sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ormas sipil desak pengesahan RUU Masyarakat Adat

"Kita perlu mengawal terus proses ini, karena jika tidak, RUU Masyarakat Adat akan hilang seperti yang lalu."

Cantika Adinda Putri Noveria
Cantika Adinda Putri Noveria Minggu, 05 Agst 2018 20:30 WIB
Ormas sipil desak pengesahan RUU Masyarakat Adat

Lebih dari 15 organisasi masyarakat sipil yang peduli akan isu lingkungan dan masyarakat adat desa, melakukan pertemuan untuk membahas sekaligus mengawal RUU Masyarakat Adat. 

Saat ini, RUU yang diinisasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan para pendukungnya, masih dalam proses persetujuan di DPR. Adapun proses legalisasi RUU Masyarakat Adat sudah dimulai sejak tahun 2012.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi menjelaskan, RUU ini mendapat dukungan DPR pada periode sebelumnya. 

"Tapi ketika Presiden SBY menunjuk Kementerian Kehutanan memimpin penyelesaian RUU ini, dari pihak pemerintah, pembahasan RUU ini mandek," ujar Rukka seperti dikutip dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (5/8). 

Lebih lanjut dia menjelaskan, pada 2018, RUU Masyarakat Adat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bahkan Presiden Joko Widodo pun sudah menerbitkan Surat Keputusan Presiden, dengan menunjuk Kemendagri sebagai koordinator, dan lima kementerian lainnya untuk membahas RUU Masyarakat Adat dari pemerintah; KLHK, Kemenkumham, Kemendes, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Alih-alih mengakui, draft RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini justru tersirat mengandung semangat untuk menghapus keberadaan Masyarakat Adat. Ini terindikasi dari dalam sejumlah ketentuan dalam RUU tersebut.

Antara lain kewenangan pemerintah untuk mengevaluasi Masyarakat Adat, dan adanya prosedur penetapan Masyarakat Adat yang sulit dijangkau oleh Masyarakat Adat, dengan ketentuan bahwa penetapan Masyarakat Adat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Menurut Rukka, masyarakat adat adalah komponen penting bangsa Indonesia yang berperan menunjukkan identitas keberagaman bangsa, menjaga keberlangsungan lingkungan hidup, dan penyeimbang pengetahuan dan ekonomi. 

Sponsored

"Kita perlu mengawal terus proses ini, karena jika tidak, RUU Masyarakat Adat akan hilang seperti yang lalu," terang Rukka. 

Sementara itu, Menurut Arimbi Heroepoetri dari debtWATCH Indonesia, setidaknya ada tiga hal utama yang perlu diatasi dengan jelas dalam RUU Masyarakat Adat. 

Diantaranya, fungsi kedudukan dan hak-hak perempuan adat. Kata dia, hal ini penting diatur sehingga tidak ada ruang penafsiran lagi dalam menghormati dan melindungi hak-hak khas Perempuan Adat. 

Selanjutnya, mengenai eksistensi keturunan Sultan dan Raja-raja di Nusantara. Serta mengenai organisasi-organisasi yang lahir dengan berbasis adat. 

"RUU Masyarakat Adat perlu meletakkan dengan tegas perbedaan antara komunitas kesultanan, kerajaan, dan Organisasi Adat dengan Masyarakat Adat. Masyarakat adat memiliki hubungan yang kuat dengan habitat teritorinya sebagai sumber pengetahuan, ekspresi, dan sumber penghidupan," jelas Arimbi. 

Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini, menambahkan hak kolektif perempuan adat tidak memiliki tempat di pelbagai kebijakan. Aturan hukum yang ada, hanya mengatur hak individual. 

Bahkan, imbuh dia, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) tidak mengatur soal hak kolektif ini. 

“Kami melihat RUU Masyarakat Adat ini menjadi ruang hukum yang kuat untuk melindungi hak kolektif perempuan adat”, tutur Anggraini. 

Untuk diketahui, UUD 1945 melalui Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) telah mengakui keberadaan Masyarakat Adat. Kostitusi juga mengamanatkan hadirnya Undang-Undang turunan khusus yang melindungi dan menghormati hak Masyarakat Adat. 

Maka dari itu, kehadiran RUU Masyarakat Adat ini dapat dimaknai sebagai wujud negara melunasi utang konstitusi, dan manifestasi kehadiran negara di tengah Masyarakat Adat.

RUU Masyarakat Adat bukanlah sesuatu yang baru. Pada periode DPR 2009–2014, pertama kali sejak Indonesia merdeka, politik legislasi RUU terkait pengakuan dan perlindungan hak-hak Masyarakat Adat diakomodasi dalam Prolegnas meskipun akhirnya gagal.

Perwakilan dari Perkumpulan HuMA, Andik Hardjianto menjelaskan, sebagi subjek hukum pada dasarnya masyarakat adat sudah tuntas ketika sudah ada Keputusan Mahkamah Konstitusi No.35. Akan tetapi, perlu kepastian hukum tentang Masyarakat Adat, untuk memastikan Negara berhubungan dan memfasilitasi Masyarakat Adat. 

"Karenanya tidak ada alasan hukum apapun untuk menunda RUU ini menjadi UU Masyarakat Adat yang mengakui, menghormati, dan melindungi masyarakat adat di Indonesia," paparnya. 

Koalisi Pendukung RUU Masyarakat Adat diantaranya, Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Perkumpulan HuMA, debtWatch Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kalyanamitra, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). 

Serta Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jurnal Perempuan, Merdesa Institute, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Rimbawan Muda Indonesia (RMI), Sawit Watch. Juga individu-individu yang menaruh perhatian pada isu perempuan, lingkungan, masyarakat adat dan demokrasi.

Berita Lainnya
×
tekid