sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Opsi lockdown yang diabaikan Jokowi...

Karantina wilayah atau lockdown bisa diberlakukan tanpa mematikan roda ekonomi.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Senin, 06 Apr 2020 06:02 WIB
Opsi lockdown yang diabaikan Jokowi...

Sejumlah laki-laki dan perempuan paruh baya tampak berjaga di depan pintu gerbang berwarna hijau itu, Jumat (3/4). Kini, gerbang itu jadi satu-satunya akses keluar-masuk bagi warga di RW 01, Gang Dalam, Jalan Salemba Raya IV, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. 

Selain penjagaan ketat, pengecekan suhu tubuh dilakukan kepada setiap warga yang masuk ke kawasan tersebut. Pengurus wilayah juga tak memperkenankan ojek online masuk ke komplek itu. Tamu atau pendatang baru dicatat dalam lembar dokumen khusus. 

Kebijakan sistem satu gerbang itu dikeluarkan pengurus wilayah RW 01 menyikapi surat edaran Gubenur DKI Jakarta Anies Baswesan. Dalam surat edaran tersebut, Anies meminta seluruh masyarakat DKI Jakarta untuk disiplin menjalankan social distancing. 

"Sesuai kebijakan Pak Gubernur, kita lakukan one system gate (sistem satu gerbang). Kami pengurus wilayah membatasi akses keluar-masuk. Ini demi keselamatan kita semua," kata Ketua RW 01 Ai Sumirah kepada Alinea.id. 

Menurut Sumirah, sistem satu gerbang itu telah diberlakukan sejak 30 Maret. Hingga kini, belum ada kesepakatan terkait kapan kebijakan itu akan dihentikan. "Kami memonitor semua orang yang keluar masuk sesuai arahan Pak Gubernur," kata dia. 

Hingga Jumat (3/4) pukul 12.00 WIB, total sudah ada 1.986 kasus positif Covid-19 di Indonesia. Sebanyak 181 pasien meninggal dan 134 dinyatakan sembuh. Mayoritas pasien disumbang oleh Jakarta. Menurut laman www.corona.jakarta.go.id, ada 958 pasien yang terjangkit Covid-19. 

Meski korban jiwa terus berjatuhan, hingga kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih ogah menjalankan lockdown atau karantina wilayah. Menurut Jokowi, lockdown akan mematikan perekonomian Indonesia. 

"Kita ingin aktivitas ekonomi (tetap) ada. Tapi, masyarakat kita semua harus jaga jarak aman, social distancing, dan physical distancing. Itu yang paling penting," ujar Jokowi usai meninjau pembangunan RS Darurat Covid-19 di Pulau Galang, Kepulauan Riau, Rabu (1/4).

Sponsored

Sehari sebelumnya, Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (PP PSBB) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019.

Kebijakan PSBB merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Yang dimaksud PSBB dalam UU tersebut ialah 'pembatasan kegiatan tertentu suatu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran dan penyakit atau kontaminasi.' 

Tak lama setelah PP dan Kepres itu dikeluarkan Jokowi, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kemudian menerbitkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 atau PP Pedoman PSBB. 

Dalam Permenkes itu, disebutkan bahwa untuk mencegah penyebaran Covid-19 pemerintah umumnya mewajibkan sekolah dan tempat kerja libur, membatasi kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat dan fasilitas umum, membatasi kegiatan sosial budaya serta operasional moda transportasi. 

Anggota Komisi IX DPR Melki Laka Lena menilai penetapan PSBB merupakan langkah tepat. Menurut dia, kondisi darurat Covid-19 dapat ditanggulangi oleh PSBB tanpa harus melakukan karantina wilayah atau lockdown

Melalui PSBB, pergerakan orang dibatasi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di sisi lain, pemerintah juga harus konsisten memberikan stimulus, bantuan sosial, serta bantuan langsung tunai untuk pekerja informal dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 

"Mencegah kita lakukan sudah berbagai cara, mulai dari isolasi, karantina, social distacing. Yang terkena di aspek di kelompok miskin melalui jaminan sosial, dan UMKM itu melalui stimulus. Kelompok menengah ke atas itu diasumsikan masih bisa bertahan dengan apa yang mereka miliki," kata Melky kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (1/4).

Presiden Joko Widodo mengenakan masker saat meninjau ruang perawatan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3). /Foto Antara

Lockdown dan perdebatannya 

Berkaca pada Amerika Serikat dan India, Melki menilai lockdown tidak tepat diterapkan di Indonesia karena karakter masyarakatnya. Menurut dia, lockdown hanya bakal bikin pemerintah kian kesulitan menangani pandemi lantaran perekonomian ikut terpukul.

"Kenapa kita enggak bicara lockdown karena karakter kita berbeda-beda. Kita bicara lockdown dalam aspek kesehatan itu bisa, tapi juga kita bicara soal aspek sosial, politik, dan ekonominya. Kalau kita lihat India dan AS, orang pergi jarah. Makanya (Presiden AS Donald) Trump enggak berani lockdown," katanya.

Meski begitu, Melky tak menampik jika penerapan social dan physical distancing masih belum maksimal lantaran sifatnya masih sekedar imbauan. Menurut dia, imbauan itu bisa efektif jika sanksi tegas disiapkan bagi para pelanggar. 

"Jadi, ini bukan sekadar imbauan, tapi norma. Sehingga kalau jadi norma harus dibuat dari tingkat dari  tingkat RT atau RW, dan sanksinya harus tegas diatur. Jika persuasif tidak berjalan, maka perlu tindakan hukum," jelasnya.

Namun demikian, hingga kini opsi lockdown masih terus didorong kalangan akademikus. Salah satunya pendukung opsi itu ialah Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (UI) Siti Setiadi. Menurut Siti, lockdown lokal perlu didorong lantaran physical distancing tak bakal efektif. 

"Melandaikan kurva dan memperlambat proses penularan Covid-19 merupakan hal yang krusial karena sistem kesehatan kita saat ini belum mampu menerima beban kasus infeksi Covid-19 yang masif," kata Siti dalam surat yang ia kirimkan kepada Jokowi tertanggal 26 Maret. 

Dalam surat itu, Siti juga menyertakan hitung-hitungan dana yang dibutuhkan pemerintah untuk lockdown lokal di Jakarta selama 14 hari. Dengan asumsi perekonomian bakal lumpuh total, Siti memperkirakan pemerintah perlu menyiapkan dana Rp4 triliun untuk memenuhi kebutuhan makan, listrik, dan air sebanyak 9,6 juta warga Jakarta. 

"Dengan perhitungan demikian, rasanya mungkin apabila melakukan local lockdown atau karantina wilayah demi mencegah penularan Covid-19 lebih lanjut. Pengembalian uang pajak dari rakyat untuk rakyat dengan adanya kejadian pandemi seperti ini merupakan hal yang wajar," kata dia. 

Imbauan Siti diperkuat kajian yang disusun oleh tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) untuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dirilis pada 27 Maret 2020. 

Dalam penelitian bertajuk "COVID-19 Modelling Scenarios in Indonesia" itu, diprediksi hampir 2,5 juta orang bakal terjangkit Covid-19 jika pemerintah tak melakukan intervensi secara serius. Selain itu, sekitar 240 ribu pasien diperkirakan bakal meninggal karena Covid-19. 

Tak hanya kalangan akademikus, lockdown juga ternyata didukung mayoritas warganet. Dari 145 ribu percakapan yang dikumpulkan pada periode 12-23 Maret, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menemukan sebanyak 38% warganet membicarakan soal lockdown. Sebanyak 68% akun yang bicara soal lockdown mendukungnya. 

"Sebanyak 68% itu mengharapkan atau setuju lockdown untuk membatasi penularan. Tetapi, harapan ini tidak dijawab pemerintah. Bahkan, pemerintah itu masih simpang siur," kata ekonom senior INDEF Didik Rachbini dalam sebuah diskusi virtual di Jakarta, Minggu (5/4).

Menurut Didik, pendapat ilmiah soal lockdown juga kerap menjadi bahan politisasi. Ia mencontohkan anjuran lockdown lokal yang dikeluarkan guru besar FK UI yang malah dibantah oleh rektor UI. "Karena itu dianggap oposisi (terhadap kebijakan pemerintah), dianggap bukan kelompoknya," kata Didik.

Politisasi soal lockdown dan penanganan Covid-19, lanjut Didik, menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dari 145 ribu percakapan, 66,3% di antaranya bersentimen negatif. "Hanya 33,7 yang sentimennya positif," kata dia. 

Kepada Alinea.id, peneliti INDEF Aryo Dharma Pahla Irhamna mengatakan keputusan PSBB merupakan bukti pemerintah masih lebih mengutamakan perekonomian ketimbang kesehatan masyarakat. Pasalnya, lockdown mengharuskan negara menyiapkan anggaran besar untuk menyuplai kebutuhan warga. 

"Padahal di mana-mana, kalau wabah seperti ini, mau di negara maju atau miskin, prioritasnya bagaimana agar wabah ini tidak ke mana-mana. Prinsipnya, mencegah daripada mengobati. Mencegah lebih murah dapripada mengobati," kata dia.

Lockdown atau tidak, menurut Aryo, sektor ekonomi pasti terpukul. Dia justru khawatir korban akibat Covid-19 dan kerugian ekonomi bakalan lebih besar jika lockdown tidak dilakukan. 

"Kita tidak bisa menyelamatkan ekonomi kalau kita tidak bisa mencegah Covid-19 ini. Kenapa? Karena manusia dalam sistem ekonomi itu harus bisa produksi," ujar Aryo.

Warga melintas di dekat akses masuk kampung yang ditutup di kawasan Pakem, Sleman, D.I Yogyakarta, Jumat (27/3). /Foto Antara

Variasi lockdown 

Menurut peneliti Centre for International Studies (CSIS) Noory Okthariza menghentikan aktivitas warga secara total memang tidak realistis dan tidak diinginkan. Namun, berbasis pengalaman negara-negara lain, lockdown bisa tetap dilakukan. 

Dalam analisis bertajuk "Opsi Lockdown dalam Mitigasi Covid-19 Kita: Argumen Pendukung" yang dirilis pada 25 Maret lalu, Noory mencontohkan pengalaman lockdown di Prancis, Malaysia, dan kota New York di AS. 

Di Prancis, menurut dia, aktivitas di ruang publik ditutup, termasuk bar dan restoran. Akan tetapi, toko kelontong dan farmasi tetap buka. Masyarakat juga boleh berolahraga dan melakukan aktivitas-aktivitas soliter. 

Menutup negaranya sejak 18 Maret, Malaysia menerjunkan polisi dan militer untuk memastikan kebijakan lockdown dipatuhi warga. "Konon sejak penutupan ini, Malaysia semakin mampu mengendalikan penyebaran Covid-19," tulis Noory. 

Di New York, Gubernur Andrew Cuomo meminta semua pekerja di bidang non-essential business untuk tinggal di rumah. Aktivitas skala besar dilarang, tapi transportasi publik tetap dibiarkan berjalan. "Masyarakat diperbolehkan berolahraga di luar sendiri-sendiri dan para pengantar makanan serta apoteker masih boleh bekerja," kata Noory. 

Variasi lockdown itu bisa dijadikan bahan pembelajaran jika karantina wilayah diberlakukan di Indonesia. Yang terpenting, kata Noory, pemerintah harus memastikan nasib para pekerja harian dan warung-warung kecil yang terimbas kebijakan tersebut. 

"Kita bisa saja melakukan intervensi dengan, misalnya, mengatur jam kerja seminimal mungkin untuk para pekerja atau mungkin mengatur jam buka tutup untuk warung-warung. Sisanya berpulang kepada keinginan dan kemampuan negara untuk melakukan penertiban," tulis dia.

Infografik Alinea.id/Oky Diaz 

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengaku setuju pemberlakukan lockdown parsial ketimbang PSBB. Menurut dia, lockdown parsial bisa dilakukan pemerintah daerah atas persetujuan pemerintah pusat. 

"Saya malah apresiasi Gubernur (Jawa Barat) Ridwan Kamil dan beberapa wali kota dan bupati menerapkan lockdown parsial. Kecamatan-kecamatan ini ditutup dulu karena pandemi sudah besar," ujar Mardani kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.

Dengan lockdown parsial, menurut Mardani, bukan berarti kegiatan ekonomi bakal mati total. Roda perekonomian, kata dia, bisa diatur sedemikian rupa sehingga protokol-protokol kesehatan yang disiapkan pemerintah bisa tetap dijalankan.

"Kan sekolah sudah ditutup, kerja dari rumah, tidak ada pertemuan umum. Sekarang lakukan ronda bersama, memastikan bahwa seluruh (warga) mengikuti protokol. Contoh warteg  sudah didik, ojol sesuai protokol kesehatan. Ada petugas di daerah ini yang mengontrol bahwa tidak ada penyebaran," tutur dia. 
 

Berita Lainnya
×
tekid