sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Menguji independensi dalam seleksi calon pimpinan KPK

Calon pimpinan dari Polri dianggap bisa menimbulkan konflik kepentingan di tubuh KPK.

Soraya Novika
Soraya Novika Kamis, 27 Jun 2019 17:37 WIB
Menguji independensi dalam seleksi calon pimpinan KPK

Pada 17 Juni 2019, panitia seleksi membuka pendaftaran calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023. Masa jabatan pimpinan KPK periode 2015-2019 sendiri akan berakhir pada Desember 2019.

Sejak 19 Desember 2003, pemilihan pimpinan KPK dilakukan setiap empat tahun. Panitia seleksi akan menyetor 10 nama kandidat. Setelah itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memilih lima kandidat terpilih.

Sembilan perwira tinggi Polri yang ikut mendaftar proses seleksi calon pimpinan KPK menjadi sorotan publik. Rombongan panitia seleksi KPK memang sempat menemui beberapa petinggi aparat penegak hukum, seperti Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Pertemuan itu, disebut anggota panitia seleksi KPK sebagai upaya menarik calon pimpinan yang berintegritas tinggi, dengan rekam jejak dan kemampuan yang mumpuni di bidangnya.

Tak lama setelah itu, beredar lampiran surat Kapolri Nomor B/722/VI/KEP/2019/SSDM bertanggal 19 Juni 2019. Surat tersebut berisi nama sembilan calon pimpinan KPK dari perwira tinggi kepolisian.

Sembilan nama pati Polri itu, antara lain Irjen Pol Antam Novambar (Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal), Irjen Pol Dharma Pongrekun (Badan Siber dan Sandi Negara), Irjen Pol Coki Manurung (Widyaiswara Utama Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri), dan Irjen Pol Abdul Gofur (Analis Kebijakan Utama bidang Polair Baharkam Polri).

Kemudian ada Brigjen Pol Muhammad Iswandi (pati Badan Reserse Kriminal Polri), Brigjen Pol Bambang Sri Herwanto (Widyaiswara Madya Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri), Brigjen Pol Agung Makbul (Kepala Biro Penyusunan dan Penyuluhan Hukum Divisi Hukum Polri), Brigjen Pol Juansih (Analis Kebijakan Utama bidang Biro Pembinaan Pendidikan dan Latihan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri), dan Brigjen Pol Sri Handayani (Wakil Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat).

Mabes Polri sudah mengumumkan, sembilan nama anggota Polri tersebut telah lolos penilaian secara internal. Nama-nama itu akan dikirimkan ke panitia seleksi KPK. Kemungkinan, nama-nama itu akan bertambah lagi.

Sponsored

Sejauh ini, panitia seleksi KPK mengantongi 32 nama yang mendaftarkan diri sebagai calon pimpinan KPK. Proses pendaftarannya sendiri ditutup pada 4 Juli 2019.

Menanggapi sembilan pati Polri yang akan mendaftar dalam proses seleksi calon pimpinan KPK, ahli hukum tata negara dan pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti mengingatkan kembali kepada para panitia seleksi KPK tentang muasal berdirinya lembaga antikorupsi itu.

Menurut dia, pada 2002 KPK terbentuk tak lepas dari masifnya tindak pidana korupsi yang terjadi saat itu. Bahkan, pelakunya tak jarang berasal dari para penegak hukum.

"Jadi, konteks ini penting untuk menjadi pertimbangan utama dalam memilih calon pimpinan KPK," kata Bivitri ditemui Alinea.id di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6).

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Mensesneg Pratikno (kelima kanan) menerima Ketua Panitia Seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019-2023 Yenti Ganarsih (keempat kiri) bersama anggota di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/6). /Antara Foto.

Dalam sejumlah kasus sebelumnya, KPK pernah menangkap anggota kepolisian yang terlibat kasus korupsi dan suap. Contohnya, sepanjang Oktober hingga November 2016, setidaknya ada 101 anggota kepolisian yang ditangkap karena melakukan pungutan liar.

Beberapa nama anggota kepolisian pun sempat mencuri perhatian publik karena terlibat kasus korupsi. Sebut saja nama mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, yang dijadikan tersangka karena kasus suap alat simulator surat izin mengemudi (SIM) pada September 2012.

Berkaca dari beragam kasus tersebut, Bivitri menyayangkan sikap panitia seleksi KPK yang justru membuat pertemuan dengan beberapa institusi penegak hukum, untuk mengirimkan wakil dari lembaganya ikut seleksi calon pimpinan KPK.

Sebab, menurutnya, dalam perspektif ketatanegaraan, pimpinan KPK tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tetapi secara kolektif kolegial. Oleh sebab itu, tidak ada larangan apabila pimpinan tidak diwakili aparat penegak hukum.

"Lagian, dulu kan orang-orang kepolisian maupun kejaksaan itu daftar secara personal, sekarang kok agaknya diberi karpet merah," ucapnya.

Terlebih lagi, kata dia, kompetensi calon pimpinan KPK yang paling penting adalah pemahaman para calon terhadap kompeksitas pemberantasan korupsi, bukan sekadar latar belakang pengalaman.

