sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menangkal ancaman paham radikal di kampus

Temuan Setara Institute, di antaranya mahasiswa di 10 PTN masih terpapar paham radikal maupun intoleransi.

Armidis
Armidis Rabu, 12 Jun 2019 21:06 WIB
Menangkal ancaman paham radikal di kampus

Toleransi dan sikap politik

Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan, benar ada tuntutan soal pengetahuan ritual keagamaan mahasiswa, yang hanya didapat melalui satu kelompok seperti LDK. Sedangkan organisasi sayap organisasi masyarakat lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) ataupun Muhammadiyah luput dari kegiatan keagamaan di kampus.

“Organisasi kemahasiswaan, seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), maupun IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) banyak aktif di ekstra kampus. Seharusnya mereka juga bisa menawarkan kajian Islam dengan basis pesantren,” tutur Yon ketika dihubungi, Rabu (12/6).

Meski demikian, Yon pernah melakukan penelitian yang hasilnya agak berbeda dengan temuan Setara Institute. Dikutip dari Antara edisi 26 November 2018, Yon bersama Nurwahidin, Kinta Erstuputri Herawan, dan Muhammad Akmal Farraz mengadakan riset melalui program pendabdian masyarakat untuk skema UI Peduli Kajian Strategis.

Penelitian yang dilakukan dengan menyebar kuesioner secara daring di kalangan mahasiswa di beberapa PTN di Jabodetabek, yakni UI, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan UIN Syarief Hidayatullah, pada Maret hingga November 2018 itu memiliki fokus utama tingkat toleransi di perguruan tinggi dan bagaimana pola asuh serta pendidikan agama berpengaruh terhadap toleransi di kalangan mahasiswa.

Riset tersebut menunjukkan, secara umum tingkat toleransi beragama di lingkungan kampus masih cukup tinggi.

"Dari sisi persepsi dengan batasan nilai minimal 4 dan maksimal 18, didapatkan hasil rata-rata nilai adalah 16,3. Sedangkan toleransi dalam aspek sikap dengan batasan nilai minimal 5 dan maksimal 18, didapatkan hasil bahwa rata-rata nilainya adalah 14,6," kata Yon, yang menjadi ketua tim penelitian, seperti dikutip dari Antara, Senin (26/11/2018).

Menanggapi hasil penelitian yang berbeda dengan temuan Setara Institute, Yon punya alasan. Menurut dia, terdapat cara pemotretan yang berbeda antara Setara dengan tim penelitian UI. Survei UI itu, kata Yon, mengukur empat indikator toleransi, yakni pandangan, sikap, perilaku, dan keinginan melakukan toleransi.

Selanjutnya, Yon mengatakan, sebatas sikap toleransi, hasil riset tim UI cukup baik memotret praktik toleransi di kalangan mahasiswa. Terutama pengakuan terhadap pemeluk agama lain.

Sponsored

Namun, toleransi kemudian berubah saat indikator yang diukur menyangkut sikap politik. “Contohnya pertanyaan, apakah Anda menerima pemimpin berbeda agama apabila dipilih secara demokratis? Itu tidak menerima jumlahnya lebih banyak,” tutur Yon.

Ia menuturkan, sikap toleran dengan agama lain tak linier ketika dibentrokan dengan sikap politik. Bila yang diukur sekadar toleransi beragama, Yon yakin tak ada perbedaan hasil yang kentara. Hal itu, kata Yon, disebabkan karena pemerintah tak memberikan pemahaman yang maksimal bagi mahasiswa untuk mengenal nilai-nilai kebangsaan.

“Saya kira ini penyebabnya. Satu sisi toleransi beragama itu tinggi, tapi toleransi dalam hal politik berbeda agama juga gap-nya juga cukup tinggi,” ujar dia.

Pendiri Pesantren Al Hidayah yang merupakan mantan terpidana kasus terorisme Khairul Ghazali (atas) memberi bimbingan kepada para santrinya di Desa Sei Mencirim, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (8/5). /Antara Foto.

Usaha deradikalisasi

Di sisi lain, Direktur Pencegahan BNPT Hamli mengatakan, proses deradikalisasi memang gencar dilakukan, termasuk di kampus-kampus. Akan tetapi, Hamli menuturkan, program BNPT untuk mengatasi merebaknya paham radikal atau intoleran di kampus tak bisa diukur dalam waktu yang singkat.

“Untuk mengukur efektifitas program deradikalisasi membutuhkan waktu cukup panjang. Pekerjaan berat lainnya, bagaimana menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa ada paham radikal mulai menyusup ke kampus-kampus,” kata Hamli saat dihubungi, Rabu (12/6).

Sebab, kata dia, pihak kampus yang dikenal rasional juga acapkali menolak fakta bahwa radikalisme dan intoleransi mengancam kampus-kampus. Padahal, kesadaran itu penting sebagai titik awal untuk gerakan kontra radikalisme. Tujuannya, narasi Islam yang eksklusif tidak berkembang.

“Yang penting itu, mari masyarakat kampus sama-sama menyikapi ini bahwa kita itu bangsa yang majemuk, yang mesti dipelihara,” ujar Hamli.

Hamli mengatakan, metode penyebaran paham radikal juga sudah mengalami transformasi. Perkembangan teknologi yang pesar turut membuat penyebaran tak lagi mengandalkan forum kajian, seperti tarbiah.

“Sejak 2015, model penyebaran juga melalui online, baik melalui WA group maupun akses informasi lainnya. Itu juga sangat efektif,” kata dia.

BNPT tak hanya menggandeng kerja sama dengan pihak kampus, tetapi juga dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Kerja sama itu diperkuat melalui beragam program untuk memberikan pemahaman kebangsaan yang inklusif. Menurut Hamli, konsep kebangsaan tak ada pertentangan dengan agama.

Berdasarkan temuan Setara Institute, Hamli mendorong pihak kampus serius menangani masalah paham radikal. Bahkan, jika perlu memformulasikan dalam bentuk kebijakan internal kampus.

Ancaman paham radikal di kampus.

Hamli mengakui, BNPT keterbatasan sumber daya manusia, maka tak mungkin menjangkau seluruh kampus. Oleh karenanya, ia berharap kampus kreatif dan sadar dengan temuan soal radikalisme dan intoleransi yang dirilis BNPT maupun lembaga swadaya masyarakat.

Lebih lanjut, Hamli mengatakan, perlu beragam cara produktif agar pemahaman dan narasi Islam yang eksklusif bisa diatasi. Menurut dia, dunia kampus perlu didorong untuk membuat kebijakan yang membuka ruang dialog di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian, mahasiswa tak didoktrin hanya dengan satu narasi, yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

“Kampus perlu menyediakan ruang bagi mahasiswa agar ada wacana tandingannya, sehingga tidak ada kebenaran yang monolitik,” kata Hamli.

Berita Lainnya
×
tekid