sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengapa ASN Jakarta enggan berkarier pada rezim Anies?

Setidaknya lebih dari 20-an jabatan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta diisi pelaksana tugas (plt.) hingga kini.

Fatah Hidayat Sidiq
Fatah Hidayat Sidiq Jumat, 21 Mei 2021 19:22 WIB
Mengapa ASN Jakarta enggan berkarier pada rezim Anies?

Pengamat kebijakan publik, Ade Reza Hariyadi, menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya posisi strategis di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dijabat pelaksana tugas (plt.) dan bukan definitif. Pertama, para aparatur sipil negara (ASN) terjebak dengan zona nyaman (comfort zone).

"Mereka ini terjebak dalam comfort zone. Daripada tambah jabatan struktural dan tambah beban kerja karena target tertentu, ya, mereka hindari kesempatan itu," ucapnya saat dihubungi Alinea, Jumat (21/5).

Faktor kedua, sambung Reza, ada target-target politik tertentu. Hal ini melingkupi berbagai hal, macam mesti memberikan dukungan legitimasi kepada kelompok tertentu, termasuk menyokong finansialnya. "Itu bisa saja terjadi."

Gaji ASN di Pemprov Jakarta tergolong tinggi dibandingkan daerah lainnya karena besarnya pendapatan asli daerah (PAD). Selain gaji pokok sekitar Rp1,5 juta hingga nyaris Rp6 juta, abdi negara di Ibu Kota juga mendapatkan tambahan penghasilan pegawai.

Besaran TPP ASN Jakarta tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 64 Tahun 2020, yang nilainya bervariatif dari Rp4,86 juta khusus calon pegawai negeri sipil (CPNS) hingga Rp33 juta bagi ASN keahlian utama pada jabatan fungsional auditor, perencana, dan dokter.

Meski demikian, gaji tersebut mengalami perubahan melalui Pergub Nomor 2 Tahun 2021 lantaran pandemi Covid-19. Selain itu, pemprov juga membayarkan 50% dari TPP atau tunjangan kinerja daerah (TKD) sesuai kelas jabatannya setelah dirasionalisasi dan penundaan.

Di sisi lain, setidaknya terdapat 20-an jabatan yang diisi plt. ataupun masih kosong, yakni Asisten Kesejahteraan Rakyat, Kepala BPBD, Kepala BPD, Kepala BPSDM, Kepala DKPKP, Kepala DLH, Kepala Disparekraf, Kepala Disperindag KUKM, Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Karp Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Karo Pemerintahan, serta Waka BPD.

Selanjutnya Waka Dinkes, Waka Disdik, Wakil Bupati Kepulauan Seribu, Sekretaris Kota Jaktim, Sekretaris Kota Jakut, Kepala BPAD, Kepala Dukcapil, Kepala BPPJ, Kepala BP BUMD, Sekretaris Dewan, serta Wali Kota Jaksel.

Sponsored

Kekosongan tersebut salah satunya karena faktor pengunduran diri. Selama Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, menjabat, mereka yang mundur, seperti Kepala BPBD, Subejo; Kepala Dinas Perumahan, Kelik Indriyanto; Kepala Disparbud, Edy Juanedi; Kepala Bappeda, Sri Mahendra; Kepala BP BUMD, Faisal Syafruddin; Kepala BPD, Tsani Annafari; dan Kepala BPAD, Pujiono.

Selain itu, banyak yang enggan mengikuti lelang jabatan. Sebanyak 239 dari 534 ASN yang memenuhi persyaratan enggan mengikuti seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi pratama.

Apa pun latar belakangnya, menurut Reza, ASN tidak dibenarkan untuk mengelak dari kewajiban berkarier. Pangkalnya, regulasi mengatur tentang sistem meritokrasi dalam jenjang karier pegawai pemerintahan.

"Kalau sudah penuhi syarat, wajib ikuti asesmen itu. Jadi, dia tidak bisa mengelak, apalagi ASN itu profesional atau pegawai pemerintah, dia harus tunduk pada aturan," jelasnya.

"Kecuali politisi. Dia kalau enggak suka boleh mengundurkan diri atau ajukan opsi lain. Kalau ASN harus melaksanakan tugas negara, tidak bisa pilih-pilih berdasarkan suka atau tidak suka. itu prinsip meritokrasi dan aparatur negara harus patuh. Kalau pilih-pilih, dia berpolitik," sambungnya.

Dirinya ragu para ASN Ibu Kota menghindari jabatan karier lantaran tingginya ekspektasi yang dipatok Anies. Alasannya, target-target tidak bisa dihindari dan justru mesti ditekankan.

"Pendapatan ASN di Jakarta tinggi. Konsekuensinya ditunjukkan dengan bekerja secara profesional dibandingkan yang lain," ucap akademisi Universitas Krisnadwipayana ini.

Karenanya, Reza menyarankan kepala daerah, yang juga memiliki fungsi pembinaan dan pengawasan ASN, perlu merespons fenomena tersebut dengan serius. Langkah itu bisa meliputi teguran hingga sanksi guna menciptakan disiplin pegawai.

"Ini terjadi insubordinasi. Tanggung jawab ada di kepala daerah. Dalam bentuk persuasif adalah imbauan dan peringatan, sedangkan represif dalam sanksi-sanksi administrasi, apakah tunda promosi, demosi, ataupun mutasi," urainya.

Kalaupun memang enggan berkarier karena target-target politik tertentu, bagi Reza, justru kini momentum yang pas untuk membongkarnya dibandingkan mengelak.

"Visi dari pemerintahan Jokowi hari tentang reformasi birokasi merupakan pintu masuk. Saya kira, Anies juga akan merespons itu," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid