sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pakar soroti penyelesaian perkara secara restorative justice di Kejaksaan

Suparji memaparkan, penyelesaian perkara pidana melalui restorative jutice berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 01 Feb 2022 11:50 WIB
Pakar soroti penyelesaian perkara secara restorative justice di Kejaksaan

Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad menilai wacana restorative jutice (RJ) yang digulirkan Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai suatu terobosan menarik dalam penegakan hukum di Tanah Air. Alasannya, karena menjelaskan pergeseran pemikiran praktisi hukum yang ingin lepas dari belenggu pemikiran legisme (positivisme) yang memandang hukum hanyalah sebagai aturan perundang-undangan.

Sementara nilai keadilan, kepastian  dan kemanfaatan dari hukum hanya tercermin dari penegakan hukum tertulis sebagaimana bunyi undang-undang.

Diketahui, Kejaksaan Agung mulai menerapkan restorative justice pada penegakan hukum. Dari mulai pelaksanaan pemberian keadilan restoratif di Kejari Cimahi, hingga wacana perluasan penerapan RJ dan penyelesaian tipikor dengan kerugian keuangan negara paling banyak senilai 50 juta.

"Pemikiran Jaksa Agung kini telah mengisyaratkan pergeseran dari legisme menuju pemikiran hukum realisme. Pemikiran hukum realisme memandang bahwa hukum bekerja tidak sebagaimana bunyi peraturan perundang-undangan, hukum itu merupakan manifestasi simbolik para pelaku sosial. Pendekatan pemikiran ini adalah bersifat nondoktrinal artinya bsrdasarkan penilaian atas prilaku masyarakat secara nyata," kata Suparji dalam keterangannya, Selasa (1/2).

"Selain itu, pemikiran realisme lebih mengutamakan kemanfaatan dari hukum. Karena memang hukum itu diadakan adalah demi kemanfaatan bersama masyarakat. Keadilan restoratif  secara teoritis telah lama menjadi perbincangan para akademisi. Dan saat ini Jaksa Agung mencoba mengaplikasikannya," sambungnya.

Suparji memaparkan, penyelesaian perkara pidana melalui instrumen restorative jutice berbeda konsepnya dengan mekanisme penghentian penyidikan atau penuntutan seperti konsep yang diatur KUHAP. Penerapan  restorative jutice lebih ke perkara pidana yang secara hukum positif (legisme/positivisme) telah lengkap dilakukan persidangan pidana di mana akan diambil keputusan oleh hakim.

"Artinya berkas perkara pidana itu lengkap, baik formil maupun materiil. Namun oleh Jaksa selaku pemegang kekuasaan negara di bidang penuntutan berdasar asas dominus litis dan asas oportunitas yang dimiliki Jaksa, maka perkara tesebut dihentikan penuntutannya karena lebih pada untuk pencapaian keadilan substantif dan kemanfaatan. Keputusan RJ itulah cermin dari suatu kepastian hukum," paparnya.

Secara teoritis, kata dia,  restorative jutice merupakan pelaksanaan tugas fungsi jaksa yang dibenarkan atas asas-asas hukum universal yang berlaku secara internasional. Sedangkan untuk penyidik bukanlah  restorative jutice sebagai instrumen penghentian perkara, akan tetapi menggunakan instrumen penghentian penghentian penyidikan seperti diatur KUHAP.

Sponsored

"Yaitu jika perkara bukanlah perkara pidana, perkara tidak cukup bukti dan perkara ditutup demi hukum jika perkara tersebut terdakwanya meninggal dunia, atau karena perkara kedaluarsa atau ne bis in idem. Diskresi penyidik dapat dilakukan sebagai upaya progresif untuk menghentikan penanganan kasus-kasus di masyarakat yang belum masuk tahap pro justicia yaitu penyelidikan/penyidikan," bebernya.

Suparji menekankan bahwa wacana Jaksa Agung terkait penyelesaian perkara korupsi di bawah Rp50 juta ke bawah cukup dengan pengembalian uang kepada negara, merupakan pergulatan pemikiran positivisme dan pemikiran realisme hukum.

"Sebagai thesa dan anti thesa dalam dialektika Hegelian maupun Kantianisme. Jadi menurut hemat saya, kata dia, biarkan wacana tersebut berkembang di tengah masyarakat sehingga menemukam sinthesanya atau pemecahannya," kata Suparji.

'Namun terlepas dari pro kontra atas wacana Jaksa Agung baik terkait perluasan RJ maupun penyelesaian perkara tipikor Rp50 juta ke bawah, Suparji menilai bahwa itu pemikiran progresif dan maju.

"Karena secara umum pemikiran positivisme hukum masih membelenggu para praktisi hukum. Ke depannya, pemikiran hukum akan lebih jauh lagi di era pemikiran postmodernis yang lebih bersifat individual, di mana kebenaran umum sebagai bentuk kesepakatan mulai ditinggalkan atau kehilangan legitimasinya," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid