sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

P2G sebut kekerasan seksual di sekolah berbasis agama imbas rendahnya pengawasan Kemenag

Rekrutmen pengasuh atau guru oleh harus mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial. Tidak hanya aspek pedagogi.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 10 Des 2021 15:14 WIB
P2G sebut kekerasan seksual di sekolah berbasis agama imbas rendahnya pengawasan Kemenag

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyatakan sangat prihatin dan mengecam perbuatan oknum guru salah satu pesantren di kota Bandung, yang memerkosa 12 santriwati di mana delapan di antaranya sampai melahirkan, dan dua orang sedang hamil.

Kepala Bidang Advokasi Guru P2G  Iman Zanatul Haeri, menyebut, kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi.

Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada 2021, terjadi di satuan pendidikan agama baik status formal maupun non formal.

P2G mencatat kasus di 27 kota/kabupaten: Jombang, Bangkalan, Mojokerto, Trenggalek, Ponorogo, Lamongan, dan Sidoarjo (Jatim); Kubu Raya (Kalbar); Lebak dan Tangerang (Banten), Bantul (Yogyakarta), Padang Panjang dan Solok (Sumbar); Aceh Tamiang (Aceh); Ogan Komering Ilir dan Musi Rawas (Sumsel); Bintan (Kepri); Tenggamus, Way Kanan, Tulang Bawang dan Pringsewu (Lampung); Pinrang (Sulsel); Balikpapan (Kaltim); Kotawaringin Barat; Jembrana (Bali); Cianjur dan Garut (Jabar).

Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate.

Iman menambahkan, rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur, usia di bawah 18 tahun bahkan ada yang usia 7 tahun, seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana. Umumnya kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun. Bahkan untuk kasus di Trenggalek, korbannya sangat banyak sampai 34 santriwati.

"Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir," kata Iman dalam keterangannya, Jumat (10/12).

Kedua, karakteristik kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama umumnya dilakukan oleh guru atau pengasuh. Mereka orang dewasa dan berkedudukan sebagai pengajar resmi. Ada pemilik lembaga pendidikan dan juga tenaga pendidik yang direkrut yayasan.

Sponsored

Sementara itu, anggota Dewan Pakar P2G, Rakhmat Hidayat berharap rekrutmen pengasuh atau guru oleh yayasan harus mempertimbangkan aspek asesmen psikologi, kepribadian, dan sosial. Tidak hanya aspek pedagogi dan profesional.

"Guru seharusnya memiliki kompetensi spiritual, sosial, emosional, dan kepribadian yang baik. Termasuk asesmen potensi perilaku seks menyimpang guru seperti pedofilia," kata Rakhmat.

Menurutnya, Kementerian Agama (Kemenag) hendaknya membuat aturan dan pedoman perekrutan guru atau pengasuh satuan pendidikan keagamaan yang dijadikan rujukan wajib dalam merekrut guru. Berdasarkan fakta di atas, kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama tidak hanya di lembaga formal yang sudah terdaftar, tetapi juga lembaga pendidikan yang belum terdaftar di Kemenag.

Rakhmat memaparkan, satuan pendidikan pesantren di Indonesia mencapai 33.980 pesantren. Satuan pendidikan madrasah sebanyak 83.468. Dan hanya 5 persen madrasah milik pemerintah, statusnya negeri, sementara 95 persen swasta. Data ini belum termasuk pesantren atau madrasah yang belum terdaftar di Kemenag.

"Tingginya kekerasan seksual di satuan pendidikan berbasis agama karena rendahnya pengawasan dari jajaran Kemenag," lanjut Rakhmat.

Dia juga meminta Kemenag mengkroscek ulang lembaga pendidikan berbasis agama yang belum terdaftar, kemudian didaftarkan resmi. Kemenag dan Kanwil Kemenag daerah wajib melakukan pengawasan sistematis dan berkala terhadap pesantren atau lembaga pendidikan agama yang tidak terdaftar.

Koordinator Nasional P2G Ketiga mengatakan, pihaknya mendesak Kemenag membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Berbasis Agama. PMA mengatur madrasah, pesantren, seminari, pasraman, dan dhammasekha, serta lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.

Kemdikbudristek sudah melahirkan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, aturan yang berlaku bagi sekolah di bawah.

Berita Lainnya
×
tekid