sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menangkal ancaman paham radikal di kampus

Temuan Setara Institute, di antaranya mahasiswa di 10 PTN masih terpapar paham radikal maupun intoleransi.

Armidis
Armidis Rabu, 12 Jun 2019 21:06 WIB
Menangkal ancaman paham radikal di kampus

Selasa (11/6) siang, suara azan zuhur bergema dari Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat. Beberapa orang menuju masjid yang terletak di Jalan Lingkar Kampus Raya itu, untuk menunaikan salat berjemaah.

Selepas salat, jemaah masjid yang tersisa bertahan di tempat duduknya. Mereka mendengarkan ceramah agama, yang rutin diadakan sehabis zuhur.

Di masjid itu, reporter Alinea.id bersua Abyan Jadidan, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia. Ia lantas mengajak berbincang terkait hasil riset Setara Institute di teras masjid.

"Apa yang bisa dibantu, Mas?" katanya.

Kedua tangannya masih asyik menekan tombol telepon pintarnya. Selain sibuk dengan urusan akademis, Abyan menjabat sebagai Ketua Bidang Quran Center di Lembaga Dakwah Kampus (LDK)—dikenal dengan nama Salam UI.

Membuka pembicaraan, Abyan merasa heran dengan hasil riset Setara Institute. Tentu saja ia merasa terusik karena riset itu menyebut kampusnya terpapar paham radikal. Abyan berkilah, hasil riset itu jauh bumi dan langit dengan kenyataan yang ada di UI.

Sebelumnya, pada 31 Mei 2019 Setara Institute mengadakan konferensi pers dan merilis hasil risetnya mengenai radikalisme dan intoleransi di dunia kampus bertajuk “Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa.”

Ada 10 perguruan tinggi negeri (PTN) yang menjadi objek penelitian Setara Institute. Salah satunya UI. Penelitian ini dilakukan pada Februari hingga April 2019.

Temuan Setara Institute, di antaranya mahasiswa di 10 PTN itu masih terpapar paham radikal maupun intoleransi. Menurut riset itu, di kampus-kampus tadi masih berkembang wacana dan gerakan keagamaan eksklusif, yang tak hanya gencar dilakukan satu kelompok keislaman tertentu, tetapi juga beberapa gerakan, seperti salafi-wahabi, tarbiah, dan tahririyah.

Selain itu, organisasi dan kegiatan keagamaan di lingkungan kampus dikuasai kelompok tarbiah atau eks kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Secara umum, gerakan ini bersifat homogen dan eksklusif atau bergerak secara tertutup.

Hasil riset Setara Institute ini tak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Alvara Research Center. Pada 2018, BNPT melaporkan ada tujuh perguruan tinggi yang terpapar paham radikal.

Pada 2018, BIN mengumumkan, ada 39% mahasiswa di 15 provinsi yang terpapar paham radikal. Setahun sebelumnya, Alvara Research Center pun merilis hal serupa. Mereka merilis, ada 29,5% mahasiswa yang tak mendukung pemimpin non-Muslim, 23,5% mahasiswa setuju dengan negara Islam, dan 17,8% mahasiswa sepakat dengan khilafah.

Direktur Riset Setara Institute Halili (kiri), Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos (kedua dari kiri), Peneliti FEMA IPB Eko Cahyono (tengah), Peneliti UIN Jakarta Iif Fikriati Ihsani (kedua dari kanan), Peneliti FISIP UI Ade Armando (kanan), dalam rilis penelitian Setara Institute di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Jumat (30/5). Alinea.id/Achmad Al Fiqri.

UI dan IPB membantah

Terkait riset tersebut, Abyan menerangkan, segala kegiatan internal kampus, seperti di LDK, malah memberikan penguatan sikap keagamaan bagi anggotanya. Ia menilai, narasi radikalisme nyaris tak ada dalam kajian-kajian yang diadakan organisasi tempatnya beraktivitas.

“Apalagi, ada kontrol yang ketat dari pihak kampus terhadap aktivitas dan pengajian,” kata Abyan.

Abyan berdalih, fungsi LDK justru disambut positif karena bisa menghadirkan pemahaman Islam secara utuh. Terutama terkait pengetahuan soal ibadah keagamaan, seperti salat, puasa, zakat, maupun memenuhi keinginan mahasiswa yang mau belajar membaca Alquran. Salam UI, kata dia, punya kajian yang dilakukan rutin. Namun, materinya hanya tema umum, yang bisa pula ditemukan dalam kajian masjid umumnya.

"Enggak pernah ada ke arah sana (negara Islam). Kajian di sini umum sekali," ujarnya.

Abyan pun menuturkan, wacana negara Islam atau menebar kebencian terhadap non-Muslim, tak pernah ada dalam kajian Salam UI. Muatan radikalisme maupun intoleransi, menurut Abyan juga nihil.

Menyoal sistem mentoring (pembimbingan) bagi mahasiswa anyar, Abyan mengakui kegiatan itu masih dilakukan. Meski begitu, ia mengatakan, mentoring bagi mahasiswa baru bukan untuk mendoktrin paham-paham yang melenceng dari dasar negara.

Mentoring, kata dia, sebatas inisiatif Salam UI untuk memantau, dan sarana mengingatkan kepada mahasiswa baru untuk komitmen dalam ibadah. Lazimnya, kegiatan ini dipimpin satu anggota LDK yang lebih senior. Satu kelompok diisi lima hingga 10 orang.

“Tapi itu bukan menanamkan benih intoleran, melainkan membantu mahasiswa baru soal ibadahnya. Bahkan juga soal kuliah, seperti kesulitan mata kuliah atau dalam kondisi kesulitan ekonomi,” katanya.

Dihubungi terpisah, juru bicara Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta mengaku belum mengetahui detai hasil riset Setara Institute, yang menyeret nama kampusnya.

Menurut Gandjar, UI sudah berupaya menyekat penyebaran paham radikal maupun praktik intoleransi. Gandjar menuturkan, UI kerap berkomunikasi dengan BNPT dan BIN. Jalinan komunikasi itu bermaksud mengontrol penyebaran paham radikal dan intoleransi di almamaternya.

“UI juga aktif menyelenggarakan acara yang melibatkan mahasiswa. Bahkan, sejak penerimaan mahasiswa baru sampai mahasiswa yang akan lulus, dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang meningkatkan wawasan kebangsaan,” ujar Gandjar saat dihubungi, Rabu (12/6).

Gandjar mengatakan, meski tak secara khusus membahas deradikalisasi, tetapi program yang diadakan UI berupa pembinaan nilai agama, Pancasila, dan integritas. Kegiatannya berupa ceramah umum, bimbingan teknis, dan fasilitas konsultasi.

Serupa dengan pihak UI, Ketua Badan Kerohanian Islam Lembaga Dakwah Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Ainuz Zaim Hamami pun menolak hasil riset Setara Institute soal radikalisme di kampusnya.

Menurut Ainuz, kajian yang dilakukan organisasinya tetap mengacu modul pendidikan agama Islam yang dikeluarkan IPB. Koordinator Forum Lembaga Dakwah Islam se-IPB itu tak percaya dengan hasil riset Setara Institute.

Bahkan, ia mempertanyakan metode dan sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut. Sebab, bila benar objek penelitian itu mengikutsertakan anggota LDK IPB sebagai sampel, ia tak merasa ada yang diwawancarai.

"Kalau benar kepada LDK (Lembaga Dakwah Kampus), saya tanya kok enggak ada pengurus yang merasa diwawancarai?" kata Ainuz saat dihubungi, Rabu (12/6).

Namun, ia tak membantah sama sekali ada sistem liqo’ atau model tarbiah, dengan wujud beberapa orang membentuk lingkaran kecil. Akan tetapi, menurutnya, materi yang disampaikan tak pernah melenceng dari asas kebangsaan.

"Ngapain juga bahas sampai soal negara Islam atau semacamnya, orang salat saja masih banyak yang salah," ucapnya.

Toleransi dan sikap politik

Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Yon Machmudi mengatakan, benar ada tuntutan soal pengetahuan ritual keagamaan mahasiswa, yang hanya didapat melalui satu kelompok seperti LDK. Sedangkan organisasi sayap organisasi masyarakat lainnya, seperti Nahdlatul Ulama (NU) ataupun Muhammadiyah luput dari kegiatan keagamaan di kampus.

“Organisasi kemahasiswaan, seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), maupun IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) banyak aktif di ekstra kampus. Seharusnya mereka juga bisa menawarkan kajian Islam dengan basis pesantren,” tutur Yon ketika dihubungi, Rabu (12/6).

Meski demikian, Yon pernah melakukan penelitian yang hasilnya agak berbeda dengan temuan Setara Institute. Dikutip dari Antara edisi 26 November 2018, Yon bersama Nurwahidin, Kinta Erstuputri Herawan, dan Muhammad Akmal Farraz mengadakan riset melalui program pendabdian masyarakat untuk skema UI Peduli Kajian Strategis.

Penelitian yang dilakukan dengan menyebar kuesioner secara daring di kalangan mahasiswa di beberapa PTN di Jabodetabek, yakni UI, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan UIN Syarief Hidayatullah, pada Maret hingga November 2018 itu memiliki fokus utama tingkat toleransi di perguruan tinggi dan bagaimana pola asuh serta pendidikan agama berpengaruh terhadap toleransi di kalangan mahasiswa.

Riset tersebut menunjukkan, secara umum tingkat toleransi beragama di lingkungan kampus masih cukup tinggi.

"Dari sisi persepsi dengan batasan nilai minimal 4 dan maksimal 18, didapatkan hasil rata-rata nilai adalah 16,3. Sedangkan toleransi dalam aspek sikap dengan batasan nilai minimal 5 dan maksimal 18, didapatkan hasil bahwa rata-rata nilainya adalah 14,6," kata Yon, yang menjadi ketua tim penelitian, seperti dikutip dari Antara, Senin (26/11/2018).

