sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sanksi kerja sosial dan denda pelanggar PSBB di Jakarta, beban atau efek jera?

Pemprov DKI menerbitkan Pergub 41/2020, terkait sanksi bagi para pelanggar PSBB. Apakah aturan itu efektif membuat jera?

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Minggu, 17 Mei 2020 06:23 WIB
Sanksi kerja sosial dan denda pelanggar PSBB di Jakarta, beban atau efek jera?

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sudah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Di dalam beleid ini dijabarkan sanksi bagi pelanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB), baik perorangan (individu), pengelola sekolah, kantor yang tidak dikecualikan, restoran, hotel, tempat kerja kegiatan konstruksi, dan rumah ibadah.

Setiap institusi sanksinya berbeda-beda. Misalnya, untuk pimpinan kantor yang tidak dikecualikan dan melanggar penghentian sementara aktivitas bekerja selama pemberlakuan PSBB dikenakan sanksi penghentian sementara kegiatan berupa penyegelan kantor dan denda Rp5.000.000-Rp10.000.000.

Pemberian sanksi dilakukan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertrans-E) dengan didampingi perangkat daerah.

Lalu, terdapat pula ketentuan terhadap penanggung jawab hotel yang selama pemberlakuan PSBB tetap membuka fasilitas layanan dan tidak menerapkan protokol kesehatan, dikenakan sanksi administratif penyegelan sementara dan denda Rp25.000.000-Rp50.000.000.

Pemberian sanksi dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan pendampingan dari perangkat daerah.

Hingga Kamis (14/5), seperti dikutip dari Antara, Disnakertrans-E DKI Jakarta mencatat ada 1.145 perusahaan yang melanggar PSBB di Ibu Kota. Sebanyak 197 perusahaan ditutup sementara.

Sanksi pun berlaku untuk individu yang kedapatan melanggar PSBB. Misalnya, orang yang melakukan kegiatan keagamaan di rumah ibadah dikenakan sanksi teguran tertulis.

Sponsored

Kemudian, pelanggaran tertentu, selain dikenakan teguran tertulis, dikenakan sanksi denda Rp100.000-Rp250.000 dan kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi.

Sanksi denda dan kerja sosial diberlakukan untuk orang yang tak menggunakan masker di luar rumah pada tempat umum, orang yang melakukan kegiatan dengan jumlah lebih dari lima orang di tempat umum, pengemudi sepeda motor yang membawa penumpang dan/atau tak menggunakan masker, dan pengemudi mobil pribadi yang melanggar pembatasan jumlah orang maksimal 50% dari kapasitas kendaraan dan/ atau tidak menggunakan masker.

Untuk pengemudi mobil pribadi yang melanggar didenda Rp500.000-Rp1.000.000, dan mobilnya diderek ke tempat penyimpanan kendaraan bermotor yang disediakan Pemprov DKI. Sanksi penderekan juga berlaku bagi sepeda motor.

Di dalam ketentuan itu, pelanggar yang tak mengenakan masker, menciptakan kerumunan, dan pengemudi kendaraan terdapat kerja sosial. Pemberian sanksi dilakukan Satpol PP dengan pendampingan dari kepolisian.

Pengendara sepeda motor tidak menggunakan masker saat melintas di Jalan MT Haryono, Jakarta, Selasa (12/5/2020). Foto Antara/Hafidz Mubarak A.

Harus konsisten agar pelanggar jera

Salah seorang warga yang tinggal di bilangan Jalan Ampera, Jakarta Selatan, Nur Auliani memaklumi aturan tersebut. Menurutnya, hal itu dilakukan untuk memberikan efek jera bagi masyarakat yang melanggar ketentuan PSBB.

Hanya saja, perempuan 24 tahun tersebut menyayangkan Pergub 41/2020 kurang sosialisasi. Di samping itu, pekerja lepas penulis konten ini berpendapat, efek jera tak akan timbul kalau sanksinya ringan.

“Kayaknya orang bakal ngegampangin kalau cuma denda. Apalagi kalau cuma sanksi kerja sosial, seperti bersihin kamar mandi,” kata dia saat dihubungi reporter Alinea.id, Jumat (15/5).

Nur melanjutkan, daripada membuat aturan, lebih baik Pemprov DKI membangun kesadaran warga terhadap bahaya Covid-19.

“Karena kalau menurut saya membangun awareness itu penting banget. Percuma bikin peraturan, tapi masyarakatnya juga enggak aware dengan kondisi yang sebenarnya ini,” ucapnya.

Meski sudah ditanda tangani Gubernur Anies Baswedan pada 30 April 2020, sanksi kerja sosial dan denda baru benar-benar diterapkan pada 13 Mei 2020. Di hari pertama penerapan, menurut Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin, sudah ada 35 orang yang dikenakan sanksi kerja sosial karena melanggar PSBB.

Dia menerangkan, sanksi diberikan terhadap 10 orang di Jakarta Utara, 19 orang di Jakarta Selatan, dan enam orang di Jakarta Barat.

"Warga yang melanggar harus pakai rompi oranye bertuliskan pelanggar PSBB. Kemudian mereka diminta membersihkan jalan dan tempat umum lain. Untuk peralatan kami sediakan," kata Arifin di Jakarta, Kamis (14/5).

Menurut dia, hukuman diberikan agar masyarakat jera dan bisa patuh terhadap aturan PSBB. Hal itu, katanya, penting untuk menekan penularan virus SARS-CoV-2 penyebab Coronavirus disease (Covid-19).

Arifin berujar, pada prinsipnya tak ingin banyak warga kena sanksi kerja sosial. Oleh karenanya, ia mengimbau agar masyarakat patuh terhadap ketentuan PSBB di Ibu Kota, seperti mengenakan masker saat keluar rumah.

"Kami akan terus patroli menindak pelanggar PSBB. Pemerintah juga sudah membagikan masker gratis. Jadi, tidak ada lagi alasan tidak pakai masker," katanya.

Menurut Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono, tanpa adanya Pergub 41/2020, aturan PSBB yang sudah ada sebenarnya telah memberikan ruang untuk melakukan pengetatan.

Aturan yang dimaksud Gembong adalah Pergub Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi DKI Jakarta. Aturan itu diteken pada 9 April 2020.

Namun, karena pada pelaksanaannya agak longgar, maka Pergub 41/2020 terbit untuk memberikan penguatan lebih dalam menerapkan PSBB.

“Jadi, sebenarnya kuncinya soal konsistensi terhadap penegakan aturan,” ucapnya saat dihubungi, Jumat (15/5).

Dia berpendapat, sanksi yang tercantum dalam aturan itu harus bisa membuat efek jera bagi pelanggar PSBB. Sebab, jika tak bisa membuat orang kapok dan terus melanggar, maka percuma terbit pergub.

“Ketika sudah membuat regulasi, konsekuensinya harus ditaati, dijalankan, diawasi, dan dieksekusi. Kuncinya itu saja,” ujarnya.

“Saya pikir dengan munculnya Pergub 41 Tahun 2020, pasti akan lebih efektif untuk melakukan pengawasan terhadap PSBB yang diterapkan di Jakarta ini.”

Sekretaris Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta Abdul Azis Muslim pun mendukung pemberlakuan Pergub 41/2020. Menurut dia, jika tak ada sanksi, masyarakat akan bertindak sesuka hati.

“Orang semaunya saja. Kasihan petugas di lapangan,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (15/5).

Azis optimis, sanksi yang tertera dalam Pergub 41/2020 bisa memberikan efek jera bagi para pelanggar PSBB. “Mudah-mudahan masyarakat sudah paham, tahu, dan mereka juga mengikuti aturan PSBB yang ada di DKI Jakarta,” ucapnya.

Seorang warga yang terjaring razia penindakan pelanggaran aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Satpol PP menjalani hukuman dengan cara membersihkan sampah di Tanah Abang, Jakarta, Rabu (13/5/2020). Foto Antara/Akbar Nugroho Gumay.

Menimbang sanksi dan denda

Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi menilai, Pergub 41/2020 telat diterbitkan. Selain itu, sanksi denda yang diberikan untuk perorangan yang tak mengenakan masker saat keluar rumah, terbilang kecil.

“Hanya Rp100.000-Rp250.000 untuk beberapa orang kalangan menengah ke atas mudah-mudah saja,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (14/5).

Sedangkan bagi masyarakat kelas bawah, Yogi menilai, sanksi denda berat. Sebab, mereka dalam kondisi ekonomi terjepit.

Terkait sanksi kerja sosial, Yogi mengatakan, di beberapa negara sudah menerapkannya. Namun, belum “akrab” diterapkan di Indonesia. Dalam pelaksanaannya pun akan menyebabkan pekerjaan rumah tersendiri. Alasannya, dia memandang sanksi dalam pergub belum detail, tak menjelaskan secara rinci durasi hukuman.

“Justru menyebabkan si penegak hukum, misal Satpol PP atau polisi, malah bertindak semena-mena. Itu yang saya takutkan karena instrumen kebijakannya enggak jelas,” ucapnya.

Dia pun mengatakan, jika Pemprov DKI ingin warganya patuh terhadap PSBB, bukan berarti menerbitkan aturan baru. Dia menyarankan agar Pemprov DKI lebih mengoptimalkan regulasi yang sudah ada.

“Instrumen yang sudah ada diperbaiki. Jangan buat yang baru, buat yang aneh-aneh,” katanya.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto berpendapat, Pergub 41/2020 akan menjadi dilematis kalau sanksinya diterapkan. Bisa saja, kata dia, mereka yang terkena sanksi adalah orang-orang yang terdampak Covid-19.

“Orang yang kehilangan mata pencaharian, lalu melanggar PSBB demi kelangsungan hidupnya, ditambahi sanksi, tentu kan tidak bijak,” kata Bagong saat dihubungi, Kamis (14/5).

Infografik sanksi pelanggar PSBB. Alinea.id/Oky Diaz.

Alih-alih menerapkan sanksi, Bagong menyarankan Pemprov DKI menggunakan pendekatan persuasif. Misalnya, memberikan penghargaan bagi warga yang patuh terhadap PSBB.

“Tindakan tersebut akan lebih efektif,” tuturnya.

Penghargaan yang dimaksud Bagong bisa berupa pujian atau sesuatu yang menumbuhkan kebanggaan bagi warga yang taat PSBB.

Bagong memandang, masyarakat urban seperti Jakarta akan sulit menerapkan Pergub 41/2020. Menurutnya, nantinya yang terjadi malah kucing-kucingan antara warga dengan petugas di lapangan. Sanksi, kata dia, malah bisa menambah beban masyarakat yang ditimpa dampak pandemi.

“Karena tadi, bukan mengonstruksi kesadaran, tapi lebih pada ancaman. Dalam situasi Covid-19 seperti sekarang ini, pendekatan yang basisnya ancaman, sanksi itu, menurut saya enggak bakalan efektif,” ujarnya.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid