sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mengapa seseorang tega melakukan pembunuhan?

Pembunuhan hanya akan terjadi dalam situasi tertentu, dan saat itu saja. Biasanya, pelaku akan menyesal dengan perbuatannya usai peristiwa.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Jumat, 01 Mar 2019 20:59 WIB
Mengapa seseorang tega melakukan pembunuhan?

Pada November 2018 publik dikejutkan dengan berita pembunuhan kejam satu keluarga di Bekasi, Jawa Barat. Pelakunya, HS, ternyata kerabat dekat sendiri. Dengan kejam, HS menghabisi korban menggunakan linggis, dan mencekik kedua anak mereka.

Kemudian, gara-gara sang istri tak memberikan kode kunci telepon selulernya, pada 21 Februari 2019 seorang suami tega membunuh istrinya yang tengah hamil tua dengan parang di Bengkulu. Lalu, sang pelaku RS membelah perut istrinya itu. Anak mereka selamat dalam tragedi memilukan tersebut.

Dua kasus pembunuhan melibatkan orang dekat itu hanya sebagian kecil dari sekian peristiwa pembunuhan kejam yang pernah terjadi di Indonesia.

Tak ada saluran komunikasi

Guru besar Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Muhammad Mustofa mengatakan, banyak kasus pembunuhan terjadi karena ada kedekatan antara pelaku dan korban.

Konflik itu tercipta dari hubungan kedekatan, yang bisa jadi pemantik kekejaman yang dilakukan.

“Banyak pembunuhan itu terjadi dalam kondisi situasional. Pada situasi yang amat sangat khusus, saling mengenal, terus terjadi konflik. Kemudian karena lepas kendali melakukan pembunuhan,” tuturnya ketika dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (1/3).

Lebih lanjut, Mustofa menuturkan, setiap manusia punya kemampuan untuk meniadakan manusia lainnya. Akan tetapi, norma-norma yang tertanam di dalam diri manusia untuk menghargai jiwa orang lain dapat menjadi tali kekang dari sifat ego pribadi itu.

“Jika norma penghargaan terhadap manusia lainnya itu tidak berjalan dengan efektif, biasanya pembunuhan itu adalah salah satu cara yang dipakai untuk menyelesaikan masalah,” katanya.

Sementara itu, staf pengajar di Fakultas Psikologi UI Rose Mini Adi Prianto mengatakan, untuk kasus kekerasan termasuk pembunuhan, hal sepele kerap jadi pemantiknya. Namun, pemantik sepele itu tak bisa dianggap sebagai penyebab tunggal, tetapi harus dilihat secara keseluruhan dari rangkaian peristiwa sebelum terjadi.

Polisi menjaga tersangka kasus pembunuhan satu keluarga di Bekasi, Haris Simamora atau HS (kedua kanan) dihadirkan dalam Pelimpahan berkas perkara pembunuhan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (21/2). (Antara Foto).

“Orang dapat membunuh bukan karena satu hal saja, tetapi karena sudah numpuk. Ada satu yang memantik itu bisa marahnya jadi luar biasa,” kata Rose saat dihubungi, Jumat (1/3).

Kemarahan tersebut menghilangkan kontrol diri yang dimiliki seseorang. Wilayah kognisi sebagai ruang kontrol tindakan manusia, kata dia, tidak bekerja dengan baik. Nalarnya pun jadi hilang.

Rose menjelaskan, setiap orang harus bisa mengutarakan pikiran, perasaan, dan pendapatnya. Bila tidak, seseorang akan mengalami tekanan, stres, dan depresi. Oleh karena itu, harus ada katarsisnya (kelegaan emosi).

Konflik seringkali terjadi karena tak ada saluran komunikasi yang dapat menjembatani pendapat atau pikiran seseorang kepada orang lain.

“Lawan berseteru itu tidak bisa diajak berbicara misalnya, sehingga dia enggak tahu caranya mengutarakan dengan baik gimana. Akhirnya ambil jalan pintas melampiaskan marah dan dendamnya dengan cara yang seperti itu (membunuh),” kata Rose.

Kemampuan mengutarakan yang dirasakan ini bisa dipengaruhi oleh pendidikan. Menurut Rose, orang yang tak tahu caranya, karena tak pernah diajarkan, akan mencari cara lain untuk bisa mengekspresikan kemarahannya itu.

“Bisa dengan memukul orang lain, membanting barang, atau jika dia tidak berada dengan orang yang berkonflik dengannya, dia dapat menyakiti dirinya sendiri,” tuturnya.

Kecenderungan ini tak hanya terjadi pada orang-orang dengan kepribadian introver. Orang-orang yang ekstrover pun punya kecenderungan tersebut.

“Makanya kita selalu mengajarkan kepada anak-anak untuk mengutarakan apapun yang ia pikirkan dan rasakan, agar semua itu tidak menumpuk dan suatu saat meledak,” kata Ketua Program Studi Terapan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.

Pembangunan karakter manusia

Dihubungi terpisah, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto mengatakan, setiap orang harus punya kapasitas kecerdasan intelektual, emosional, dan sosial yang tinggi untuk terhindar dari perbuatan keji, seperti membunuh.

Akan tetapi, kenyataannya, acapkali seseorang hanya punya porsi tinggi pada salah satu kecerdasan tadi. “Dia harus tinggi, bukan hanya seimbang, sebab kalau seimbang semua tapi rendah tetap saja percuma,” ucapnya saat dihubungi, Jumat (1/3).

Tiga kecerdasan itu, menurut Kasandra, terkait dengan pembangunan karakter manusia, yakni kemampuannya untuk mengenali lingkungan sekitar, menumbuhkan rasa empati, dan mengasihi sesama.

Lebih lanjut, Kasandra mengatakan, kekerasan yang dilakukan seseorang juga bisa dipengaruhi oleh kapasitas amigdala. Amigdala merupakan bagian otak manusia yang berfungsi sebagai pengolahan ingatan terhadap reaksi emosi manusia.

Lingkungan sosial tempat seseorang tumbuh, dan perlakuan yang dialami sejak kecil hingga dewasa, kata Kasandra, akan terus tertanam di benak. Hal itu, katanya, juga ikut memengaruhi tindakan-tindakannya di masa depan, termasuk melakukan kekerasan.

Tersangka kasus tindak pidana pembunuhan, Jufri (kiri) mengikuti rekonstruksi di Kelurahan Benuanirae, Kecamatan Abeli, Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (14/2). (Antara Foto).

Pelaku kooperatif

Sementara, dalam kasus mutilasi, Muhammad Mustofa mengatakan, hal itu merupakan tahapan kedua setelah pembunuhan. Ia menerangkan, mutilasi adalah sebuah upaya pelaku untuk menyelamatkan nama baiknya.

“Mutilasi itu biasanya dilakukan oleh seseorang yang belum pernah membunuh. Menyesal, kemudian berpikir bagaimana caranya memertahankan diri sebagai orang yang bukan pembunuh,” tuturnya.

Di samping itu, kata Mustofa, pembunuhan hanya akan terjadi dalam situasi tertentu, dan saat itu saja. Biasanya, pelaku akan menyesal dengan perbuatannya usai peristiwa itu terjadi.

Ada banyak faktor yang membuat seseorang tega berlaku kejam.

“Makanya di banyak kasus kita lihat pelaku biasanya akan bersikap kooperatif jika dibawa ke ranah hukum, dan menerima keputusan apapun yang dijatuhkan kepadanya,” ujar Mustofa.

Menurut Mustofa, hal ini berbeda dengan para pelaku perampokan yang berakhir dengan penghilangan nyawa korbannya. Perampokan, kata dia, tujuan utamanya menguras harta benda korban, bukan membunuh.

“Untuk kasus perampokan ini, pelakunya biasanya lebih memiliki kecenderungan untuk tidak menghargai nyawa orang lain lebih kuat daripada yang situasional,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid