-25 Agustus. Sehari berselang melonjak menjadi 2,05% dan 30 Agustus mencapai 2,88%. Beberapa hari kemudian sedikit melambat sekitar 2,25%-2,69%. Kecepatan kembali meningkat ke 3,23% pada 3 September.

Sponsored

Lalu melambat selama dua hari, 4-5 September rentang 1,98%-2,03%. Pada 6-7 September meroket lagi menjadi 2,26%-2,6%. Hari-hari berikutnya hingga 12 September kecepatan pertumbuhan kasus harian di kisaran 1,9%-5,8%.

Berdasarkan data tersebut, terang Jonathan saat dihubungi Alinea.id, beberapa waktu lalu, melonjaknya jumlah kasus harian pada 26 Agustus dan 3 September tidak lepas dari kegiatan saat libur, 17 dan 26 Agustus.

"(Saat libur) banyak orang yang berpergian dan kemungkinan besar meningkatkan risiko penularan akibat interaksi yang tidak biasa," jelasnya. Efeknya terasa beberapa hari kemudian mengingat masa infeksi SARS-CoV-2 sekitar 7-14 hari.

Dia pun meminta Pemprov Jakarta mewaspadai meningkatnya penularan secara signifikan saat libur nasional, 28-30 Oktober mendatang. "Ini bisa jadi momentum yang besar untuk terjadinya lonjakan kasus yang ekstrem kalau tidak dimitigasi dengan baik," tegasnya.

Untuk sekarang, dirinya berpendapat, Pemprov Jakarta sebaiknya fokus melakukan ekstensi fasilitas kesehatan (faskes) mengingat kapasitas yang tersedia dan beban RS diestimasi tertinggi di Indonesia. Nilainya 94,25% dan tersisa 1.389 dari total 24.171 tempat tidur (TT) untuk semua jenis, baik RS rujukan ataupun non-Covid-19, pada 12 September.

"Ekstensi ini masih memungkinkan karena meninjau estimasi beban dokter yang masih cukup mampu di angka 1,01 dokter/pasien, urutan 31 dari 34 provinsi," paparnya. Penambahan itu utamanya harus layanan bagi pasien bergejala sedang hingga berat atau kritis, seperti Ruang ICU dan penyediaan peralatan medis pendukung macam ventilator.

"Yang jelas, beban RS di Jakarta sudah terlalu tinggi dan pemerintah mengambil langkah untuk menyelamatkan fasilitas kesehatan meskipun sudah terlambat karena kenaikan kasus sudah terjadi dua minggu sebelumnya," imbuhnya.

Diharapkan ekstensi TT mampu membuat beban RS sedikitnya di kisaran 60%-80% dalam sebulan terakhir. Angka tersebut sesuai standar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tentang rasio keterisian TT (bed occupancy ratio).

Jonathan juga menyarankan peningkatan kapasitan pelacakan kontak. Merujuk Kawal Covid-19, setidaknya 30 orang per kasus.

Di lain hal, sempat terjadi polemik antara Pemprov Jakarta dengan pemerintah pusat, khususnya Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KC-PEN), Airlangga Hartarto, menyangkut rencana PSBB II Jakarta.

Pada kesempatan terpisah, pengamat kebijakan publik Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Ade Reza Hariyadi, menilai, kontroversi mencuat lantaran minimnya keterbukaan dan koordinasi menyangkut pelaksanaan PSBB transisi Jakarta, 5 Juni-13 September (100 hari).

"Semestinya perlu evaluasi yang komprehensif dan objektif terhadap pelaksanaan PSBB yang dibuka kepada publik secara transparan. Ini tidak hanya untuk memperoleh gambaran utuh tentang kinerja Pemprov DKI Jakarta, tetapi juga sekaligus peranan daerah penyangga; pemerintah pusat; dan keterlibatan multistakeholder, termasuk masyarakat dalam pelaksanaan PSBB," urainya kepada Alinea.id.

Kedua, PSBB tidak lagi menjadi upaya penanganan kesehatan masyarakat. Namun, telah mengalami komodifikasi multivariabel, terutama persaingan kewenangan dan kepentingan politik antara pusat dan daerah, kepentingan antardaerah, kepentingan ekonomi, serta kelompok dalam masyarakat.

Reza mengakui, Pemprov Jakarta berwenang menerapkan PSBB. Meski demikian, juga berfungsi sebagai Ibu Kota dan berhubungan erat secara sosial dan ekonomi dengan daerah penyangga, macam Jawa Barat (Jabar) dan Banten.

"Mengingat penerapan PSBB secara total akan berdampak luas, mestinya semua pihak perlu dilibatkan dalam mengambil keputusan," ucapnya.

Mengenai banyaknya pelonggaran aktivitas saat PSBB II, dirinya memakluminya. Ini dapat diprediksi karena tantangan serupa terjadi pada tahap pertama, di mana Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengizinkan 1.056 perusahaan nonesensial beroperasi dan penerbitannya tanpa melibatkan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi (Disnakertrans), dan Energi Jakarta.

Tak sekadar itu. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sempat menolak usulan beberapa kepada daerah tentang penyetopan operasional kereta rel listrik (KRL) saat PSBB di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) diterapkan pada April-Juni silam.

Karenanya, Reza menyatakan, "Suasana 'panas' hanya terjadi dalam isu kebijakan saja. Namun, realisasinya terkesan setengah hati."

Jika pemerintah serius menekan penularan wabah melalui PSBB, sepatutnya konsisten dan siap menghadapi risiko sosial ekonomi. Pangkalnya, pelaksanaan opsi karantina kesehatan tersebut harus berlandaskan pada mitigasi sektor kesehatan.

"Infrastruktur publik mesti disiapkan untuk dikonversi menjadi RS darurat, membentuk Satgas Kesehatan di wilayah berisiko tinggi, mengefektifkan mekanisme pelacakan dan pengawasan sosial, serta merealokasi anggaran sektor nonesensial menjadi bantuan sosial bagi warga terdampak. Langkah ini akan efektif jika penerapan PSBB disertai program yang terukur serta konsisten dan disampaikan secara transparan kepada publik," tuturnya.

"Kerja sama antar-stakeholder menjadi sangat penting. Sindrom 'Superman' hanya akan menyebabkan disharmonisasi dan menghambat sinergi dalam penanganan wabah," tandas Reza.

Berita Lainnya
×
tekid