Menanggapi hasil penelitian yang berbeda dengan temuan Setara Institute, Yon punya alasan. Menurut dia, terdapat cara pemotretan yang berbeda antara Setara dengan tim penelitian UI. Survei UI itu, kata Yon, mengukur empat indikator toleransi, yakni pandangan, sikap, perilaku, dan keinginan melakukan toleransi.

Selanjutnya, Yon mengatakan, sebatas sikap toleransi, hasil riset tim UI cukup baik memotret praktik toleransi di kalangan mahasiswa. Terutama pengakuan terhadap pemeluk agama lain.

Namun, toleransi kemudian berubah saat indikator yang diukur menyangkut sikap politik. “Contohnya pertanyaan, apakah Anda menerima pemimpin berbeda agama apabila dipilih secara demokratis? Itu tidak menerima jumlahnya lebih banyak,” tutur Yon.

Ia menuturkan, sikap toleran dengan agama lain tak linier ketika dibentrokan dengan sikap politik. Bila yang diukur sekadar toleransi beragama, Yon yakin tak ada perbedaan hasil yang kentara. Hal itu, kata Yon, disebabkan karena pemerintah tak memberikan pemahaman yang maksimal bagi mahasiswa untuk mengenal nilai-nilai kebangsaan.

“Saya kira ini penyebabnya. Satu sisi toleransi beragama itu tinggi, tapi toleransi dalam hal politik berbeda agama juga gap-nya juga cukup tinggi,” ujar dia.

Pendiri Pesantren Al Hidayah yang merupakan mantan terpidana kasus terorisme Khairul Ghazali (atas) memberi bimbingan kepada para santrinya di Desa Sei Mencirim, Deli Serdang, Sumatera Utara, Rabu (8/5). /Antara Foto.

Usaha deradikalisasi

Di sisi lain, Direktur Pencegahan BNPT Hamli mengatakan, proses deradikalisasi memang gencar dilakukan, termasuk di kampus-kampus. Akan tetapi, Hamli menuturkan, program BNPT untuk mengatasi merebaknya paham radikal atau intoleran di kampus tak bisa diukur dalam waktu yang singkat.

“Untuk mengukur efektifitas program deradikalisasi membutuhkan waktu cukup panjang. Pekerjaan berat lainnya, bagaimana menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa ada paham radikal mulai menyusup ke kampus-kampus,” kata Hamli saat dihubungi, Rabu (12/6).

Sebab, kata dia, pihak kampus yang dikenal rasional juga acapkali menolak fakta bahwa radikalisme dan intoleransi mengancam kampus-kampus. Padahal, kesadaran itu penting sebagai titik awal untuk gerakan kontra radikalisme. Tujuannya, narasi Islam yang eksklusif tidak berkembang.

“Yang penting itu, mari masyarakat kampus sama-sama menyikapi ini bahwa kita itu bangsa yang majemuk, yang mesti dipelihara,” ujar Hamli.

Hamli mengatakan, metode penyebaran paham radikal juga sudah mengalami transformasi. Perkembangan teknologi yang pesar turut membuat penyebaran tak lagi mengandalkan forum kajian, seperti tarbiah.

“Sejak 2015, model penyebaran juga melalui online, baik melalui WA group maupun akses informasi lainnya. Itu juga sangat efektif,” kata dia.

BNPT tak hanya menggandeng kerja sama dengan pihak kampus, tetapi juga dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Kerja sama itu diperkuat melalui beragam program untuk memberikan pemahaman kebangsaan yang inklusif. Menurut Hamli, konsep kebangsaan tak ada pertentangan dengan agama.

Berdasarkan temuan Setara Institute, Hamli mendorong pihak kampus serius menangani masalah paham radikal. Bahkan, jika perlu memformulasikan dalam bentuk kebijakan internal kampus.

Ancaman paham radikal di kampus.

Hamli mengakui, BNPT keterbatasan sumber daya manusia, maka tak mungkin menjangkau seluruh kampus. Oleh karenanya, ia berharap kampus kreatif dan sadar dengan temuan soal radikalisme dan intoleransi yang dirilis BNPT maupun lembaga swadaya masyarakat.

Lebih lanjut, Hamli mengatakan, perlu beragam cara produktif agar pemahaman dan narasi Islam yang eksklusif bisa diatasi. Menurut dia, dunia kampus perlu didorong untuk membuat kebijakan yang membuka ruang dialog di kalangan mahasiswa. Dengan cara demikian, mahasiswa tak didoktrin hanya dengan satu narasi, yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

“Kampus perlu menyediakan ruang bagi mahasiswa agar ada wacana tandingannya, sehingga tidak ada kebenaran yang monolitik,” kata Hamli.

Berita Lainnya
×
tekid