sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

P2G: Kampus Merdeka sekadar jargon kosong

Imbauan Kemendikbud merupakan bentuk intervensi nyata. Sehingga, kampus tidak lagi merdeka.

Manda Firmansyah
Manda Firmansyah Senin, 12 Okt 2020 08:42 WIB
P2G: Kampus Merdeka sekadar jargon kosong

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan surat imbauan agar perguruan tinggi melakukan sosialisasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Surat imbauan bernomor 1035/E/KM/2020 tertanggal 9 Oktober 2020 tersebut juga mengimbau agar mahasiswa tidak ikut aksi unjuk rasa.

Koordinator P2G/Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim mengatakan, imbauan Kemendikbud merupakan bentuk intervensi nyata. Sehingga, kampus tidak lagi merdeka.

Ironisnya, Kemendikbud telah menggelorakan slogan dan program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka. Namun, kenyataannya kebijakan Kemendikbud malah memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka.

“Akhirnya, Kampus Merdeka tak ubahnya sekedar jargon kosong, di saat Kemdikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis,” ujar Satriwan dalam keterangan tertulis, Minggu (11/10).

Ia menilai, surat imbauan menjadi bukti kebijakan Kemendikbud kontradiktif. Apalagi, malah meminta kampus melakukan sosialisasi UU Cipta Kerja. “Ini mengandung beberapa kontradiksi, jika tidak dikatakan paradoksal,” tutur Satriwan.

Semestinya, kampus menyiapkan generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik yang bisa mengerti perasaan rakyat yang dirugikan UU Cipta Kerja ini. Ruang perkuliahan, kata dia, tidak terbatas tembok dan aksi unjuk rasa adalah laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan.

Menurut Satriwan, Kemendikbud semestinya tidak alergi dengan kekritisan mahasiswa dan dosen terhadap UU Cipta Kerja ini karena merupakan wujud kebebasan akademik.

“Kemendikbud tak seharusnya mengekang. Lagipula kampus punya otonomi yang mesti dihargai Kemendikbud,” ucapnya.

Sponsored

Sebelumnya, Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law Cipta Kerja mengecam dan menentang surat imbauan bernomor 1035/E/KM/2020 tertanggal 9 Oktober 2020 tersebut. Imbauan agar civitas akademika tidak ikut dalam aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik yang dijamin oleh konstitusi.

Di sisi lain, secara institusional, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam menjalankan fungsi tridarma perguruan tinggi. Sehingga, kampus seharusnya bebas dari segala bentuk intervensi politik. Integritas perguruan tinggi sebagai lembaga pengetahuan tidak semestinya digadaikan untuk pelayan kepentingan politik.

“Dengan otonominya, tanggung jawab perguruan tinggi dalam memproduksi dan mendiseminasikan pengetahuan hanya kepada kebenaran, bukan pada penguasa,” ujar perwakilan aliansi Abdil Mughis Mudhoffir dalam keterangan tertulis, Sabtu (10/10).

Ia menilai, imbauan agar dosen tidak memprovokasi mahasiswa untuk ikut unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja merupakan intervensi terhadap independensi dosen sebagai akademisi yang hanya bertanggung jawab pada tegaknya kebenaran. Imbauan ini juga cara yang merendahkan, seolah mahasiswa tidak memiliki independensi dalam bersikap ketika melihat ketidakadilan dan kesewenangan penguasa.

“Tanpa diprovokasi oleh dosen, mahasiswa telah menjadi aktor terdepan yang menyuarakan kebenaran bersama buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang menjadi korban kesewenangan penguasa,” ucapnya.

Ia pun mengkritik, imbauan agar mahasiswa tidak ikut unjuk rasa karena alasan membahayakan keselamatan dan kesehatan di masa pandemi Covid-19. Ini sangat tidak sejalan dengan kengototan pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020.

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid