sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menakar keseriusan Indonesia melawan wabah coronavirus

Pascadua hari pengumuman kasus pertama coronavirus di Indonesia, pemerintah menyusun protokol penanganan kasus penularan virus itu.

Robertus Rony Setiawan
Robertus Rony Setiawan Jumat, 06 Mar 2020 13:16 WIB
Menakar keseriusan Indonesia melawan wabah coronavirus

Sore itu, di ruang tunggu kedatangan terminal 2F Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Riesman Chanya tengah menunggu taksi pesanannya. Bersama seorang saudaranya, warga negara Malaysia ini tiba di bandara pukul 17.30 WIB.

“Saya hanya jalan-jalan saja,” katanya saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (4/3).

Meski wabah novel coronavirus atau Covid-19 tengah menghantui warga dunia, Riesman tak khawatir bepergian ke negara lain.

Namun, ia melihat ada perbedaan penjagaan untuk mencegah penularan coronavirus di pintu masuk internasional negaranya dan Indonesia. Ia mengatakan, di Bandara Internasional Kuala Lumpur, ada thermal scanner untuk mengecek setiap orang yang tiba di Negeri Jiran.

“Di sini sedikit saja (thermal scanner),” ujarnya.

Di sisi lain, sejak Senin (2/3), untuk mengantisipasi persebaran penularan coronavirus, di stasiun kereta layang Bandara Soekarno-Hatta, pihak Angkasa Pura II menyediakan cairan antiseptik pembersih tangan dan tisu basah untuk publik.

Menurut petugas pelayanan di stasiun, Ima, sarana itu bertujuan sebagai upaya pencegahan bagi calon penumpang kereta. Selain di stasiun kereta ini, kata Ima, fasilitas itu juga tersedia di empat stasiun kereta lainnya di Jakarta, seperti Stasiun Manggarai, Duri, Batu Ceper, dan Sudirman Baru.

Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) bidang politik dan kesehatan, Syahrizal Syarif mendukung cairan antiseptik disediakan di ruang publik. Ia menilai cairan antiseptik dan disinfektan, efektif digunakan untuk mencegah kemungkinan tertular coronavirus.

Sponsored

“Antiseptik perlu dipakai saat akan bersalaman karena efektif untuk membunuh bakteri. Kalau bakteri saja mati, apalagi virus,” ucap Syahrizal di Jakarta, Selasa (3/3).

Syahrizal pun menyarankan pemakaian masker saat warga bepergian keluar rumah. Selain itu, ia mengingatkan pentingnya kebiasaan mencuci tangan sesudah bepergian.

Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas 1 Bandara Soetta melakukan pemeriksaan suhu tubuh penumpang pesawat yang tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (3/3/2020). Foto Antara/Muhammad Iqbal.

Segala usaha pemerintah

Pascadua hari pengumuman kasus pertama coronavirus di Indonesia, pemerintah menyusun protokol penanganan kasus penularan virus itu. Protokol pertama, penanganan kasus coronavirus dari orang dalam pemantauan hingga sehat kembali.

Kedua, membentuk protokol penanganan semua orang yang masuk dari luar negeri di beberapa pintu perbatasan. Ketiga, menyusun protokol komunikasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Keempat, membuat protokol pendidikan yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Menurut juru bicara untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, langkah strategis yang sedang diupayakan pemerintah adalah melakukan penelusuran kontak orang-orang yang berhubungan dengan dua pasien positif coronavirus.

Langkah penelusuran kontak ini dilaksanakan dengan melibatkan aparatur pemerintah daerah, selain DKI Jakarta. Meski begitu, Achmad mengatakan, pemerintah belum mengambil kebijakan isolasi sosial di satu wilayah tertentu. Hanya sebatas isolasi fisik.

“Soal isolasi sosial ini harus memerhatikan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Wilayah,” ucapnya di Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Jakarta, Selasa (3/3).

Achmad mengungkapkan, dari hasil rapat bersama presiden di Kantor Staf Presiden (KSP) pada Senin (2/3), disepakati tak akan dibentuk organisasi khusus. Koordinasi akan diperkuat dengan menjalankan kerja sama antarlembaga, mengacu Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019.

“Terlalu banyak struktur nanti bikin ‘mabuk’. Jalankan saja Inpres No 4 tahun 2019, begitu kata Pak Jokowi,” kata Achmad.

