sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Problem BPJS Kesehatan, dari defisit hingga rendahnya tingkat taat bayar

Selain menaikkan iuran, pemerintah juga diminta kembali menyuntikkan anggaran dana untuk menuntaskan defisit BPJS Kesehatan.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Minggu, 03 Nov 2019 01:34 WIB
Problem BPJS Kesehatan, dari defisit hingga rendahnya tingkat taat bayar

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mulai berlaku 1 Januari 2020. Selain menaikkan iuran, pemerintah juga diminta kembali menyuntikkan anggaran dana untuk menuntaskan defisit BPJS Kesehatan.

Dewan Jaminan Sosial Nasional Agung Pambudhi mengatakan, tanpa bantuan dana dari pemerintah, beban defisit yang terlanjur membengkak susah teratasi. Di sisi lain, peningkatan pelayanan pun sulit terlaksana.

"Semestinya negara hadir dengan ikut menanggungnya (defisit BPJS). Alokasi anggaran ke hal yang kurang efektif saja bisa berhamburan, ini yang sangat mendasar mengapa tidak bisa?," ujar Agung dalam Forum Dialektika, Jakarta, Sabtu (2/10).

Senada dengan Agung, akademisi dari Universifas Prof Dr. Moestopo Paulus Januar Satyawan menegaskan, seharusnya negara bukan hanya sekadar mengatur, melainkan turut pula aktif menanggulangi defisit BPJS Kesehatan. Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dikerjakan untuk mengatasi berbagai permasalahan defisit BPJS Kesehatan. Pertama, menegaskan paradigma BPJS Kesehatan, yakni sebagai perusahaan asuransi atau jaminan sosial negara. Ia menyarankan pemerintah bukan hanya menambal beban defisit BPJS Kesehatan dari cukai rokok atau minuman keras, tetapi juga dari pajak penghasilan.

Kedua, memperbaiki tata kelola manajemen dalam BPJS Kesehatan. Disamping mencegah celah kecurangan, BPJS Kesehatan perlu membenahi internalnya demi efisiensi. Ketiga, membenahi pola pelayanan dan jaminan mutunya. 

"(BPJS Kesehatan) dalam bisnis rumah sakit sebenarnya menguntungkan. Ketika masih PT Askes dulu, rumah sakit justru sangat senang menerima pengguna Askes. Tergantung jenis penyakitnya, seperti jantung, Askes seolah menjamin pasien akan terus berobat (tidak gagal bayar). Pola itu akan terus berjalan, makanya BPJS perlu ditata lebih baik," ujar Paulus.

Ketaan rendah

Sementara itu, masih rendahnya ketaan masyarakat dalam membayar iuran BPJS juga menambah daftar panjang problem BPJS Kesehatan. Kepala Kajian Kebijakan Sosial LM FEB Universitas Indonesia, Ferdinandus S. Nggao mengungkapkan, penyebab rendahnya ketaatan karena masyarakat Indonesia masih memahami asuransi sosial sebagai bantuan sosial.

Sponsored

"Istilahnya masyarakat kita belum move on dari model bantuan sosial ke asuransi sosial. Masuk saja dulu, (kalau) harus daftar dan bayar iuran, bayar dulu. Kemudian, setelah itu tidak bayar lagi," ujar Ferdinandus.

Menurutnya, masyarakat Indonesia sebetulnya belum siap dengan BPJS Kesehatan yang menerapkan skema model asuransi sosial.

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keungan (SNLIK) yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di tahun 2016, indeks literasi perasuransian turun dari 17,84 % pada 2013 ke 15,76% pada 2016. Artinya, kata dia, hanya 15,76% saja masyarakat yang paham asuransi.

Ia menyimpulkan, masyarakat Indonesia masih terbiasa dengan pola-pola lama, seperti sakit baru bayar. Namun, belum terbiasa membayar secara rutin sebelum sakit.

"Tunggu sakit baru cari uang, itu pola-pola lama yang belum berubah," ujar Ferdinandus.

Padahal, semenjak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disahkan, bantuan sosial telah berubah menjadi asuransi sosial. Kalau bantuan sosial, kata Ferdinandus, murni dari pemerintah, sehingga sangat tergantung kemampuan APBN. Sementara asuransi sosial, masyarakat dilibatkan melalui mekanisme iuran.

Buntut dari berbagai persoalan BPJS Kesehatan, kata dia, dapat dilacak dengan merunut ke sejarahnya. Lahirnya sistem jaminan sosial merupakan amanat dari UUD 1945. Menurutnya, aktivis 98 boleh membanggakannya sebagai hasil reformasi. Pada gilirannya, disahkan TAP MPR RI no.X/MPR/2001 menugaskan presiden membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lalu, lahirlah UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN yang menggantikan program-program jaminan sosial yang telah ada sebelumnya, seperti Taspen, Jamsostek, Asabri, dan Askes. Asuransi tersebut hanya dijalankan segmentif. Misalnya, Askes bagi PNS, Asabri hanya untuk ABRI, sedangkan Jamsostek yang belakangan telah agak terbuka.

Ferdinandus mengatakan, UU No 40 tahun 2004 terlahir pada periode akhir kepemimpinan presiden Megawati Soekarno Putri. Kemudian, nasibnya terbengkalai hingga UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial disahkan. Walhasil, BPJS Kesehatan baru diresmikannya pada 1 Januari 2014.

"Sebetulnya pada 2009 paling lambat UU tentang BPJS harus sudah ada, tetapi (baru) ada menjelang berakhirnya masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dari sisi komitmen awal itu sepertinya mau dilempar terus SJSN ini. Kesan saya, ini selalu mau menghindar, selalu di akhir kepemimpinan seolah mau menyerahkan ke yang akan datang," ujar Ferdinandus.Pemer

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid