sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nasib perempuan pembela HAM, diancam perkosa dan dibunuh

Kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM di Indonesia umumnya ditujukan terkait moralitas, ketubuhan, dan seksualitas perempuan.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Kamis, 28 Nov 2019 16:27 WIB
Nasib perempuan pembela HAM, diancam perkosa dan dibunuh

Para perempuan yang kerap bergelut memperjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM) diketahui masih kerap mendapatkan perlakuan diskriminasi, ancaman, bahkan kekerasan. Dari mulai hendak diperkosa sampai ingin dibunuh. 

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM, Mike Verawati, mengatakan pascadekralasi pembela HAM internasional pada 9 Desember 1999, perempuan pembela HAM di Indonesia masih mengalami berbagai kekerasan dan tindakan yang merendahkan martabat sebagai perempuan.

Mike menjelaskan, kekerasan yang dialami oleh perempuan pembela HAM di Indonesia umumnya ditujukan terkait moralitas, ketubuhan, dan seksualitas perempuan. Misalnya, ancaman perkosaan dan bentuk pelecehan seksual lainnya. Ancaman tersebut kerap mampir karena perempuan pembela HAM tidaklah berbeda dengan aktivis HAM lainnya yang juga kerap menerima ancaman.

Seperti dialami oleh pewakilan Komunitas Sri Bandung, Emilia, misalnya. Emilia menuturkan pada 1982 tanah pertanian yang dikelola masyarakat di Desa Sri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Sumatera Selatan digusur oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis yang merupakan perkebunan tebu skala besar. 

Bahkan, kata dia, masyarakat Desa Sri Bandung hingga kini masih berkonflik dengan perusahaan pelat merah itu. Emilia menceritakan, insiden penggusuran yang terjadi pada era Presiden Soeharto itu membuat masyarakat tidak bisa menolak karena mendapat ancaman pembunuhan. Lalu ada pula masyarakat yang menentang keberadaan perusahaan kemudian diculik pada tengah malam.

"Sekarang perempuan itu berjuang untuk memperjuangkan hak atas tanahnya. Jadi, perempuan sekarang banyak mengalami kekerasan, baik itu dilakukan oleh masyarakat atau pemerintah yang karena menurut mereka perempuan tidak bisa berjuang dan tidak memiliki kapasitas untuk itu," tutur Emilia.

Emilia merasa miris atas perlakuan yang diterima para perempuan pembela HAM. Sebab selain tak diberikan ruang, masyarakat acap kali malah melakukan pelecehan kepada perempuan yang membela haknya. 

Menurut Emilia, pelecehan tersebut besar kemungkinan lahir karena budaya patriarki yang masih berlangsung. Selain itu, ia menambahkan, dalam memperjuangkan haknya, perempuan yang dulu selalu berhadapan dengan polisi pria, kini berganti dengan polisi wanita.

Sponsored

Perempuan pembela HAM lainnya, Siti Aisyah yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur, mengatakan perempuan selalu mendapatkan kekerasan dalam mempertahankan haknya. Hal itu terjadi padanya yang menolak rencana pembangunan Waduk Lambo di Flores, NTT.

Siti Aisyah bercerita, awal proses pembuatan waduk di Flores sudah berlangsung sejak tahun 1999 sampai 2002. Saat itu tanpa diketahui masyarakat, pemerintah melakukan survei dan tiba-tiba memberikan pengumuman bahwa akan dibangun waduk di lokasi tersebut.

"Sekarang berkelanjutan, di tahun 2015 sampai hari ini pemerintah rupanya masih memaksakan diri untuk pembangunan. Namanya dulu itu Waduk Mbay, sekarang Waduk Lambo, tapi titik lokasinya sama yaitu di Lowose yang kita pertahankan itu," ujar Siti.

Siti menuturkan, masyarakat sebetulnya tidak menolak pembangunan. Hanya, lokasi pembangunan waduk itulah yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Sebab, lokasi tersebut merupakan tanah warisan leluhur.

"Kepolisian itu melakukan kekerasan terhadap masyarakat. Minta maaf ya, mama-mama itu sampai telanjang dada, karena saya sudah ditarik oleh Satpol PP. Makanya mereka dengan tanpa perintah langsung membuka bajunya untuk mempertahankan agar tidak dibawa Satpol PP," kata Siti.

Berita Lainnya
×
tekid