Achmad pun menegaskan, pemerintah siaga dalam menyediakan pelayanan medis yang memenuhi standar penanganan pasien coronavirus. Ia menyebut, di seluruh Indonesia ada 137 rumah sakit rujukan untuk pasien coronavirus.

Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo mengatakan, pihaknya menjadi pendukung utama kondisi darurat bencana nonalam.

Menurut dia, sebagaimana dalam kondisi tanggap darurat, BNPB menjalankan peran untuk menyediakan anggaran pendanaan operasional. Pengeluaran utama untuk penanganan coronavirus, kata dia, menggunakan anggaran dana dari BNPB.

Pendanaan dari BNPB ini, ungkap Agus, mencakup sejumlah pokok kebutuhan, seperti biaya pemulangan warga negara Indonesia dari negara pusat penularan coronavirus, observasi, dan penanganan pasien.

“Termasuk biaya sewa pesawat, kapal, pembayaran terhadap jasa orang, dan logistiknya seluruhnya dari penerintah,” ujar Agus saat dihubungi, Rabu (4/3).

Mengacu rapat koordinasi pekan lalu, Agus menuturkan, tanggung jawab penggunaan dana penanganan coronavirus kemudian dialihkan kepada pusat krisis kesehatan di bawah Kemenkes.

Di samping itu, Agus menerangkan, pihaknya melibatkan relawan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk gerakan akar rumput menangkal coronavirus. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan Save the Children merupakan dua di antaranya.

“Kita ajak komponen masyarakat luas untuk menggalang percepatan upaya pencegahan. Nantinya, setiap LSM ini akan melakukan gerakan sosialisasi ke masyarakat,” kata dia.

Dihubungi terpisah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes, Siswanto, mengatakan langkah deteksi akan lebih digiatkan.

“Mendeteksi pasien dalam pengawasan,” kata Siswanto saat dihubungi, Rabu (4/3).

Siswanto menjelaskan, ada tiga terminologi status, yakni orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan suspect. Orang dalam pemantauan adalah mereka yang berasal dari negara lain, yang sudah terlapor kasus coronavirus.

Pasien dalam pengawasan ialah orang dalam pemantauan yang telah menunjukkan gejala flu sedang hingga berat, demam dengan suhu tubuh lebih dari 38 derajat Celsius, dan mengalami gangguan pernapasan. Sedangkan suspect adalah orang yang pernah melakukan kontak dengan orang lain yang sudah positif terinfeksi coronavirus.

Pemeriksaan terhadap pasien dalam pengawasan dijalani dengan pengecekan menyeluruh, termasuk pengambilan spesimen dari dinding belakang organ hidung dan ujung dalam organ mulut.

“Selain itu ditanyakan kepada yang bersangkutan, apakah pernah kontak dengan orang dengan Covid-19,” katanya.

Metode ini, kata Siswanto, bertujuan untuk mendapatkan spesimen kasus coronavirus yang lebih banyak. Harapannya, jumlah penderita coronavirus bisa diantisipasi agar tak bertambah banyak.

Siswanto pun sudah berkoordinasi dengan petugas medis di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan rumah sakit-rumah sakit untuk lebih memperkuat fungsi deteksi dan penanganan.

Petugas medis unit gawat darurat Melasari, menunjukkan ruang isolasi untuk pasien virus corona atau Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Slamet, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Selasa (3/3/2020). Foto Antara/Adeng Bustomi.

Kelemahan pemerintah

Terkait pengecekan di pintu kedatangan Bandara Soekarno-Hatta, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengkritiknya. Sebulan sebelum pengumuman dua warga Indonesia positif coronavirus, Agus baru tiba dari Selandia Baru.

Saat itu, ia mengaku sama sekali tidak mendapatkan penjelasan upaya pencegahan dari penularan coronavirus oleh petugas KKP di pintu kedatangan.

“Waktu itu tak ada pengecekan kesehatan, thermal scan tidak ada, juga tidak ada CCTV,” ucapnya saat dihubungi, Kamis (5/3).

Ketika itu, seperti penumpang lainnya, ia hanya dianjurkan mengisi formulir kartu kewaspadaan kesehatan oleh petugas KKP.

“Kita dengan mudah keluar dari pengecekan. Enggak jelas infomasinya. Kita mengisi formulir itu asal-asalan saja juga bisa, kok,” katanya.

Menurut dia, sehari setelah pengumuman dari pemerintah terkait dua warga Indonesia yang terjangkit coronavirus, baru petugas KKP lebih aktif menerapkan alat pemantauan suhu tubuh di Bandara Soekarno-Hatta.

Sementara itu, pengamat hubungan internasional Dinna Prapto Raharja menilai, pemerintah kurang tanggap dalam menangani wabah coronavirus. Langkah pemerintah yang tampak ingin membangun kepercayaan di hadapan publik nasional dan internasional, kata Dinna, tidak disertai langkah preventif yang terukur.

“Pemerintah ingin meredam kekhawatiran masyarakat, tetapi tidak ada pernyataan berbasis penelitian ilmiah, juga tidak ada petunjuk dini langkah-langkah preventif di tempat-tempat dan fasilitas publik,” kata Dinna saat dihubungi, Kamis (5/3).

“Petunjuk ini muncul baru belakangan.”

Selain itu, pemerintah juga dinilai tidak bersikap konkret dan aktif dalam mengantisipasi penyebaran coronavirus di dalam negeri. Pembentukan sejumlah pusat informasi yang dikelola pemerintah, seperti pusat informasi terpadu di bawah KSP dan pusat krisis kesehatan di bawah Kemenkes, juga dinilai sangat terlambat.

“Karena sebenarnya bisa dibuat lebih dini saat ingin menyelamatkan WNI yang ada di daratan China, khususnya di Wuhan,” ujarnya.

Dinna menengarai, kinerja aparat di sekitar Presiden Jokowi yang lamban berhulu dari mandeknya komunikasi antarlembaga dan kementerian. Akibatnya, kata dia, tidak terjalin dialog secara mendalam.

“Permasalahan ini lantas disikapi menjadi serba parsial, reaktif, dan tidak terukur,” kata dia.

Menurut Dinna, kinerja antarlembaga pemerintah yang tidak solid muncul akibat kultur kerja yang cenderung reaktif. Dinna membandingkan penganganan negara lainnya.

Calon penumpang Kereta Api (KA) membersihkan tangannya menggunakan hand sanitizer yang tersedia di Stasiun KA Madiun, Jawa Timur, Selasa (3/3/2020). Foto Antara/Siswowidodo.

Misalnya, di Singapura dan Malaysia, kata dia, pemerintahnya melarang warga untuk mengadakan pertemuan bisnis. Hal itu membuktikan, pemerintahnya punya kesadaran tinggi sebagai negara yang kerap dikunjungi orang-orang dari negara lain.

“Singapura dan Malaysia merupakan negara transit untuk berbagai kegiatan politik, ekonomi, dan sosial. Jadi, kalau tidak kelihatan serius, efeknya pasti akan lebih terasa langsung,” tuturnya.

Negara-negara di Afrika masih sedikit yang terpapar coronavirus. Baru ada enam negara yang mengonfirmasi ada warga tertular, yakni Aljazair, Mesir, Senegal, Maroko, Nigeria, dan Afrika Selatan.

Meski begitu, tak mengurangi kewaspadaan negara-negara Afrika lain yang belum melaporkan kasus coronavirus. Dinna mencontohkan, pemerintah Zimbabwe tetap mengarantina seorang warganya yang baru kembali dari China.

Walau sudah dinyatakan tak tertular coronavirus, upaya karantina tetap dilakukan demi mencegah penyebaran ke warga lainnya. Sebaliknya, Dinna menilai, Indonesia tak menunjukkan kebijakan yang tegas dan meyakinkan untuk melindungi warganya.

“Pemerintah harus mau mendengar masukan berbagai kalangan supaya perspektifnya tidak secara ekonomi saja dan tiba-tiba. Terlihat sekali karena kebijakan ekonomi tidak jalan, kebijakan beralih untuk bidang kesehatan, tetapi itu pun juga tidak utuh,” katanya.

Dinna menilai Indonesia tidak menunjukkan kebijakan yang tegas dan meyakinkan untuk melindungi keselamatan warga. Selain tidak tersedia informasi bagi publik secara jelas terkait penanganan, kebijakan yang diambil terasa setengah-setengah.

Menurut mantan Ketua Pelaksana Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (FBPI) Bayu Krisnamurthi, seharusnya seluruh komponen dan sumber daya bangsa yang memiliki kapabilitas dilibatkan bersama-sama. Ia menyarankan cara kerja FBPI pada 2006–2010 diterapkan kembali.

“Kita sangat mungkin dan sangat bisa untuk melakukan penguatan riset dan jejaring pakar-pakar dari berbagai universitas, tetapi tergantung niat dan keputusan pemerintah. Tentu pemerintah punya pertimbangannya sendiri,” ucapnya saat dihubungi, Jumat (6/3).

Apa yang perlu dilakukan?

Dosen magister bidang kesehatan masyarakat University of Derby, Inggris, Dono Widiatmoko mengatakan, penggunaan alat deteksi suhu tubuh diperlukan hanya untuk mendapatkan gambaran indikator awal seseorang berisiko terjangkit.

“Penerapan standar operasional dalam pengecekan di pintu masuk bandara harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Kekurangan pasti ada, tetapi SOP tidak boleh dijalankan dengan asal-asalan,” kata Dono ditemui di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/3).

Lebih lanjut, Dono menilai, perlu ada pencegahan penularan coronavirus tak hanya di pintu-pintu masuk bandara. Pencegahan mesti juga dilakukan di jalur laut, mengingat wilayah Indonesia yang berupa kepulauan.

“Kan banyak nelayan dari negara luar yang melintas di perairan Indonesia, seperti dari Hong Kong, Thailand, dan Taiwan,” tuturnya.

“Ini PR pemerintah juga agak kesulitan mengawasinya. Pemerintah juga belum bikin pengamanan di pintu-pintu masuk yang kecil.”

Di samping itu, bercermin dari Singapura, Dono melihat banyak hal yang bisa ditiru. Salah satunya, peningkatan standar kebersihan fasilitas di ruang publik. Menurut Dono, tempat-tempat umum seperti stasiun kereta api, stasiun moda raya transportasi (MRT), bandara, dan pelabuhan adalah lokasi yang rentan terjadi kontak penyebaran coronavirus.

Syahrizal Syarif menyarankan pemerintah untuk menjalankan kebijakan deteksi dan pencegahan, yang lebih meringankan bagi masyarakat. Dalam situasi publik yang sebagian sudah panik, kata dia, pemerintah wajib menjamin keselamatan warga.

“Pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah harus memberi perhatian serius dan maksimal. Jangan sampai ada penanganan tak benar,” kata Syahrizal.

Syahrizal mengusulkan agar pemerintah mengalokasikan anggaran khusus, yang bisa meringankan biaya pemeriksaan bagi warga yang ingin mengecek kesehatan, jika berpotensi terjangkit coronavirus.

Infografik coronavirus. Alinea.id/Wahyu Kurniawan.

Di sisi upaya deteksi, ia memandang, pemerintah harus fokus memberi perhatian pengobatan bagi orang-orang yang baru terjangkit. Perhatian itu bertujuan untuk memperbesar kesempatan bertahan hidup pasien hingga sembuh.

“Terhadap seseorang yang terjangkit, perlu ditangani serius, khususnya mencegah agar penyakit tersebut tidak tertular kepada orang lain,” ujarnya.

Di sisi lain, pengajar ilmu kesehatan masyarakat Universitas Indonesia (UI) Dien Anshari mengatakan, publik membutuhkan asupan informasi yang positif agar bisa menyikapi wabah coronavirus dengan tepat.

“Secara psikologis pasti ada kepanikan akan risiko tertular, maka penting untuk menyebarkan informasi yang akurat terkait coronavirus ini dan cara mengatasinya,” katanya saat dihubungi, Rabu (4/3).

Menurutnya, pesan positif bermanfaat dalam memotivasi dan menambah kepercayaan masyarakat agar mampu menghadapi situasi dan penyebaran virus. Ia juga memandang pentingnya kesadaran media massa dalam menyajikan informasi dari narasumber yang terpercaya, seperti pemerintah selaku pemegang kebijakan.

Selain itu, informasi detail perihal coronavirus dan penanganan bagi penderitanya juga sangat dibutuhkan, antara lain mekanisme penularan, cara pencegahan, dan upaya tindak lanjut bagi seseorang bila telah mengalami gejala terjangkit coronavirus.

“Perkembangan terkini tentang kasus coronavirus juga perlu, bukan malah menyebarkan informasi memperkeruh suasana,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid