sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Pangkal buruknya praktik social distancing di Indonesia

"Ketika negara lemah," dirinya mengingatkan, "Ya, semuanya ragu-ragu."

Ardiansyah Fadli
Ardiansyah Fadli Jumat, 20 Mar 2020 19:09 WIB
Pangkal buruknya praktik <i>social distancing</i> di Indonesia

Masuk kuping kanan. Keluar kuping kiri. Begitulah implementasi imbauan pemerintah terkait pembatasan interaksi (social distancing). Masih banyak warga yang keluyuran di luar rumah.

Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Erna Ermawati Chotim, menilai, langkah tersebut takefektif lantaran sikap pemerintah taktegas. Sekadar imbauan.

"Kalau imbauan, memang orang akhirnya mikir, 'Boleh, dong, keluar atau tidak keluar rumah?'" katanya saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Jumat (20/3).

Semestinya, sikap pemerintah bersifat kewajiban. Sehingga, memaksa warganya tetap beraktivitas di dalam rumah. "Jadi, policy juga mestinya bisa bedakan. Antara imbauan dan keharusan," ujar dia.

Menurut Erna, kewajiban mesti diturunkan dalam regulasi. Macam instruksi presiden (inpres). Sebagai landasan pemberian sanksi terhadap pelanggar.

"Kita bernegara kalau ada situasi darurat, pemerintah harus siap dan acuannya sudah jelas. Entah itu instruksi atau keputusan presiden. Itu harus jelas. Jadi acuan bagi pemerintah di daerah bergerak. Termasuk masyarakat," tuturnya.

Kebijakan pun mesti diikuti langkah lain. Seperti menutup akses keluar-masuk negara dan menugaskan polisi di lapangan untuk memastikan aktivitas warga berlangsung di rumah. Dicontohkannya dengan Inggris dan Jerman. 

Pemerintah juga mesti konsisten dengan keputusannya. Jika sebaliknya, warga bakal "membangkang".

Sponsored

"Kalau lihat Inggris dan Jerman, orang semua ikut apa kata pemerintah. Karena (kebijakan) itu diwujudkan betul dan negara bekerja untuk itu melindungi masyarakat," ucapnya.

Berikutnya, negara mengatur suplai kebutuhan warga selama di rumah. "Ini harus terfasilitasi. Itu langkah yang harus diambil," imbuh Erna.

Dirinya mendorong demikian, lantaran masyarakat cenderung abai terhadap peraturan. "Secara sosiologis, karakteristiknya disorder," ungkapnya.

"Itu sangat memprihatinkan. Tatanan kita disorder. Kalau secara sosiologis, mengindikasikan government-nya lemah," katanya.

Lantaran bersifat ajakan, membuat blunder. Tak sekadar di tingkat masyarakat. Namun, juga di lembaga-lembaga lain. Setiap institusi memiliki tafsir beragam terkait kebijakan tersebut.

Pun takada aparat yang ditugaskan di bank atau anjungan tunai mandiri (ATM). Dus, terjadi pengambilan uang dan pembelian kebutuhan pokok dalam jumlah signifikan.

"Ketika negara lemah," dirinya mengingatkan, "Ya, semuanya ragu-ragu."

Bangun Kesadaran
Di sisi lain, Erna meminta publik membangun kesadaran atas bahaya Covid-19 dan tanggung jawab sosial. "Bahwa virus ini bukan hanya dituntut kepedulian sendiri. Tapi, untuk masyarakat keseluruhan," ucapnya.

"Jadi, jangan hanya menyelamatkan untuk keluarganya sampai stok makanan di lapangan habis. Bagaimana dengan orang lain yang juga ingin hidup?" ujar dia.

Nahas. Hingga kini segelintir warga "serakah". Memborong kebutuhan perut dan hidup secara berlebih. 

"Masak dalam kondisi sekarang, gula sudah enggak ada? Padahal, gula itu sekunder. Mungkin hari ini bisa makan gula. Besok (tak konsumsi gula) enggak akan mati," tutupnya.

Berita Lainnya
×
tekid