sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mendagri dikritik atas aturan penggunaan PeduliLindungi

Sanksi terhadap seseorang yang tidak menggunakan PeduliLindungi dianggap tidak tepat.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Rabu, 22 Des 2021 15:10 WIB
Mendagri dikritik atas aturan penggunaan PeduliLindungi

Institute for Criminal Justice Reforme (ICJR) mengkritisi rencana pemerintah menerapkan sanksi pidana bagi masyarakat yang tak menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Menurut ICJR, penggunaan sanksi pidana untuk penanggulangan Covid-19 menunjukkan kesemerawutan dan diskriminatif.

"Hal ini merupakan kesalahan yang lagi-lagi dilakukan pemerintah, yang terus mempromosikan penggunaan ancaman sanksi pidana untuk menjamin kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19," kata peneliti ICJR Genoveva Alicia dalam keterangannya kepada Alinea.id, Rabu (22/12).

Untuk diketahui, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan edaran yang menginstruksikan kepala daerah mengeluarkan peraturan kepala daerah (Perkada) mengenai penegakan penggunaan aplikasi PeduliLindungi di ruang publik pada Selasa (21/12). Menurut Tito, Perkada ini nantinya akan menjadi dasar penerapan sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang tidak menggunakan aplikasi PeduliLindungi.

Selanjutnya, Tito menyatakan Perkada akan mengikat masyarakat. Tito juga menginstruksikan, setelah periode Natal dan Tahun Baru, pemerintah daerah dapat menaikkan status Perkada menjadi Peraturan Daerah (Perda). Hal itu bertujuan, agar sanksi selain administratif dapat diterapkan termasuk sanksi pidana.

Menurut Genoveva, penerapan sanksi pidana harus dipikirkan dengan matang, seksama dan proporsional. Sebelumnya, kata dia, pemerintah pernah menerapkan sanksi pidana bagi pelanggar PPKM berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 16 Tahun 2021. Instruksi itu menyebutkan, pelanggar PPKM dapat dikenai sanksi pidana melalui berbagai macam instrumen hukum, yakni pasal 212 sampai dengan pasal 218 KUHP, pasal pidana dalam UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, pasal pidana dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Perda, Perkada, dan ketentuan lain.

Jika diperhatikan lebih lanjut, kata Genoveva, masing-masing aturan tersebut memuat ketentuan unsur tindak pidana yang spesifik. Sedangkan, dalam penerapannya tidak sesuai dengan unsur pidana yang dimaksud. Bahkan, penggunaan Pasal 212, 218 KUHP tentang melanggar perintah petugas tidak tepat digunakan, memunculkan kesewenangan.

"Keberadaan sanksi pidana yang terus dipromosikan justru akan menimbulkan praktik-praktik diskriminasi dan tidak menyelesaikan masalah kepatuhan yang ingin diintervensi oleh pemerintah," katanya.

Genoveva menegaskan, pembahasan mengenai sanksi pidana di dalam penegakan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 tidak pernah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Hal ini juga menjadi peringatan bagi DPR/DPRD provinsi/kabupaten/kota, karena penggunaan dan promosi sanksi pidana hanya dapat dibahas oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat.

Sponsored

Dia bahkan berpandangan, kebijakan baru terus-menerus dibuat tanpa adanya perhatian yang serius terhadap kaidah-kaidah hukum tata negara dan seringkali menerobos kewenangan, dan dilakukan atas dasar narasi negara bertindak keras. Semua itu seolah menunjukkan pemerintah melakukan hal tepat.

"ICJR mencermati sikap kritis terhadap proposal pemerintah belum cukup ditunjukkan oleh dewan perwakilan rakyat, baik DPR dan DPRD. Carut-marut penerapan sanksi terhadap pelanggar kepatuhan protokol kesehatan selama pandemi Covid-19 sudah terjadi sejak awal pandemi," katanya.

Berita Lainnya
×
tekid