"Korupsi ini bukan kejahatan biasa yang pelakunya bisa ditunjuk satu, dua, atau tiga tersangka saja, sebab kasus ini biasanya berkelindan seperti jaring laba-laba. Kompleksitas ini yang perlu dipahami oleh seorang pimpinan KPK," ujar Bivitri.

Bebas konflik kepentingan

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan, memilih pimpinan yang jauh dari segala macam kepentingan merupakan salah satu bentuk tuntutan yang disuarakan ICW, sebagai kriteria ideal calon pimpinan KPK yang diharapkan masyarakat.

Lalola Easter juga menyebut, panitia seleksi calon pimpinan semestinya bisa memastikan tak ada konflik kepentingan dari calon-calon itu. Konflik kepentingan yang dimaksud Lalola terkait latar belakang profesi para calon pimpinan yang mendaftar.

"Terutama yang paling tegas ditolak dari masyarakat sipil ialah yang berasal dari aparat penegak hukum yang masih aktif. Mereka-mereka itulah yang dinilai potensinya paling besar terjerumus dalam konflik kepentingan," tuturnya saat ditemui di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6).

Salah seorang tahanan KPK saat memasuki Gedung KPK, Jakarta. /Antara Foto.

Lalola menilai, meski ada janji bila aparat penegak hukum itu akan mengundurkan diri setelah terpilih sebagai pimpinan baru KPK, tetapi tak menjamin lembaga antirasuah itu akan bebas dari segala macam bentuk konflik kepentingan.

Lebih lanjut, Lalola mengatakan, syarat tadi akan berpengaruh saat KPK dihadapkan dengan beragam upaya pelemahan institusi tersebut.

"Pimpinan KPK harus mampu menolak segala upaya pelemahan KPK secara institusional. Dan, ini sebetulnya adalah fenomena yang juga sudah sering kita lihat,” kata Lalola.

Menurutnya, beberapa kali KPK coba dilemahkan, baik yang bentuknya nyata seperti penyerangan anggotanya maupun yang subtil seperti melalui mekanisme legislasi dengan pembahasan revisi Undang-Undang KPK.

“Kemarin juga sempat ada angket terhadap KPK," ucapnya.

Sementara itu, ketika dihubungi, Wakabareskrim Polri Irjen Pol Antam Novambar, yang disebut-sebut namanya sebagai salah satu dari sembilan perwira tinggi yang bakal mencalonkan diri menjadi komisioner KPK mengaku tak mengetahui apa-apa.

"Coba cek saja ke panitia terkait karena sampai sekarang saya secara pribadi belum mendaftar dan masih mikir-mikir," ujar Antam saat dihubungi, Kamis (27/6).

Dihubungi terpisah, Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia Irjen Pol Eko Indra Heri, yang menandatangani surat edaran sembilan calon pimpinan KPK dari pati Polri, menolak memberikan keterangan.
|
Rumor radikalisme

Selain masalah independensi calon pimpinan KPK, keterlibatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menelusuri rekam jejak calon yang mendaftar menjadi komisioner pun tak luput dari polemik. Alasan panitia seleksi melibatkan BNPT, yakni tak ingin ada calon pimpinan KPK terpapar radikalisme.

Rumor radikalisme di tubuh KPK kali pertama ditulis pegiat media sosial Denny Siregar di laman Facebooknya pada 13 Juni 2019. Ia menyinggung ada faksi “Polisi Taliban” dan “Polisi India” di KPK.

Denny menduga, penyidik senior Novel Baswedan dan mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto sebagai bagian dari faksi “Polisi Taliban”. “Polisi Taliban” dalam pandangan Denny ialah kelompok agamis dan ideologis.

Menanggapi keterlibatan BNPT ini, Bivitri Susanti menyebutnya terlalu berlebihan. Menurut Bivitri, poin utama yang paling penting untuk diuji adalah kompetensi para calon. Sedangkan ketakutan terhadap radikalisme seharusnya dilihat sebagai fakta, bukan syarat seleksi.

Anggota KPK menunjukkan barang bukti korupsi di Kantor KPK, Jakarta. /Antara Foto.

"Ini relevansinya apa? Harusnya lebih fokus kepada kompetensi calon," kata Bivitri.

Sementara itu, Direktur Nahdlatul Ulama Online Savic Ali mengatakan di tubuh KPK tak pernah ada kelompok radikal yang tumbuh. "Kalau ada yang berpakaian Islami, atau memakai simbol-simbol Islami kan belum tentu radikal," ujar Savic ditemui di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/6).

Bahkan, menurut Savic, meski seandainya ada anggota KPK yang dianggap radikal pun, hal itu tak akan menganggu kinerja KPK sebagai jagal koruptor.

"Apakah ada fungsi KPK yang terganggu soal “Islamnya” KPK? Menurut saya tidak," katanya.

Berbeda soal, jika seseorang yang diduga terpapar radikalisme tersebut punya rekam jejak pelanggaran hukum atau berpotensi melanggar hukum. Maka, hal itu menurut Savic, sudah pasti membuat calon tak lolos menjadi pejabat tinggi di KPK, tanpa perlu lagi dites BNPT.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid