sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nihil hak pendidikan bagi penghayat kepercayaan dalam RUU Sisdiknas

RUU Sisdiknas masih abai terhadap hak pendidikan bagi anak-anak penghayat kepercayaan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 25 Sep 2022 06:12 WIB
Nihil hak pendidikan bagi penghayat kepercayaan dalam RUU Sisdiknas

Pendamping komunitas Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan, Okky Satrio Djati, kerap mengikuti proses pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang sering kali menimbulkan perdebatan.

RUU Sisdiknas yang dirancang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) itu bertujuan mengintegrasi dan mencabut Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Masalah yang belum dipecahkan

Okky melihat, draf RUU Sisdiknas teranyar hanya mengakomodasi pendidikan agama mayoritas, tak membahas pemenuhan pendidikan dan penerimaan sosial anak kalangan penghayat kepercayaan.

“RUU Sisdiknas ini terjebak pada muatan-muatan pertentangan kepentingan antarkelompok agama. Tapi mereka melupakan, justru kearifan-kearifan bisa mempertemukan,” kata Okky kepada reporter Alinea.id, Selasa (20/9).

Kepentingan kelompok agama, ujar Okky, bisa membuat RUU Sisdiknas bernasib sama dengan UU Nomor 2 Tahun 1989 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. "Rancangan ini sudah kehilangan penghargaan dan napas untuk menggali kearifan budaya lokal," kata Okky.

Mendikbud Ristek Nadiem Makarim meninjau pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di SMAN 19 Balaraja, Tangerang, Banten, Jumat (17/9/2021)./Foto widji75/yus_pj80/Instagram kemdukbud.ri

Pelaksanaan UU Sisdiknas 2003, menurut Okky, mengambil jalan pintas dalam menyikapi keragaman kepercayaan di Indonesia. Hasilnya, ada kepercayaan tertentu yang dipaksakan di setiap wilayah.

Sponsored

“Semisal penghayat kepercayaan yang diakui karena terdaftar di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri), kepercayaan dari etnis tertentu, dia seolah-olah menjadi tolok ukur,” ucapnya.

“Misal aliran kepercayaan di Jawa, belum tentu yang Sunda ngerti, nah itu dipaksakan di Sunda. Nilai-nilai lokal ini tolong jangan diseragamkan.”

Selain itu, UU Sisdiknas 2003 kerap dijalankan menurut paham agama mayoritas di wilayah tertentu. Akibatnya, anak penghayat kepercayaan terpaksa mengikuti, meski tak sepaham.

"Semisal standar atribut seragam itu tidak merujuk pada satu nilai. Anak-anak kami misalnya dipaksa berjilbab dengan dalih aturan sekolahan,” tuturnya.

Ia mengatakan, anak penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan sudah sering kali dipaksa mengikuti pendidikan agama lain, hanya karena sekolah tak mau repot memenuhi pendidikan penghayat. Terbaru, kata Okky, ada seorang anggota Sunda Wiwitan yang gagal lolos perguruan tinggi negeri melalui jalur undangan hanya karena nilai agamanya kosong. Padahal, ia ada di peringkat tiga besar di sekolah.

“Kejadiannya tiga tahun lalu. Sekolah keberatan memberi nilai agama karena dia tidak ikut agama apa pun," kata Okky.

Menurut Okky, aturan dalam RUU Sisdiknas 2003 yang tak membentengi anak-anak dari kalangan penghayat, membuat anak penghayat Sunda Wiwitan mengalami perundungan karena dianggap melenceng dari norma agama mayoritas.

“Itu kan menjadi trauma berkepanjangan. Kami bahkan dipanggil guru, seolah-olah melawan norma," kata Okky.

Namun, kini Okky bisa bernapas lega sejenak lantaran RUU Sisdiknas batal masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023. Keputusan itu diambil ketika Badan Legislasi DPR menggelar rapat kerja bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dan DPD pada Selasa (20/9) malam.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P MY Esti Wijayanti mengakui, ada banyak masalah yang belum terakomodir dalam RUU Sisdiknas. Termasuk persoalan diskriminasi yang dialami kalangan penghayat.

"Untuk ini kami siap perhatikan," kata Esty, Selasa (20/9).

Esti menuturkan, pembahasan RUU Sisdiknas masih belum beranjak signifikan karena RUU tersebut batal jadi Prolegnas Prioritas 2023.

Sedangkan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf memandang, memang ada baiknya pembahasan RUU Sisdiknas ditunda terlebih dahulu. Alasannya, banyak aspirasi dari kalangan pemangku kepentingan yang belum terakomodir, termasuk dari penghayat kepercayaan. Tujuannya, supaya aturan pendidikan nasional itu tak menimbulkan masalah baru.

"Catatan saya, sebaiknya tunda dulu. Sehingga RUU ini benar-benar bisa memecahkan masalah yang ada. Bukan membuka masalah baru," kata Dede saat dihubungi, Rabu (21/9).

Ia menyarankan Kemendikbud Ristek lebih membuka diri kepada semua pihak yang masih resah terhadap RUU Sisdiknas. Lebih lanjut, ia mengatakan, wajar ada kekhawatiran dari kalangan penghayat karena rumusan RUU Sisdiknas belum menjurus ke arah titik temu peta jalan pendidikan nasional.

"Jadi sekarang baiknya ada rembuk nasional pendidikan untuk mendapatkan titik temu road map pendidikan," kata Dede.

Aktivitas belajar mengajar di sekolah adat Sihaporas, Simalungun, Sumatera Utara. Foto dok. Risnan Ambarita.

Abai hak pendidikan

Walau demikian, masih ada kekhawatiran dari Okky, RUU Sisdiknas hanya mengulang perkara yang timbul di UU Sisdiknas 2003. "Sejak 15 tahun belakangan, pendidikan kita kurang memberi penghargaan kepada nilai-nilai lokal,” ujar dia.

“Sekarang yang jadi pertentangan ialah soal mayoritas dan minoritas. Tapi tidak ada keberpihakan terhadap keragaman."

Ia berujar, RUU Sisdiknas harus mencakup prinsip keadilan bagi penghayat. Okky berharap, RUU Sisdiknas yang batal masuk Prolegnas Prioritas 2023 menjadi kesempatan Kemendikbud Ristek untuk mengoreksi diri, jika masih ada persoalan yang luput.

Dihubungi terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Ristek, Anang Ristanto mengakui, sejauh ini pihaknya belum ingin mengakomodir persoalan hak pendidikan kalangan penghayat.

"Saat ini sudah ada Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan," kata Anang, Rabu (21/9).

Namun, ia bungkam saat ditanya kasus perundungan dan diskriminasi yang terjadi di kalangan penghayat kepercayaan dalam dunia pendidikan.

Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesoema membenarkan bila RUU Sisdiknas belum menjamin penghayat kepercayaan bebas dari diskriminasi.

Infografik RUU Sisdiknas. Alinea.id/Aisya Kurnia

"Ini benar-benar sebuah kemunduran dan bertentangan dengan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) terkait kemerdekaan aliran kepercayaan yang dilindungi konstitusi," kata Doni, Rabu (21/9).

Aturan RUU Sisdiknas yang belum membentengi hak asasi anak penghayat dalam dunia pendidikan, kata Doni, disebabkan Kemendikbud Ristek tak ingin diprotes sebagian masyarakat yang belum rela menerima kalangan penghayat.

“Ini masalah keyakinan dan kepercayaan pribadi yang seharusnya dilindungi undang-undang,” ujar Doni.

Menurutnya, jika Kemendikbud Ristek tak berani merumuskan hak pendidikan bagi penghayat dan hanya mengakomodir kalangan agama mayoritas, hal itu malah menambah celaka kalangan penghayat yang sejak lama menjadi bulan-bulanan di sekolah negeri.

"Artinya hak-hak mereka tidak dilayani. Sejauh ini debat hanya pada soal madrasah dan pesantren, sementara porsi pengaturan dan penguatan pendidikan keagamaan lain juga kurang," ucap Doni.

Doni merasa, Kemendikbud Ristek belum jeli melihat praktik diskriminasi yang terjadi di kalangan penghayat, cenderung hanya mendengar suara dari kelompok agama mayoritas. Imbasnya, poin substansi di RUU Sisdiknas sangat rapuh dan tak bakal memberi solusi bagi penghayat, jika disahkan menjadi undang-undang.

Ia pun sepakat bila DPR mengeluarkan RUU Sisdiknas dari Prolegnas Prioritas 2023 karena masih banyak masalah yang belum terakomodasi di dalam naskah aturan sistem pendidikan nasional tersebut.

"Harusnya pemerintah merevisi apa yang sudah diusulkan dan sebaiknya menarik draf RUU, sehingga pembahasan ditunda karena banyak pasal bermasalah," ucap Doni.

Berita Lainnya
×
tekid